Setiap orang pasti pernah mengalami sakit, baik karena sakit secara fisik maupun psikis (jiwa). Sakit fisik itu seperti sakit demam, diare, pusing, dan seterusnya, sementara sakit psikis itu seperti sedih, fobia, gelisah, dan lain-lain. Setiap orang yang sakit pasti akan mengharapkan kesembuhan. Masalah kesembuhan menjadi masalah kehidupan yang diharapkan oleh setiap manusia.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menuntun kehidupan, telah memperkenalkan pentingnya masalah kesembuhan bagi manusia. Al-Qur’an menggunakan istilah kesembuhan dalam bentuk kata syifā’. Kata al-syifā’ dan derivatnya dalam al-Qur’an digunakan sebanyak 6 kali yang tersebar dalam Q.S. al-Nahl [16]: 69, Q.S. al-Isrā’ [17]: 82, Q.S. al-Taubah [9]: 14, Q.S. Yūnus [10]: 57, Q.S. al-Syu’arā’ [26]: 80, dan Q.S. Fussilat [41]: 44. Kata al-Syifā’ digunakan oleh al-Qur’an dalam 2 bentuk, yaitu kata kerja (verb) yakni yasyfi, dan kata benda (isim) yakni syifā’.
Sebenarnya dalam bahasa Arab, kata syifā’ bukanlah satu-satunya kata yang memiliki arti obat atau penyembuh. Kata lain yang memiliki arti serupa adalah al-dawa’. Kamus Lisān al-Arabi ang ditulis oleh Ibu Mandzur menyebutkan bahwa sinonim kata syifā’ adalah dawā’.
Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Syarik: “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan obat (syifā’)” Sementara dalam Sahih Muslim juga disebutkan hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah: “Setiap penyakit ada obatnya (al-dā)’. Jika obat penyakit sudah ada, maka atas izin Allah akan bebas (sembuh)”. Dalam hadis tersebut, baik kata al-syifā’ maupun al-dā’ memiliki arti yang sama, yaitu obat. Tetapi meskipun sama, al-Qur’an hanya menggunakan kata syifā’. Ada dimensi makna dari kata al-syifā’ yang tidak terdapat dalam kata al-dā’.
Al-Qur’an menggunakan konsep syifā’ dalam dua dimensi, yaitu dimensi materiil (mādiy) dan dimensi spiritual (ma’nawiy). Sebagai kata yang memuat dimensi materiil, kata al-syifā’ digunakan oleh al-Qur’anuntuk mengisyaratkan pengertian obat secara bendawi. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an disebutkan:
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat (syifā’) yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (Q.S. al-Nahl [16]: 69)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa dalam madu yang diproduksi dalam perut lebah terdapat obat yang dapat menyembuhkan manusia. Dalam pengertian ayat ini, obat berarti material tertentu yang dapat menyembuhkan penyakit, yaitu madu atau materi lain yang bermanfaat dan diproduksi lebah. Jadi, pengertian kata syifā’ dalam ayat tersebut berarti obat secara materiil.
Sementara itu, pada ayat yang lain al-Qur’an menunjukkan pengertian kata syifā’ dalam dimensi spiritual. Yakni, syifā’ (obat) bukanlah merujuk pada bentuk fisik-materiil tetapi berwujud sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi obat (syifa’) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Q.S. al-Isrā’: 82)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibn Asyur dalam Kitab Tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr menjelaskan bahwa pengertian kata al-syifā’ pada hakikatnya adalah hilangnya penyakit. Kata ini digunakan al-Qur’an secara metaforis untuk menegaskan bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat yang dapat dijadikan obat untuk menghilangkan penyakit. Syifā’ dalam pengertian ini jelas bukanlah obat yang berbentuk materi-materi, tetapi bacaan-bacaan ayat tertentu.
Dalam menjelaskan pengertian syifā’ tersebut, Ibn Asyur menukil sebuah hadis yang menceritakan bahwa suatu ketika Abi Said al-Khudriy diutus oleh Rasulullah Saw. dalam suatu perang dengan ditemani oleh 3o penunggang kuda. Ketika Abi Said sampai pada suatu desa, ia mendapati pimpinannya sakit karena digigit ular. Mereka melapor kepada Abi Said: “Apakah diantara kalian ada seseorang yang dapat mengobati dari penyakit karena dgigit ular?”. Singkat cerita, akhirnya Abi Said mengobati pimpinan mereka dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an. Ketika berjumpa dengan Rasulullah Saw., Abi Said menceritakan semua yang dilakukannya terhadap pimpinan yang sakit itu.
Dalam al-Qur’an, pengertian syifā’ juga digunakan dalam relasi antara Allah dengan makhluk-Nya. Dalam Q.S. al-Syua’arā’; 80 disebutkan, “Jika aku sakit, maka Dia (Allah) yang menyembuhkanku (yasyfīn).” Bentuk verbal dari kata syifā’, yaitu yasyfīn (menyembuhkanku) dipakai al-Qur’an untuk menegaskan bahwa Allah-lah Dzat yang menyembuhkan setiap orang yang sakit. Allah sebagai sumber obat dan penghilang penyakit disebut dengan al-syāfi (Dzat Penyembuh). Oleh karena itu, Rasulullah Saw. mengajarkan doa untuk orang yang sakit: Allahumma yā Rabban al-nās, adzhib al-ba’sa. Isyfi fa-innaka anta al-Syāfi, lā syifā’a illā syifā’uka, syifa’an lā yughādiru saqaman.
Dengan demikian, pengertian syifā’ (obat) dalam al-Qur’an mengacu pada dimensi material dan spiritual. Obat itu tidak hadir dalam wujud fisik saja, tetapi juga non-fisik. Apapun ikhtiar obat yang dicari atau dipilih, semuanya tidak dapat dilepaskan dari Allah sebagai sumber obat (al-Syāfi). Al-Qur’an telah menggunakan pengertian al-syifā’ dalam suatu pola hubungan antara “yang fisik” dengan “yang non-fisik” atau antara “yang material” dan “yang spiritual”. Hubungan ini diletakkan dalam pola relasi hamba dengan Tuhan-Nya. [MZ]