M. Nurul Huda Alumnus Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir PTIQ Jakarta

Kisah Abu Thalhah al-Anshari yang Anaknya Wafat tanpa Sepengetahuannya

1 min read

Saat itu, Abu Thalhah al-Anshari tidak sedang berada di rumah. Tanpa sepengetahuannya, anaknya ternyata meninggal dunia. Anak itu adalah anak dari istrinya yang bernama Ummm Sulaim. Sang istri melarang keluarganya untuk memberitahu Abu Thalhah tentang kematian anaknya. Ia menegaskan bahwa ia sendirilah yang akan mengabarkan kabar duka tersebut kepada sang suami, Abu Thalhah.

Beberapa saat kemudian, Abu Thalhah tiba di rumah. Seperti biasa, ia menyantap makan malam yang telah dipersiapkan oleh sang istri. Setelah itu, sang istri pun berdandan secara istimewa dan tidak seperti biasanya. Hal itu ternyata membuat Abu Thalhah berhasrat untuk berhubungan badan dengannya.

Setelah selsai hubungan suami istri itu, sang istri mengatakan kepada Abu Thalhah, “Wahai Abu Thalhah, jika ada satu kelompok yang memberikan pinjaman kepada satu keluarga, dan karena suatu alasan, kelompok tersebut menarik kembali pinjamanya, bagaimana menurutmu, jika keluarga tersebut menolak untuk mengembalikannya? Apakah itu boleh?”

“Tidak boleh,” jawab Abu Thalhah penuh keyakinan.

Ummu Sulaim menimpali, “Begitu juga dengan anak kita. Ia telah diambil oleh pemiliknya. Relakanlah!”

Singkat cerita, keesokan harinya, Abu Thalhah sowan (silaturrahmi) kepada kanjeng Nabi untuk menceritakan kabar duka yang sedang ia alami itu. Setelah mendengar penuturan Abu Thalhah, Nabi pun mendoakan, “Semoga Allah melimpahkan keberkahanNya kepada kalian dalam menjalani malam kalian”.

Beberapa bulan kemudian, Ummu Sulaim hamil. Setelah janin yang dikandungnya lahir beberapa waktu kemudian, Nabi berkenan mengunyahkan sebiji kurma, kemudian diusapkan ke mulut bayi dan si bayi pun menghisapnya. Tidak hanya itu, Nabi juga mengusap wajah mungil si bayi dan memberinya nama Abdullah. Alhamdulillah.

Kisah ini disarikan dari hadis riwayat Imam Muslim yang cukup panjang, yakni dalam kitab tentang keutamaan sahabat.

Baca Juga  Ngaji Kitab al-Hikam [1]: Jangan Sekutukan Tuhan dengan Amalmu (Bag. 1)

Dalam kisah di atas, banyak hal yang bisa kita pelajari, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Pasangan yang baik

Memiliki pendamping hidup yang baik (shalih/shalihah) adalah dambaan bagi setiap manusia normal. Pasalnya, pasangan yang baik akan bisa menjadi penyejuk mata dan penenang hati bagi pasangannya. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi teman dalam beribadah kepada Allah. Sehingga kebersamaan mereka selalu mendapat ridlaNya. Alhamdulillah.

Sabar atas setiap musibah

Siapa yang tidak sedih dan galau ketika anaknya wafat? Tentu tidak ada. Sedih, galau, atau sejenisnya adalah sifat yang sangat manusiawi ketika manusia mendapat musibah. Namun sedih yang berlebihan tidak dibenarkan dalam agama.

Terhadap setiap musibah, hendaknya kita selalu menghadapinya dengan penuh kesabaran. Orang yang sabar adalah mereka yang sadar bahwa ia dan segala hal yang dimilikinya sejatinya adalah milik Allah dan kepadaNya-lah semua itu akan kembali (QS. Al-Baqarah [2]: 155-156). 

Selalu konsultasi dengan para ulama

Dalam kasus di atas, Abu Thalhah menceritakan dan berkonsultasi dengan Nabi atas masalah yang ia hadapi. Untuk ukuran zaman ini, karena Nabi telah tiada, kita bisa menggantinya dengan sowan kepada para ulama  (orang shalih yang mengamalkan ilmunya). Hal ini karena mereka (para ulama) adalah ahli waris Nabi.

Mengapa harus kepada ulama? Dalam memecahkan masalah, mereka tidak saja menggunakan pertimbangan akal, namun juga hati. Juga, mereka ketika membantu menemukan jawaban atas masalah yang kita hadapi akan selalu ikhlas karena Allah Swt. Tidak ada embel-embel duniawi apapun dalam dalam hati mereka. Wallahu a’lam. [AA]

M. Nurul Huda Alumnus Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir PTIQ Jakarta