Masdar Hilmy Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Ibadah dan Pamrih Sosiologis

3 min read

Source: harianislam.com

Apakah Anda pernah mendengar orang yang sudah pernah berhaji marah-marah ketika tidak dipanggil haji? Atau dia ingin diperlakukan istimewa pada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti duduk di barisan terdepan bersama orang-orang terhormat lainnya?

Dalam konteks ini, penulis pernah mendengar seseorang bersumpah bahwa dia pernah haji berkali-kali. Karena itu, dia pasti akan membayar seluruh hutang-hutangnya tepat waktu. Kenyataannya, sumpahnya adalah sumpah palsu, dan dia tetap tidak memenuhi janjinya untuk melunasi hutangnya tepat waktu.

Di masyarakat kita sering disuguhi berbagai fenomena yang menggambarkan paradoks keberagamaan antara perilaku dengan titel haji atau frekuensi ibadah yang dilakukan. Misalnya ada ungkapan begini: “salat jemaahnya tekun, selalu salat di masjid, tetapi pekerjaannya menggunjing orang lain”.

Atau ada ungkapan begini: “sudah bergelar haji, umrah berkali-kali, tetapi kelakuannya buruk sering menipu orang”. Fenomena paradoks semacam ini bahkan difilmkan ke dalam serial sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Atau serial sinetron Haji Medit yang memainkan figur haji Muhyiddin, seorang pedagang kaya raya yang selalu bilang haji tapi bakhīl.

 Pamrih Sosiologis

Disebut ibadah sosiologis karena pelaksanaannya didorong oleh keinginan agar dilihat orang lain. Seseorang melakukan salat berjemaah karena melihat tetangganya berjemaah; dia beramal/bersedekah karena orang lain bersedekah, dan seterusnya. Ini adalah fenomena keberagamaan yang umum dijumpai di tengah masyarakat kita. Melakukan ibadah karena takut digunjing oleh orang lain. Berbuat baik karena merasa tidak enak dengan orang lain. Akibatnya, kesalehannya selalu bergantung pada pandangan orang atau apa kata orang.

Di kalangan masyarakat terentu, naik haji bahkan dianggap sebagai perubahan status sosial. Di kalangan masyarakat semavam ini, orang yang berkeinginan naik haji termotivasi salah satunya oleh efek perubahan status sosial dari masyarakat biasa ke kelompok elite terhormat. Begitu pulang dari haji, mereka akan dihormati oleh masyarakat dan status sosialnya akan naik. Ada perlakuan berbeda berdasarkan pada apakah dia sudah haji apa belum. Orang yang sudah haji ditempatkan pada barisan terdepan jika ada acara-acara keagamaan di kampung semacam acara Maulid Nabi, halal bihalal, Isra’ Mikraj, dan semacamnya.

Baca Juga  Apakah Rezeki Bertambah Jika Dicari atau Berkurang Jika Tidak Mencari?

Secara sosial orang yang sudah berhaji—apalagi haji berkali-kali—akan mendapatkan panggilan berbeda di depan namanya, seperti “Abah” jika laki-laki dan “Umik” jika perempuan. Jika ingin lebih lengkap lagi, setelah panggilan tersebut ditambahkan titel haji atau hajah; Abah haji Fulan dan Umik hajah Fulanah. Ada anggota keluarga yang keberatan dan bahkan marah-marah jika seseorang yang sudah haji tidak dipanggil demikian. Alasannya, panggilan demikian dianggap sebagai penghormatan atas ikhtiar dan proses yang melelahkan untuk berangkat haji ke Tanah Suci. Tidak sembarang orang bisa naik haji.

Artinya, kesalehan yang diciptakan adalah kesalehan yang dikonstruksi secara sosial. Masyarakat ikut membantu dalam membangun gambar, profil atau figur orang saleh. Dan tahukan Anda bahwa figur kesalehan yang dikinstruksi oleh masyarakat kita adalah bentuk kesalehan ubudiyah atau vertikal-individual, belum sosial-horizontal?

Penulis tidak sedang melakukan pembenaran atas figur kesalehan. Tetapi, kenyataannya, gambar kesalehan sebagaimana yang dikonstruksi oleh masyarakat kita belum menyeluruh mencakup kedua bentuk kesalehan di atas. Akibatnya, banyaknya jumlah haji di sebuah masyarakat tidak berkorelasi secara positif terhadap kesejahteraan warga di masyarakat tersebut. Bahkan, tidak jarang dijumpai realitas banyaknya haji terkonsentrasi di daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya terbilang akut, IPM-nya rendah, penganggurannya tinggi, dan semacamnya.

Salah satu faktor mengapa masyarakat kita masih dilanda kesalehan sosiologis karena simbolisme ritual masih menjadi parameter bagi tingkat kesalehan seseorang. Padahal ukuran kesalehan seseorang mestinya mencakup seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat kita. Oleh karena itu, perlu diekankan kembali pentingnya kedalaman spiritualitas atas kesalehan seseorang. Gambar kesalehan jangan hanya menggunakan parameter yang nampak atau bersifat sosiologis, tetapi ibadah yang tersembunyi.

Ibadah yang tidak bermotif (sanjungan) manusia sebenarnya sudah banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis, misalnya, Rasul bersabda bahwa sedekah yang paling afdal adalah sedekah yang dikeluarkan oleh tangan kanannya, tetapi tangan kirinya tidak tahu. Pertanyaannya, bagaimana mungkin tangan kiri tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tabgan kanannya padahal keduanya merupakan anggota dari satu tubuh yang sama? Tentu saja ini hanya tamsil, perumpamaan, atau i‘tibār betapa beratnya orang melakukan ibadah yang ikhlas atau non-sosiologis ini.

Baca Juga  Tradisi Beragama dalam Peradaban Planetari

Era Medsos

Di era medsos, ibadah sosiologis bahkan lebih “sadis” lagi. Semuanya diviralkan, termasuk ibadah mahdlah. Yang paling banyak diviralkan adalah ibadah haji atau umrah. Pertanyaannya, untuk apa seseorang meng-update rangkaian manasiknya di medsos tanpa pamrih sosiologis? Bisakah kita menetralkan perasaan dan hati kita dari berbagai hal yang bersifat duniawi dan bendawi ketika kita bermedsos ria dengan serangkaian update ibadah haji kita? Jawabnya: mungkin bisa, tapi sulitnya setengah mati karena kita masih manusia.

Sebagaimana diketahui, kita sekarang ini hidup di era yang jauh berbeda dengan era bapak-ibu dan kakek-nenek kita. Pada saat era mereka, medsos belum ada. Karena itu, rangkaian ibadah kita tidak bisa kita dokumentasikan melalui medsos. Paling banter adalah foto yang jarak pemotretan dengan pencetakan tidak bisa cepat. Persebaran informasi juga tidak bisa dilakukan dengan cepat. Tetapi sekarang? Dengan mudah kita bisa menyebarkan informasi tentang keberadaan kita; sedang melakukan apa dan di mana?

Dengan mengatakan hal di atas, bukan kita tidak boleh melakukan “narsis” berfoto ria ketika kita beribadah haji. Tetapi tantangannya sungguh berat: masuknya godaan berupa pamrih sosiologis di balik setiap update kita. Yang dimaksud dengan pamrih sosiologis di sini adalah efek sosial akibat perilaku kita; bisa berupa pujian, efek politik atau ekonomi sebagai akibat dari tindakan kita melakukan update di medsos.

Karena itu, hal terpenting dari pemanfaatan piranti teknologi seperti medsos tidak boleh merusak niat murni dan ikhlas menjalankan ibadah. Jangan sampai kita melakukan ibadah ini atau itu dimaksudkan supaya banyak orang mengagumi atas capaian-capaian ibadah kita.

Jika kita tidak atau belum bisa menata hati kita untuk hal-hal yang dapat bersampak pada pamrih sosiologis, sebaiknya kita tangguhkan dulu perilaku bermedsos ria menjelang, selama dan setelah ibadah haji kita usai. Semuanya diniatkan untuk menjaga kemurnian niat kita beribadah karena mencari rida Allah SWT semata, bukan karena pamrih sosiologis.

Masdar Hilmy Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya