Mohamad Muhaiminul Aziz Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Selain Medis, Kita Juga Butuh Doa Kiai Untuk Menghadapi Pandemi Covid-19

2 min read

Foto: https://www.chla.org/

Alkisah, ada seorang kiai bertanya pada muridnya saat sang murid menghadap kepadanya. Sang Kiai bertanya, “apa yang semakin mendekat pada manusia dan apa yang semakin menjauh darinya?” Sang murid hanya bisa menunduk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Kemudian sang Kiai berucap, “hal yang semakin mendekat pada manusia adalah kematian, dan hal yang semakin menjauh darinya adalah usia”.

Dialog antara kiai dan muridnya di atas bisa menjadi pengingat, bahwa kehidupan di dunia akan berakhir dengan kematian saat jatah usia manusia sudah habis. Bukti yang paling dekat adalah kondisi yang berapa bulan ini kita lalui. Keberadaan virus Korona menunjukkan sisi kerapuhan manusia menghadapi kematian. Virus ini telah menjadi horor yang sewaktu-waktu bisa mengantarkan siapapun pada ajalnya. Sampai-sampai ada ungkapan, “metu wedi mati, kedemok wong wedi mati, ndekem nang omah yo wedi mati “.

Horor kematian benar-benar menyelimuti kehidupan manusia. Namun kondisi ini jika kita renungkan kembali, maka ada hikmah yang dapat kita petik. Tuhan sedang menyapa hamba-Nya melalui makhluk super kecil bernama Korona. Mungkin sebelumnya kita sering lupa bahwa setelah kehidupan ada kematian. Atau kita kurang menyadari bahwa usia ada batasnya. Sehingga Allah menetapkan peristiwa pandemi Covid-19 ini untuk mengingatkan kita bahwa kehidupan dunia hanya sementara.

Ketakutan adalah salah satu cara Allah Swt menguji hamba-Nya, seperti yang termaktub dalam QS.  Al-Baqarah [2]: 155. Horor yang disebar Covid-19 ini merupakan cara Allah Swt menguji keimanan kita. Mana yang lebih kita takutkan, virus Korona ataukah Allah Swt?

Sering pada setiap Jumat, khatib mengingatkan kita melalui doanya agar senantiasa menggantungkan diri kepada Allah dengan memohon dijauhkan dari malapetaka dan musibah, termasuk wabah yang itu semua di bawah kuasa-Nya. Kutipan doa itu jika diterjemahkan kurang lebih seperti berikut:

Baca Juga  Pemikiran Teologi Antroposentris Hassan Hanafi

“Ya Allah, hindarkanlah dari kami kekurangan pangan, cobaan hidup, penyakit-penyakit, wabah, perbuatan-perbuatan keji dan munkar, ancaman-ancaman yang beraneka ragam, paceklik-paceklik dan segala ujian, yang lahir maupun batin dari negeri kami ini pada khususnya dan dari seluruh negeri kaum muslimin pada umumnya, karena sesungguhnya Engkau Kuasa atas segala sesuatu.”

Doa adalah senjata bagi setiap muslim, selain menjadi bukti pengakuan atas kelemahan diri dan penegasan atas kuasa Allah Swt. Oleh karenanya, di tengah-tengah peristiwa wabah ini kiai-kiai kita menganjurkan agar banyak-banyak berdoa. Secara personal, mereka tidak putus-putusnya mendoakan keselamatan bangsa dan negara sebagai bentuk ikhtiar batin. Tanpa kita sadari mereka memohon dengan penuh tadaruk agar cobaan ini segera diangkat oleh Sang Maha Kuasa.

Jika dokter serta tenaga medis menjadi garda terdepan dalam perang melawan Covid-19 secara lahir. Para kiai merupakan sosok penyangga yang tidak kalah penting pada ikhtiar batin. Mereka memanggul beban yang sama untuk menjaga akidah umat agar tidak goyah sebab wabah dan ketakutan terhadap Covid-19. Dengan jalan doa dan laku spiritual, mereka menginginkan ekuilibrium antara ikhtiar lahir dan batin dalam menghadapi pandemi.

Upaya spiritual ini dapat dijumpai seperti yang telah diprakarsai Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang mengajak masyarakat untuk istigasah dan zikir bersama secara daring. Mengutip pemberitaan suarasurabaya.net [8/4/2020], kegiatan tersebut bertujuan mendoakan keselamatan bagi masyarakat Jawa Timur dan Indonesia pada umumnya dari virus Korona. Ada 19 Kiai Sepuh yang bergantian membacakan doa Bersama-sama dengan Ibu Gubernur, FORKOPIMDA Jawa Timur dan seluruh mayarakat yang mengikuti dari siaran TV. Kegiatan tersebut tidak lain bukti keterlibatan kiai-kiai turut andil dari sisi spiritual agar wabah ini segera berakhir.

Baca Juga  Memaknai Pernyataan Gus Dur Sebagai Keturunan Tionghoa

Kewajiban kita saat ini sebagai umat dan warga negara adalah mengetahui porsi pribadi masing-masing. Pilihan ada di tangan/jari/mulut kita masing-masing, apakah memilih menjadi orang yang semakin memperunyam suasana sebab kebodohan kita, atau menjadi netizen yang membuat aman serta tidak membuat kepanikan pada orang lain.

Cukuplah pesan Rasulullah sebagai bahan perenungan, yang artinya “ada dua nikmat yang sering disia-siakan manusia, kesehatan, dan kelapangan waktu.” Serta perlu diingat kembali pesan dari Kiai kita “dadi wong ojo gumunan”, jadi orang jangan gampang heran, panik, dan membesar-besarkan sesuatu. Jika orang mudah “gumun”, maka orang tersebut gampang emosional, dan jika sudah emosional maka separuh akalnya akan hilang. Ibnu Sina pun berkata, “kepanikan adalah separuh penyakit”.

Maka kita dianjurkan menjadi orang yang tenang dan waspada ketika menghadapi sesuatu. Wabah pandemi Covid-19 ini belum berakhir dan tidak tahu kapan berakhirnya. Pemerintah sudah berikhtiar, para kiai sudah berdoa. Untuk itu, tetaplah berupaya sebisa mungkin berkontribusi mencegah penyebaran Covid-19 ini dengan berbagai cara yang sudah disarankan medis. Tetap diingat, Allah adalah Sang Maha Pengatur. Ikhtiar lahir dan batin memang perlu seimbang. [FM]

Mohamad Muhaiminul Aziz Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *