Hari Rabu, 10 April 2024, ialah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh kalangan umat Islam di Indonesia. Setelah harus menahan diri dengan berpuasa selama sebulan, kini umat Islam telah bergembira mengumandangkan takbir menyambut Idulfitri.
Idul fitri adalah hari yang ditunggu-tunggu kaum muslimin karena pada hari itu semua dosa umat Islam telah diampuni seolah kertas putih yang bersih, seperti akar katanya, Idulfitri yang memiliki makna kembali ke fitrah atau kembali ke kesucian.
Umat Islam di seluruh dunia sangat antusias menyambut momen ini. Di Indonesia sendiri momen Idulfitri diwarnai dengan budaya mudik dan saling bermaaf-maafan dengan tetangga.
Banyak ulama, dai, ataupun ustaz yang memberikan kajian mengenai Idul fitriini. Namun, di sini penulis mengambil sudut pandang yang berbeda, yaitu sosiologi agama Emil Durkheim.
Emile Durkheim (1858-1917) ialah sosiolog asal Prancis yang sangat berpengaruh dan memengaruhi pemikiran-pemikiran sosiologi setelahnya. Teorinya yang paling terkenal dalam sosiologi ialah teori tentang fakta sosial.
Menurut Durkheim, fakta sosial ialah cara bertindak, berpikir, dan merasa yang berada di luar individu dan dapat mengontrol individu, seperti norma, adat istiadat, aturan, dan sebagainya.
Bagi Durkheim, yang menarik ialah fakta sosial bersifat eksternal atau di luar individu sehingga individu dikontrol secara tidak sadar oleh fakta sosial ini, dan jika individu tidak peka terhadap fakta sosial, tersebut maka ia akan menerima konsekuensi-konsekuensi berupa penolakan sosial.
Selain fakta sosial, dalam karyanya The Elementary Form of Religious Life, Durkheim juga mengkaji secara serius mengenai agama. Bagi Durkheim, definisi agama ialah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral.
Itu adalah sesuatu yang disisihkan dan dilarang dalam kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut “gereja” di mana semua tunduk padanya, Karena agama yang dilihat Emil Durkheim ialah kristen, maka ia menyebutnya “gereja”.
Menurutnya, ada dua hal dasar dalam agama yaitu, “sacred” dan “profane”, sakral dan profan atau duniawi. Durkheim menjelaskan bahwa konsentrasi agama terletak pada hal-hal yang sakral (suci), karena yang sakrallah yang memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan anggota masyarakat, sedangkan profan hanya bagian keseharian hidup dan bersifat biasa-biasa saja.
Jika kita tinjau hari raya Idulfitri, maka jelas ia termasuk bagian yang sakral karena ia memiliki pengaruh yang luar biasa dalam masyarakat. Pada hari raya itu, masyarkat secara tidak langsung dikontrol oleh kondisi di mana meraka harus bersikap lebih baik, lebih ramah, lebih sopan dan sebagainya daripada hari-hari biasa. Jika kita bandingkan dengan hari raya Iduladha, ataupun hari besar Islam lainnya, tidak ada kontrol sosial sekuat hari raya Idulfitri.
Selain itu, hari raya Idulfitri adalah kesempatan di mana individu menampilkan sosoknya yang baru dalam masyarkat. Kegiatan sosial meningkat luar biasa pada hari raya Idulfitri. Bahkan bisa dikatakan puncak kestabilan sosial masyarakat terjadi ketika Idulfitri karena invidu “harus” menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Menurut Durkheim, “yang sakral” ialah sesuatu yang superior, berkuasa, yang tidak tersentuh, dan selalu dihormati. Selain itu, Durkheim menjelaskan tentang fungsi sosiologis dari agama.
Menurutnya, agama ialah kohesi sosial, yaitu merekatkan masyarakat, masyarakat yang hidup dalam satu komunitas, satu agama. Maka, secara tidak langsung itu akan membuat antarindividu merasakan solidaritas antarsesama individu sehingga berkurangnya kesenjangan sosial dan perpecahan yang terjadi pada masyarakat.
Hal ini dengan mudah dapat kita jumpai ketika momen Idulfitri di mana umat Islam berkumpul bersama, berjalan menuju masjid ramai-ramai, tanpa adanya kesenjangan ataupun kesombongan.
Masing-masing merasakan solidaritas yang sama meskipun tanpa adanya hubungan darah. Tiap muslim merasa senang dan bahagia hanya dengan bertemu dan bersalaman dengan sesama muslim lainnya.
Selain itu, agama juga berfungsi sebagai kontrol sosial, seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa tidak ada kontrol sosial sekuat hari raya idul fitri. Masyarkat mau tidak mau harus berperilaku baik, mengikuti keadaan sosial yang terjadi pada hari itu.
Jika seandainya ada individu yang tidak mematuhi kontrol sosial ini, maka ia akan mendapatkan sanksi sosial seperti menjadi bahan pembicaraan umum, atau mungkin dikucilkan dari lingkungan sosial.
Maka, dapat kita pahami bahwa hari raya Idulfitri bukan hanya berdampak kepada iman dan pribadi kita, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luar biasa. Dari Emil Durkheim kita menjadi paham bahwa agama memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk keadaan sosial.
Idulfitri bukan hanya mengubah individu menjadi lebih baik, melainkan masyarkat pun juga ikut berubah menjadi lebih kondusif dan lebih solid ketika dalam suasana Idulfitri. Terakhir, penulis mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 H. Minal aidzin wal faidizin—mohon maaf lahir dan batin. [AR]