Mei Lani Praditasari Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta

Proses Penciptaan Alam dari Kacamata Filsuf Al-Farabi

2 min read

Para cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang pemikiran mengenai penciptaan alam semesta. Beberapa cendekiawan muslim yang sering menawarkan ide-ide pendidikan termasuk Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Sahnun, al-Qabasi, dan lainnya.

Al-Farabi (Muhammad Ibn Tarkhan Abu Nasr al-Farabi) lahir di Tannsoxiana di Farab, menjelang akhir abad ke-9. Ayahnya seorang kapten bangsa Persia keturunan Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika.

Pertemuan dan pergumulan pemikiran di Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neoplatonisme. Al-Farabi dalam perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi.

Karier pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M. Al-Farabi menjabat sebagai hakim lokal ketika ia masih muda. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan senang mempelajari ide-ide filosofis dan metafisik.

Oleh karena itu, ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai hakim pada usia sekitar empat puluh tahun. Setelah itu, ia pindah ke Baghdad, yang pada saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan. Di sana, beliau belajar ilmu Nahwu di bawah bimbingan Abu Bakar bin Siraj (wafat 316 H/929 M) dan ilmu logika di bawah bimbingan Abu Basyar bin Matta bin Yunus (wafat 328 H/939 M).

Setelah itu, ia pindah ke Baghdad, di mana ia menghabiskan hampir tiga puluh tahun untuk meneliti, menulis, mengajar, menjelaskan, dan mengkritik karya-karya Aristoteles dan Plato agar ia menjadi terkenal di seluruh dunia dan menarik banyak murid untuk belajar di bawah bimbingannya (Muhammad ‘Utsman Najati, 2002: 57-58).

Al Farabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau Desember 950 M.

Baca Juga  'Luput Sembur' Covid-19

Filsuf memandang proses penciptaan semesta tak cukup puas dengan sekedar kata “percaya” dan akhirnya berpikir mencari rujukan karya-karya filsuf Yunani sebagai tangga bantu dan sarana untuk menjawabnya secara rinci dan logis serta sistematis.

Menurut Plato, dunia ide adalah dunia kekal dan abadi, sementara yang tampak di dunia ini adalah dunia bayang-bayang atau copy dari dunia ide yang abadi tersebut. Dunia ide tetap ada dan kekal meskipun dunia bayangannya musnah, seperti manusia ini akan musnah tetapi dunia ‘ide’ manusia akan abadi selamanya. Dengan pemikirannya yang selalu berkaitan dengan ide ini, Plato termasuk menganut aliran filsafat idealisme.

Lain Plato, lain pula Aristoteles, selaku murid Plato. Ia mencoba melengkapi gagasan Plato yang masih sederhana. Baginya ide-ide yang dijelaskan plato tidak menghasilkan jawaban apa-apa. Aristoteles memecah dualisme Plato antara alam ide dan alam materi dengan mengemukakan bahwa, alam ide dan materi itu menyatu.

Itu sejalan dengan filsafat metafisikanya Aristoteles bahwa setiap benda terdiri dari jiwa (matter) dan bentuk (form) jiwa adalah substansinya sedangkan memalui bentuk itulah jiwa menampakkan eksistensinya.

Al-Farabi, setelah membaca karya metafisika-nya Aristoteles ratusan kali, tidak mendapat jawaban yang memuaskan, dan kemudian memutuskan untuk menjelaskan kembali konsep metafisika penciptaan alam dari wujud tunggal yang abadi dengan penjelasan yang lebih detail dan sempurna,

Definisi filsafat menurut al-Farabi yaitu al-Ilmu bil maujudat bima hiya al-maujudat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al-Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam dan juga berhasil mengharmonisasikan filsafat Plato dan Aristoteles sehingga menyebabkan tidak adanya pertentangan di antara keduanya, karena menurut Al-Farabi meskipun kelihatannya berlainan dalam hal pemikirannya, hakekatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Baca Juga  Cara Dakwah Sunan Bonang di Tuban

Menurut Al-Farabi, alam tercipta melalui pelimpahan atau emanasi. Proses emanasi berlangsung dari akal pertama hingga akal kesepuluh secara serentak dan bertingkat. Di sinilah tampak sekali pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran metafisikanya al-Farabi, dan dapat disimpulkan bahwa alam ini berasal dari zat yang maha tunggal, kekal dan suci melalui pelimpahan.

Dalam argumen al-Farabi, penciptaan alam ini diawali dari wujud tunggal yang mesti ada. Argumen lain yang dijadikan dasar oleh al-Farabi adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya.

Hal itu menunjukkan penciptaan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang tunggal dan melimpah sedemikian rupa. Dengan demikian, al-Farabi hendak menjelaskan bahwa walaupun alam itu berasal dari Dzat yang satu, yaitu Tuhan, tetapi keberadaannya kadim karena proses emanasi, menurutnya, tidak berada dalam lingkup ruang dan waktu seperti waktu di mana kita berada pada saat ini. [AR]

Mei Lani Praditasari Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta