Edward Said dalam buku Orientalism menegaskan bahwa bagi Eropa, Timur tidak hanya sekadar tempat untuk mencari sumber daya alam, akan tetapi juga dianggap sebagai yang “liyan” (the other). Pemahaman tentang the other ini kemudian memunculkan dominasi yang luar biasa dari Eropa. Oleh karena itu, menurut Said dengan dominasi tersebut, budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menanamkan keyakinan terhadap dunia Timur bahwa mereka merupakan wali atau pelindung.
Sama seperti negara-negara penjajah lainnya, pada mulanya, Belanda datang ke Indonesia berkeinginan untuk berdagang. Di sisi lain, sebelum masuk ke wilayah Nusantara, pada saat itu Belanda juga memiliki pra-anggapan bahwa Nusantara merupakan kelompok masyarakat dengan peradaban primitif.
Pra-anggapan ini kemudian dibuktikan dengan cara mendatangi Nusantara yang kala itu terpecah-pecah semenjak kejatuhan Majapahit, sehingga Belanda dengan mudah menancapkan dominasinya di tanah Nusantara. Alih-alih hanya ingin berdagang, pada perkembangannya, Belanda kemudian juga berusaha merampas bumi Nusantara dan melakukan upaya “pemberadaban” terhadap masyarakatnya.
Upaya pemberadaban Nusantara dilakukan dengan cara mengenalkan budaya Barat. Belanda dalam hal ini memposisikan dirinya sebagai wakil Eropa yang memiliki peradaban ‘modern’. Peradaban modern ini kemudian menjadi tolok ukur apakah Nusantara pada masa itu sudah memiliki kehidupan modern atau masih primitif.
Dalam hal ini, benar apa kata Edward Said (1993) yang mengatakan bahwa diri sebagai self dalam perbedaannya dengan liyan atau the Other dikonstruksikan oleh budaya kolonialisme. Dengan begitu maka Belanda mengkonstruksikan dirinya sebagai modern dan identitas the other (Nusantara) sebagai primitive, tidak beradab, tertinggal, bodoh, dan sebagainya.
Konstruksi tersebut bisa dikatakan berhasil ketika ada masyarakat Nusantara (khusunya Indonesia) yang meniru budaya Barat. Hal ini bisa terjadi melalui interaksi yang terjadi antara orang Belanda dan orang Indoensia.
Pada masa itu, mereka yang memiliki akses untuk dapat berinteraksi dengan Belanda adalah golongan priyayi, atau mereka yang memiliki pangkat dalam pemerintahan pusat maupun daerah. Hubungan ini kemudian secara tidak langsung mempengaruhi para priyayi itu untuk memposisikan dirinya–meniru–seperti orang Belanda. Misalnya, dari cara berpakaian, pemikiran, atau bahasa. Proses “meniru” ini lah yang dimaksud oleh Homi K. Bhabha (1994) sebagai mimikri.
Sebenarnya, menurut Bhabha mimikri tidak hanya diartikan sebagai peniruan atau mengekor akan tetapi juga terkandung unsur mengejek. Ketika orang-orang Nusantara mengikuti gaya budaya Eropa atau Belanda, sesungguhnya dalam peniruan tersebut tidak lah sama persis. Orang-orang Nusantara masih tetap tidak bisa meninggalkan identitas kediriannya meskipun sudah berjuang untuk menyamakan dirinya dengan Eropa.
Misalnya dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Minke sebagai tokoh utamanya ingin meniru bagaimana kehidupan Eropa yang ia ketahui. Akan tetapi dalam peniruannya, ketika Minke bertemu atau berinteraksi dengan orang-orang Belanda atau Indo, Minke tetap dipandang sebagai orang Jawa.
Teori poskolonial ini, yakni mimikri, masih relevan untuk melihat fenomena mutakhir di Indonesia. Barat yang dulu dominan melalui bentuk kolonialisme sekarang berubah bentuk ke dalam konsep “globalisasi.” Banyak pengamat yang menilai bahwa globalisasi ini juga memuat bentuk kolonial baru atau yang disebut neo-kolonial. Negara-negara Barat tidak lagi menduduki negara dunia ketiga yang pernah dijajah. Di era globalisasi ini, Barat hanya cukup duduk di atas kursinya dengan hanya memainkan hegemoni ilmu pengetahuan, ekonomi, dan budaya.
Memasuki era globalisasi, faktanya kita tidak hanya mempertahankan dan menikmati budaya Barat dengan segala unsurnya, melainkan juga menerima budaya dari Timur Tengah. Masuknya budaya Timur Tengah juga merupakan salah satu dampak dari adanya globalisasi itu sendiri.
Negara yang berpendudukan mayoritas Islam, seperti Indonesia, menjadi ladang subur untuk dikuasai oleh wacana keislaman, baik dari segi pemikiran, budaya, atau lainnya yang berasal dari Timur Tengah. Untuk pertama kalinya bentuk penjajahan budaya, atau dalam bahasa Samuel P. Huntington disebut benturan antar peradaban, di Indonesia tidak hanya terjadi satu arah melainkan tiga arah, yakni antara budaya lokal, budaya Timur Tengah, dan budaya Barat.
Ketika dunia Barat saat ini menancapkan hegemoninya melalui dunia modern yang ia tawarkan, maka berbeda halnya dengan dunia Timur yang menawarkan keilmuan Islam dengan seperangkat budayanya. Budaya Barat menawarkan perangkat-perangkat teknologi dan ilmu pengetahuan, sedangkan dunia Timur menawarkan “solusi atau saran” untuk meningkatkan kesalehan beribadah dan problem sosial maupun politik.
Hal ini terlihat ketika busana Arab saat ini banyak digemari oleh sejumlah kalangan Muslim. Penggunaan tren Arab ini menurut mereka bisa meningkatkan kesalehan dalam beragama. Dasar argumentasi yang dibangun adalah sunnah Nabi Muhammad, baik perbuatan maupun keseharian.
Padahal kalau dilihat secara seksama, antara budaya dan ajaran agama tidak ada keterkaitan satu sama lain. Sebab jika agama hanya tereduksi ke dalam satu budaya maka agama akan kehilangan universalitasnya. Tidak heran ketika Gus Dur memperkenalkan konsep kontekstualisasi agama atau pribumisasi Islam untuk memahamkan kepada masyarakat bahwa agama bersifat universal.
Jika budaya menjadi tolok ukur kesalehan seseorang dalam beragama, bukankah orang-orang yang menentang Nabi pada masa dakwah juga memiliki budaya sama dengan Nabi. Ketika ini dipahami dengan betul, maka sebenarnya tidak ada kesinambungan antara budaya dengan kesalehan beribadah. Dan, apakah ketika kita hidup seperti orang-orang Barat yang katanya lebih modern, membuat kita akan lebih terlihat modern dan bersikap sanksi terhadap identitas kita yang tradisional. Menurut Bhabha, sejauh apapun kita meniru budaya orang dari luar, kita tidak pernah sampai kesitu.
Maka praksis sudah tantangan identitas kita di era saat ini yang semakin kompleks. Eropa tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan kita sebagai bentuk kebudayaan modern, dan budaya Arab juga tidak bisa kita lepaskan sebagai bentuk peningkatan kesalehan beragama. Lantas, siapakah kita sebenarnya? [MZ]