Mauludiyah MT Dosen Ilmu Kelautan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Urutan Rukun Islam, Perlukah Dipertanyakan?

2 min read

Saya perlu memberikan disclaimer, bahwa tulisan ini hanya ungkapan kegelisahan seorang ibu (orang tua), yang kebetulan sekaligus seorang Muslim.

Pandemic Covid-19 telah mengubah banyak hal. Mulai dari physical distancing, pembatasan fisik atau menjaga jarak antara satu orang dengan yang lain, hingga anjuran untuk beraktivitas di atau dari rumah, termasuk bekerja dan sekolah.

Nah, sekolah di atau dari rumah ini menjadi pengalaman baru, paling tidak untuk anak saya sekaligus saya sebagai orang tuanya. Materi belajar diberikan melalui HP orang tua. Ada grup Whatsapp (WA) paguyuban kelas yang memfasilitasi. Selain itu, penugasan, baik yang berupa mengerjakan soal-soal di buku paket hingga yang bisa langsung dikerjakan oleh siswa dengan pemanfaatan Google Formulir, menjadi serba-serbi aktivitas sekolah di atau dari rumah.

Saya tidak ingin membahas mengenai efektivitas metode pembelajaran tersebut. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin menceritakan awal mula kegelisahan saya yang berujung pada pertanyaan seperti pada judul tulisan ini.

Begini, tiba-tiba saja, pada sore itu, grup paguyuban kelas anak saya menjadi “rame”. Biasanya senyap. Para orang tua biasanya hanya melaporkan hasil belajar anak-anaknya. Tapi kali ini ada yang berbeda.

Para orang tua, yang kebanyakan emak-emak seperti saya, memprotes mengenai urutan Rukun Islam pada soal materi Fikih yang diberikan melalui Google Formulir. Pertanyaan yang diberikan adalah: Rukun Islam yang ketiga adalah titik, titik, titik. Dan kunci jawaban yang diberikan, setelah siswa mengerjakan soal, adalah zakat.

Banyak yang menanyakan mengapa jawabannya zakat. Karena menurut sebagian emak-emak jawabannya adalah puasa. Seperti halnya grup WA pada umumnya, pendapat dan komentar saling bersautan. Ramai.

Guru kelas mencoba menengahi dengan memberikan urutan Rukun Islam secara lengkap, tentunya setelah beliau mengkonfirmasi jawaban soal “kontroversial” tersebut ke guru Fikih. Urutan Rukun Islam yang diberikan oleh guru kelas tersebut adalah: syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji (apabila mampu).

Baca Juga  Pendidikan Akhlak Seksual Sebagai Upaya Mencegah Dispensasi Nikah (2)

Konfirmasi tersebut tidak serta merta membuat gelombang protes mereda. Beberapa menunjukkan hasil googling yang menunjukkan bahwa Rukun Islam yang ketiga bukanlah zakat, melainkan puasa. Bahkan ada yang menuliskan lirik lagu Rukun Islam, juga tepuk Rukun Islam, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa puasa adalah Rukun Islam ketiga.

Di sisi lain, kubu yang berpandangan zakat adalah Rukun Islam ketiga, pun tidak mau kalah. Hasil googling yang mendukung pernyataan tersebut juga banyak ditunjukkan. Meskipun saya ada di kubu zakat adalah Rukun Islam ketiga, saya tidak berniat untuk turut berpartisipasi dalam perdebatan sengit tersebut. Jaga energi, puasa. Hehehe..

Dalam Alquran sering kita temui perintah zakat yang mengiringi perintah salat, di antaranya pada QS. Al-Baqarah dan QS. Al-Ma’idah.

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Ma’idah [5]: 55).

Saya teringat, dulu guru agama maupun guru mengaji saya mengatakan bahwa zakat adalah rukun Islam ketiga (setelah syahadat dan salat), dan puasa adalah rukun Islam keempat. Loh, bukannya puasa dulu baru membayar zakat (fitrah)? Perlu diingat bahwa zakat tidak hanya berupa zakat fitrah yang wajib dilakukan pada bulan puasa (Ramadan).

Ada juga zakat mal (harta), serta sedekah dan infak (yang tidak diwajibkan sebagaimana zakat, namun sangat dianjurkan). Nah, penjelasan mengenai hal ini yang saya ingat betul. Zakat (serta sedekah dan infak) memberikan banyak implikasi yang besar bagi kesejahteraan umat. Sedangkan puasa sifatnya personal sekali, antara manusia (yang berpuasa) dengan Tuhannya.

Baca Juga  NU Channel versus Yufid.tv: Dari Perebutan Subscriber hingga Otoritas Keakidahan

Secara langsung. Tanpa perantara. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah  SAW bersabda, “Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan; kegembiraan ketika ia berbuka dan kegembiraan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya” (HR. Muslim dan Ahmad).

Bukankah salat juga memiliki sifat demikian, hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya? Tentu saja. Namun, ketika banyak perintah salat beriringan dengan perintah zakat, maka hal ini menandakan bahwa salat bukan “hanya” ibadah vertikal semata, namun juga “sosial” secara bersamaan.

Salat berjamaah dijanjikan dengan pahala 27 kali lipat dibanding salat sendirian. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45).

Salat menjadi kekuatan luar biasa dalam mengontrol diri manusia, yang selanjutnya akan dapat berdampak pada perluasan yang tidak hanya berujung pada kesalehan individu, tetapi juga kesalehan sosial. “Ketahuilah, seluruh kebaikan itu bermuara pada shalat”, tegas Saiyyidina Ali bin Abi Thalib.

Hal lain yang saya yakini adalah bahwa Rukun Islam adalah dasar atau pondasi yang wajib, tidak hanya untuk dimiliki tetapi juga untuk dimaknai oleh orang-orang yang beriman, dalam ber-Islam, dalam berserah diri sepenuhnya kepada Allah.

Tidak hanya untuk diketahui atau malah diperdebatkan mengenai urutannya. Sampai saat ini saya masih merasa perlu untuk “memperbaiki” syahadat yang telah saya ucapkan. Benarkah hati dan perbuatan saya selaras ketika saya mengucap tidak ada Tuhan selain Allah? Benarkah saya telah benar-benar menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai sumber inspirasi sekaligus suri tauladan dalam menjalani kehidupan?

Sudahkah salat yang saya lakukan memiliki implikasi bagi kepribadian sekaligus perilaku sosial? Bagaimana dengan zakat dan puasa saya? Paling tidak saya sangat bersyukur, saya sudah (mencicil tabungan) haji. Lalu saya pun ber-istighfar. Astaghfirullah al-‘Adhim.

Mauludiyah MT Dosen Ilmu Kelautan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *