Ferry Fitrianto Peneliti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kiai Muhammad Abdul Muhith: Ahli Fikih Yang Menjadi Rujukan

2 min read

Ilustrasi

Bagi masyarakat Bantul, khususnya daerah Wonokromo dan sekitarnya, tentu tahu siapa Mbah Uhith atau bernama lengkap Kiai Muhammad Abdul Muhith itu. Beliau adalah ulama ahli fikih sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al-Fitroh, Jejeran, Pleret, Bantul, Yogyakarta.

Mbah Uhith, begitu sapaan akrabnya, lahir di Dusun Jejeran pada tahun 1936. Ayahnya bernama Kiai Nawawi yang merupakan seorang ulama berpangaruh juga di wilayah Jogja.

Ayah Mbah Uhith ini juga pernah menjadi sekertaris pribadi Syekh Ihsan Jampes—pengarang kitab Siraj al-Thalibin. Semasa kecil, Mbah Uhith banyak belajar ilmu agama pada ayahnya dan beberapa ulama di sekitar Wonokromo. Mbah Uhith juga pernah nyantri di pesantren Watucongol Magelang yang di asuh Mbah Kiai Dalhar Watucongol (seorang waliyullah).

Selain belajar dengan para ulama terkemuka ternyata Mbah Uhith punya kebiasaan otodidak, beliau lebih suka belajar sendiri. Hampir semua kitab yang ada di perpustakaan pribadi telah dibacanya.

Mbah Uhith biasa melakukan muthala’ah (membaca kitab sendiri) dengan begitu tekun, dan ini merupakan keunggulan dari Mbah Uhith, bahkan kebiasaan muthala’ah ini sulit ditandingi oleh orang lain sekalipun putra-putri beliau.

Hasil bacaan Mbah Uhith itu biasanya beliau sampaikan pada saat kajian kitab kuning, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Dapat dikatakan bahwa Mbah Uhith ini seorang pembaca kitab kuning sepanjang hayat.

Selain rajin membaca kitab, Mbah Uhith produktif menulis kitab. Salah satu dari karya tulisnya yang berkenal berjudul Hiyadl ar-Rabihin fi Ma’rifati Ma’aniy Riyadl a;-Shalihin. Kitab ini merupakan kitab terjemahan secara deskriptif dari kitab Riyadl al-Shalihin karya al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (631-676 H). Adapun jenis penulisan kitab tersebut menggunakan aksara Arab pegon berbahasa Jawa.

Baca Juga  Menyingkap Bahasa melalui Atomisme Logis Bertrand Russell

Alasannya Mbah Uhith merasa jika selama ini kitab-kitab kuning hanya mampu dipahami oleh kalangan santri, sementara orang awam yang ikut ngaji dengannya tidak paham, maka Mbah Uhith berinisiatif untuk menulis kitab dalam aksara Arab pegon (berbahasa Jawa) agar mudah dipahami oleh semua kalangan.

Karya tulis Mbah Uhith ini diterbitkan secara pribadi di Pondok Pesantren Al-Fitroh dan tidak diperjualbelikan di toko buku, hanya untuk internal pesantren saja. Karya tulis Mbah Uhith dapat dijumpai di perpustakaan pesantren Al-Fitroh. Kitab tersebut terbit pertama kali pada tahun 1982 dalam 42 bagian yang disatukan menjadi 4 jilid tebal seperti kitab aslinya.

Dalam hal tasawuf, Mbah Uhith menganut Imam Ghazali dan dalam tarekat beliau ikut Tarekat Naqsyabandiyah. Tidak diragukan lagi kepakaran Mbah Uhith dalam bidang agama. Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu mulai dari tafsir, hadis, fikih, nahwu-sharaf dan tasawuf, tetapi di antara disiplin keilmuan yang paling menonjol ada di bidang fikih (hukum Islam).

Mbah Uhith selalu dijadikan rujukan para kiai-kiai Wonokromo dan luar Jogja saat mereka menemui kesulitan dalam memecahkan masalah fikih. Kepakaran beliau dalam bidang fikih sudah dikenal luas di wilayah Jogja, sehingga tidak heran bila beliau menjadi ulama rujukan.

Mbah Uhith bukan saja ahli fikih, beliau juga merupakan seorang ahli hadis. Beliau pernah mendirikan Majelis Bukhoren yaitu majelis yang mengkaji kitab Shahih Bukhori setiap bulan Maulud.

Majelis Bukhoren ini berdiri pada tahun 1968 yang dinahkodai oleh Mbah Uhith dengan dibantu sahabatnya yaitu KH. Busyro Wonokromo, KH. Ali Ma’sum Tegal, dan KH. Muhyiddin Jejeran. Majelis Bukhoren ini masih dilakukan sampai sekarang meski Mbah Uhith sudah wafat.

Baca Juga  Mengenal Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Penulis Kitab Tafsir Pertama Di Indonesia

Selain mendirikan Majelis Bukhoren, Mbah Uhith juga menggerakan Majelis Dalail al-Khaerat dan beliau menjadi mujiz (dalam dunia sufi disebut mursyid). Majelis ini didirikan pada tahun 1970 dengan peserta dari Jejeran dan sekitarnya.

Majelis itu dilakukan setiap tanggal 12 bulan Hijriyah dan rutin dengan lokasi dari rumah ke rumah anggota majelis. Orang sekitar mengenal majelis ini dengan istilah “malem rolasan”. Majelis ini masih eksis sampai sekarang dan diteruskan putra beliau.

Mbah Uhith bukan orang yang silau pada jabatan, sebab pernah beliau mendapat tawaran menjadi Mukhtasyar NU Bantul, dan berkali-kali para pengurus meminta kesediaan Mbah Uhith menjadi ketua tetapi lagi-lagi dengan halus Mbah Uhith menolaknya. Pernah sekali jadi pengurus Mukhtasyar NU tetapi beliau juga tidak aktif.

Beliau juga pernah diamanahi untuk menjadi pengurus Masjid Jejeran tetapi juga tidak pernah aktif. Alasan Mbah Uhith menolak berbagai tawaran tersebut bukan tanpa sebab beliau lebih suka berdakwah dan menjadi kiai yang biasa saja, dengan begitu hati dan pikiran bisa tenang.

Mbah Uhid wafat pada tahun 2004 pada usia 67 tahun karena menderita sakit flek pada paru-parunya. Beliau wafat dengan meninggalkan anak, istri, santri, dan juga jamaah majelis ilmunya.

Sebelum wafat, Mbah Uhith memiliki keinginan yang mulia yaitu beliau ingin membawa seluruh keluarganya untuk melaksanakan haji bersama, tetapi sebelum itu terwujud beliau sudah lebih dulu kembali pada Sang Pencipta. Mabh Uhith berpesan pada putranya agar meneruskan pesantren dan merawat majelis yang sudah beliau bangun selama ini. [AR]

Ferry Fitrianto Peneliti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta