Memanajemen Pemerataan Kampung Moderasi

3 min read

Betapa banyak di antara (saudara) kita yang beragama menjerumus truth claim tataran teologis. Klaim kebenaran digulirkan di dalam interaksi masyarakat plural. Akibatnya pergesekan sosial jadi tak terelakkan dan menimbulkan disharmoni. Mereka yang dari kalangan non-mainstream mendapat ragam diskriminasi hingga persekusi. Kesemuanya dilayangkan tanpa mengindahkan batas-batas etis humanitas (kodrat kemanusiaan).

Pada tahun 2022, Setara Institute mencatat setidaknya terdapat 32 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Sementara temuan mutakhir (2023), kejadian serupa ternyata masih berlanjut alami eskalasi. Di awal tahun saja, Januari & Februari, terdeteksi empat laku merestriksi dan mendiskriminasi minoritas. Masing-masing terjadi di Sintang (26/1), Sukabumi (2/2), Bogor (5/2), dan Bandar Lampung (19/2).

Yang menarik dari riset mutakhir, bahwa kejadiannya seolah terus mengecambah ke berbagai daerah. Di setiap daerah seperti tertanami benih-benih doktrin rigid itu. Yakni, mengebiri kelompok selainnya (minoritas) dari hak mengekspresikan ajaran yang diyakininya.

Realitas semacam ini tentu bukan berita baik bagi Indonesia. Kelompok minoritas bisa saja menaruh momentum aksi balas dendam terhadap kelompok pembuat ketidakadilan dan pihak-pihak yang mengancam identitasnya. Jika ini terjadi, kondisi yang ada bakal melahirkan kubangan api dalam sekam. Gesekan yang tadinya berskala kecil, juga memecah ke bentuk konflik komunal. Dan akhirnya, peradaban Nusantara (keIndonesiaan) yang indah nan bernilai tinggi beralih ke ambang keruntuhan.

Sebagai langkah antisipatif dan menghadirkan Indonesia yang harmonis, penting kiranya menerapkan konsep bottom up—tidak lagi top down. Pendekatan bottom up mengusung paradigma yang berpangkal jaringan paling bawah. Ditinjau dari sisi hierarkis, jaringan ini menempati tingkatan paling vital. Sebab, program yang tidak mampu menyentuh lapisan terbawah (grass root), artinya terhenti di kaum elite (akademisi atau tokoh). Maka ia hanyalah program yang berjalan semu, bahkan dianggap gagal. Idealitasnya ketiga tingkatan harus terjangkau yaitu, akademisi, tokoh, dan lapisan bawah (grass root).

Baca Juga  Warning Dai Prematur

Dalam konteks ini, lapisan terbawah (grass root) yang dimaksud adalah daerah perkampungan. Kampung memiliki poros strategis dalam memantik terciptanya kerukunan. Hal ini mengacu, titik konflik yang ada saat ini mengkristal di level grass root. Ketika lapisan-lapisan grass root mampu dikelola, tatanan bakal berdampak steril dan timbul keselarasan. Oleh karenanya, dibutuhkan penyegaran manajemen yang mampu menggerakkan setiap kampung ke arah hal itu.

Selayang Pandang Kampung Moderasi

Tepat di titik ini, pengembangan teori berupa pengintegrasian tata nilai moderasi di perkampungan menjadi begitu penting dan mendesak. Terma ‘kampung moderasi’ bisa dipahami sebagai upaya menciptakan kondisi sosiologis di dalam kampung terjalin dengan baik dan kondusif. Beragam keyakinan, etnis, budaya, yang ada, tidak menebalkan garis demarkasi. Namun yang dikedepankan adalah semangat memayungi keterbukaan, penerimaan dan toleransi.

Kampung moderasi memiliki nilai kekhasan dan distingsif karena melanggengkan sebuah konsepsi perbedaan menjadi kekuatan sosial. Paket realitas plural yang Tuhan karuniakan dijuangkan dengan penuh kebersamaan menuju titik temu yang berkeadaban. Kampung ini tidak sebatas mengakomodasi keberadaan pluaralitas, tetapi menekankan pada aspek kedekatan, keakraban dan daya sinergi. Panggung sosial pun dialihfungsi sebagai ajang lomba menerbitkan laku kebaikan.

Singkatnya, kampung moderasi adalah suatu model kampung yang mengutamakan kolaborasi lintas unsur, lembaga, dan lapisan masyarakat. Orientasi kampung ini mengarahkan terciptanya ‘toleransi aktif’. Suatu kondisi dimana semua lapisan masyarakat bekerja sama, srawung (bergaul) dan merekatkan kebersamaan—tidak sekedar menghormati, menghargai. Sikap toleransi benar-benar terpatri serta tumbuh atas kesadaran diri masing-masing. Bukan formalitas lantaran instruksi konstitusi maupun kitab suci Ilahi.

Semua kampung di wilayah Indonesia, kendati secara geografis dan kultural berbeda. Pada dasarnya memiliki kans yang sama dalam pemberdayaan kampung moderasi. Hal ini disebabkan, umat di setiap kampung telah mengantongi modal yang cukup kuat. Yakni, nilai-nilai moderasi menjadi bagian integral dari ajaran agama/kepercayaan mereka. Dengan kata lain, umat tidak terlalu sulit diarahkan untuk mengejawantahkan intipati moderasi menjadi jalan hidup.

Baca Juga  Memahami Peran Kehidupan Bermasyarakat dalam Teori Dramaturgi

Tiga Pola Komunikasi

Ada tiga pola komunikasi yang kiranya perlu diaplikasikan menuju realisasi kampung moderasi. Pertama, pola komunikasi dalam relasi sosial. Komunikasi ini bisa didorong dari kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti sambatan (gotong royong), krigan (kerja bakti), arisan RT/RW, dan ronda. Kegiatan-kegiatan tersebut dimenej supaya melibatkan umat dari berbagai elemen. Dengan langkah ini, ekosistem sosial terjadi komunikasi secara guyub dan penuh keintiman. Aspek gotong royong, tolong menolong membentuk solidaritas sosial dan mengeliminir ketegangan antar umat beragama.

Kedua, pola komunikasi dalam relasi tradisi–budaya. Arah dari pola komunikasi ini menempatkan nilai lokalitas (kegiatan tradisi–budaya) sebagai penyokong utama dibalik tergapainya simpul keharmonisan. Kita tahu, pelbagai corak kebudayaan telah mengakar kuat dan menghiasi di setiap penjuru wilayah. Untuk itu, setiap kali pelaksanaan kebudayaan lokal—Grebeg Suran, Nyadran, Ruwatan atau yang lain—hendaknya melibatkan semua unsur agama yang ada. Antar umat diberi tugas saling kolaborasi mengisi pembagian plot-plot; ada yang menjaga parkiran, monitoring acara, hingga pos kesehatan. Pada puncak kegiatan, bisa diadakan doa bersama lintas agama. Masing-masing tokoh agama nantinya mendapat kesempatan secara bergiliran.

Ketiga, pola komunikasi dalam relasi keagamaan. Setiap kampung harus membuat semacam forum bersifat dialogis. Forum ini ditujukan sebagai salah satu alternatif komunikasi untuk memecahkan serta mengklarifikasi persoalan-persoalan keagamaan, seperti truth claim, dan persoalan-persoalan sosial yang berpotensi menimbulkan konflik inter/antar agama.

Forum tersebut juga mesti melibatkan tokoh-tokoh lintas agama. Peranan tokoh agama begitu penting, karena dipandang sosok berkarisma. Apa yang disampaikan dan dilakukan kerap menjadi pegangan untuk diikuti oleh para pengikutnya. Karena itu, tokoh agama harus jadi role model dalam berhubungan baik dengan pemeluk agama lain. Tak kalah penting juga, tiap tokoh mengembangkan interpretasi (tafsir) yang bertendensi spirit keadilan dan kerukunan. Dengan begitu ajaran agama-agama—terutama masalah ketuhanan—menjadi fungsional, mampu menciptakan koeksistensi manusia.

Baca Juga  Menghidupkan Kembali Pemikiran "Hijau" Gus Dur

Itulah tips dan signifikansi dari kampung moderasi. Pada akhirnya, kita tidak boleh mengalpakan lingkup akar rumput. Pemberdayaan akar rumput, bagaimanapun, menghasilkan hal prestise yang mampu berdampak menyeluruh. Seperti telah disinggung di atas, terbentuknya kampung-kampung bernuansa moderasi secara merata, akan menghasilkan kedamaian serta nirkekerasan. Dan itu, berbanding lurus dengan terwujudnya keharmonisan Indonesia.