
Dalam keseharian, kita kerap menjumpai ucapan-ucapan yang meremehkan pilihan hidup orang lain. Misalnya, ketika melihat seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga (full time mom), lalu menganggapnya kurang produktif. Atau ketika seseorang hidup dengan sederhana, lalu dilabel tidak punya ambisi. Bahkan dalam urusan agama, ada yang menghakimi pilihan ibadah orang lain sebagai tanda belum mendapat hidayah. Semua penilaian itu muncul karena seseorang menjadikan standar dirinya sebagai ukuran kebenaran.
Meski terdengar ringan, ucapan seperti ini sering kali menyimpan masalah hati yang serius. Ironisnya, penilaian yang dikemas sebagai ‘nasehat’ itu bukan lahir dari kepedulian atau empati memahami lingkup hidup orang lain, melainkan dari keyakinan bahwa keputusan diri sendirilah yang paling tepat. Kerap kali orang melupakan bahwa setiap manusia berjalan di jalannya masing-masing, dengan niat dan keterbatasan yang berbeda. Ia tak sadar bahwa dalam pandangan Allah, bisa jadi orang yang direndahkannya justru lebih mulia.
Fenomena ini tidak terbatas dalam obrolan langsung, tapi juga menjalar luas di media sosial. Di sana, banyak unggahan yang ramai-ramai membandingkan pilihan hidup, dari gaya hidup hingga pendidikan dan karier. Banyak yang dengan mudah menghakimi, meski mereka tidak benar-benar memahami latar belakang, perjuangan, atau ketenangan batin orang yang dikomentari. Padahal, bisa saja orang yang dinilai itu justru lebih damai hidupnya dan lebih dekat dengan rida Allah.
Dalam tradisi Islam, sikap merasa lebih unggul dari orang lain dikenal sebagai ujub. Sifat ini bukan sekadar penyakit hati, melainkan racun batin yang bekerja secara halus dan perlahan. Ujub bermula dari rasa puas terhadap diri sendiri. Perasaan bahwa apa yang dimiliki, baik itu ilmu, ibadah, atau keputusan hidup, merupakan hasil usaha pribadi. Dari sinilah muncul anggapan bahwa diri lebih baik dari yang lain. Lebih licik lagi, ujub kerap menyamar dalam bentuk ungkapan religius seperti “ini semua karunia Allah”, padahal di dalam hati tersembunyi rasa bangga dan perasaan unggul.
Ujub menyelinap tenang, membungkus diri dalam kepura-puraan syukur, namun sejatinya memupuk keakuan yang dalam. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ujub muncul saat seseorang memandang kelebihannya sebagai milik mutlak dirinya, dan lupa bahwa semua itu sejatinya berasal dari Allah.
العُجب هو استعظام النعمة، والركون إليها، مع نسيان إضافتها للمنعم
(Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Juz 3)
Sombong adalah melebih-lebihkan suatu nikmat dan mengandalkannya, sementara lupa menisbatkannya kepada yang memberikannya.
Dari sini kita dapat menangkap bahwa ujub muncul ketika seseorang mulai mengagumi amalnya sendiri. Ia merasa amal ibadahnya besar, seolah semua itu semata-mata buah dari upaya dan kehebatannya. Ia lupa bahwa taufik dan hidayah adalah anugerah Allah yang tak bisa dicapai hanya dengan kerja keras. Dalam wujud yang lebih halus, ujub hadir saat seseorang meyakini bahwa keputusan hidup yang ia ambil adalah hasil dari kecerdasan, perhitungan, dan ketekunan pribadi, seakan tanpa campur tangan Ilahi. Padahal, semua keberhasilan dan arah hidup sejatinya bergantung pada kehendak Allah.
Ketika seseorang berbisik dalam hati, “Jalan hidupku lebih benar daripada dia,” atau, “Seharusnya dia hidup seperti aku,” saat itulah ujub telah menyusup tanpa terasa, namun membentuk kesombongan yang tersembunyi.
Individu yang terlanjur merasa dirinya sudah ideal cenderung tak lagi mampu melihat kekurangan dalam dirinya. Mereka hanya mendengar suaranya sendiri, sehingga sulit menerima pendapat orang lain ketika berdiskusi, dan terbiasa menilai tanpa welas asih. Seiring waktu, kebiasaan ini membentuk pola pikir yang hanya membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Lebih mengkhawatirkan lagi, ujub perlahan mengikis keikhlasan. Ketika pilihan hidup atau amal dilakukan demi menunjukkan keunggulan atas orang lain, maka niat itu tak lagi murni karena Allah, melainkan karena dorongan ego yang tersembunyi.
Imam al-Ghazali menawarkan sejumlah langkah untuk membebaskan diri dari ujub. Pertama, tanamkan kesadaran bahwa segala kelebihan yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah, bukan hasil mutlak dari diri sendiri. Kedua, hindari tergesa-gesa menilai pilihan hidup orang lain, karena boleh jadi mereka yang terlihat sederhana justru lebih mulia di sisi Allah karena ketulusan dan keikhlasannya. Ketiga, perbanyaklah memohon perlindungan kepada Allah agar hati kita terjaga dari penyakit ujub yang sering kali datang tanpa disadari.
Perlu sangat disadari bahwa ujub tidak selalu hadir dalam wujud kesombongan yang mencolok. Ia sering menyusup lewat rasa puas terhadap diri sendiri, lewat komentar yang terdengar ringan, atau candaan yang tampaknya tidak menyakiti. Namun, jika dibiarkan berlarut-larut, ujub mampu membutakan hati, mengikis rasa syukur, menghambat empati, dan menjauhkan dari kerendahan hati.
Maka sebelum sibuk menilai arah hidup orang lain, ada baiknya kita berhenti sejenak untuk menengok ke dalam diri. Sudahkah niat kita lurus? Sudahkah kita menyadari bahwa segala yang kita miliki hanyalah amanah dari Allah? Biarkan setiap orang menapaki jalannya sendiri. Sebab tugas kita yang paling utama bukanlah merasa paling benar, melainkan menjaga hati agar tetap lapang dalam menghadapi kehidupan yang keberagaman ini.
Mahasiswa UIN Sunan Kudus