“Mari kita bersama-sama menegaskan bahwa Tuhan itu Maha penyayang dan mencemarkan nama-Nya dengan membenci saudara dan saudari kita merupakan penghujatan terbesar. Permusuhan, ekstremisme dan kekerasan yang lahir dari hati orang-orang beragama, adalah pengkhianatan terhadap agama.”
Paus Fransiskus di Ur, tempat kelahiran Abraham (Ibrahim as.)
Ungkapan ini adalah bagian dari kunjungan bersejarah seorang pemimpin Agama Katolik Roma ke Irak (Jumat, 05/03). Di tengah kemelut yang baru saja berakhir di Irak dengan berbagai kemungkinan ancaman yang masih bisa terjadi; di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang masih melanda seluruh dunia, Paus Fransiskus tetap mewujudkan perjalanan simbolik di Negara dengan sejarah konflik panjang sejak pergantian millennium.
Dalam wawancara pers di pesawat kepausan setelah kembali dari Baghdad, Paus mengatakan, “Perjalanan ini adalah perjalanan yang paling membuat saya ragu. Saya banyak memikirkannya dan berdoa untuk perjalanan ini.” Saya melihat bahwa perjalanan ini adalah perjalanan yang penting setidaknya karena dua hal.
Pertama; selain untuk sapaan terhadap umat Kristiani di Irak, pertemuan ini juga merupakan satu rangkaian dari pertemuan dengan dua pemimpin besar Islam, Imam Besar Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb dan salah saut pemimpin Syiah yang paling dihormati Ayatollah Ali Al-Sistani.
Kedua, pertemuan ini rasa-rasanya mengembalikan citra agama sebagai pembawa damai. Narasi perdamaian yang lahir dari kedua pertemuan ini meski tak akan menghapus berbagai narasi ‘permusuhan’ antar agama, tapi mengingatkan kita akan hakekat agama sebagai pembawa damai dan terus ingin melestarikan perdamaian.
Pertemuan Abu Dhabi
Dua tahun sebelumnya (2019), telah ada perjumpaan antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Al-Tayeb, yang akhirnya melahirkan dokumen yang dikenal dengan Dokumen Tentang Persaudaraan Kemanusiaan (Human Fraternity). Dokumen ini melahirkan ide-ide tentang bagaimana merawat dunia sebagai rumah bersama. Beberapa yang bisa dicatat dari pertemuan itu adalah bagaimana kedua pemimpin agama ini sepakat bahwa agama pernah dan mungkin juga sedang menjadi sumber permasalahan dunia.
Agama disadarkan akan fitrahnya yang selalu berpihak kepada kemanusiaan: “Atas nama orang miskin, melarat, terpinggirkan dan mereka yang paling membutuhkan, yang bagi mereka Allah telah memerintahkan kita untuk membantu sebagai tugas yang dituntut dari semua orang; Atas nama anak Yatim, para janda, para pengungsi dan mereka yang diasingkan dari tanah air dan Negara mereka; atas nama para korban perang, penganiayaan dan ketidakadilan….” (Dokumen Abu Dhabi).
Dengan tegas, dalam dokumen yang ditandatangai (disahkan) oleh kedua pemimpin agama ini dinyatakan, “Kami dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan dan ekstrimisme, juga tidak boleh memancing kekerasan dan pertumpahan darah.” Dari sini, kita belajar bahwa dalam situasi dunia saat ini, agama diundang untuk kembali kepada panggilan dasarnya sebagai sumber cinta bukan sumber perpecahan.
Pertemuan di Irak
Secara spesifik dalam pertemuan beberapa hari lalu yang saya sebutkan di awal tadi, tepatnya di Kota Suci Najaf antara Paus Fransiskus dan Ali Al-Sistani, Ayatullah Agung atau pejabat Syiah paling senior di Irak, mencerminkan kisah yang berbeda. Di sana tidak ada dokumen yang ditandatangani. Pertemuannya pun berada di rumah sewaan Ali-Al-Sistani yang berada di sebuah gang sempit. Di tempat itu pada dasarnya terjadi pertemuan dua orang yang berpenampilan sederhana (yang satu dengan pakaian hitam dan yang lain dengan pakaian warna putih), yang ingin saling menyatukan dan menyatakan bahwa perdamaian itu mungkin.
Dari peristiwa ini dunia mendengar kisah tentang seorang pribadi yang membela hak-hak kelompok-kelompok ‘minoritas’ yang ada di Irak. Ali Al-Sistani adalah seorang yang pada tahun 2014 menyatakan fatwa yang sangat terbatas untuk mengangkat senjata guna melawan organisasi jihadi ISIS guna membela Negara, rakyat dan tempat-tempat suci mereka. Fatwa ini mendorong banyak orang untuk membela kepentingan kaum minoritas yang tertindas oleh kelompok jihadi ISIS.
Setelah pertemuan bersejarah itu, Ali Al-Sistani mendorong pemimpin agama dunia guna mendahulukan akal sehat, bukan peperangan; khususnya mengenai komunitas Kristiani di Irak. Pesan yang ia sampaikan adalah agar umat Kristen ini harus hidup seperti orang Irak yang lain. Ini adalah ajakan guna hidup dalam damai dan bisa saling berdampingan satu sama lain.
Ajakan lain dari Ali Al-Sistani yang menenteramkan dan sekaligus membangunkan nurani beragama kita adalah sebagaimana yang ia ungkapkan, “Para pemimpin religius dan spiritual harus memainkan peran besar guna menghentikan berbagai tragedi….. dan mendesak berbagai pihak, terutama kekuatan perang guna menggunakan kebijaksanaan dan akal sehat serta menghapus bahasa perang.”
Di sisi lain, Paus Fransiskus menyatakan, “Kita sebagai orang beriman tidak bisa tinggal diam ketika terorisme mencemarkan agama; secara jelas kita dipanggil untuk menghapus segala salah pengertian tentang Tuhan ini.” Ungkapan ini tidak akan bergaung besar ketika dinyatakan di Vatikan, tetapi begitu bergema ketika diungkapkan di Irak, yang mengalami berbagai ketidakharmonisan antar agama dan berbagai kelompok keagamaan. Bersambung… [AA]
Selanjutnya: Inisiatif Perdamaian oleh… (2)