Di dalam kitab Sirr al-Asrār, Syekh Abd al-Qādir al-Jīlānī menyatakan ada tujuh tingkatan zikir: zikir lisan, zikir kalbu atau hati, zikir jiwa, zikir ruh, zikir sirrī, zikir akhfā, dan zikir akhfā sirrī. Tingkatan-tingkatan zikir ini berbeda-berbeda menurut beberapa ahli makrifat, namun semuanya mengerucut pada pertemuan dengan Allah.
Imam al-Shadiq pernah berkata: “Zikir lisan itu puja (al-hamd) dan puji (al-tsanā’); zikir jiwa (dhikr al-nafs) itu kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras (al-‘ana’); zikir ruh itu takut (al-khawf) dan harap (al-rajā’); zikir kalbu itu pembenaran (al-shidq) dan pembersihan (al-shifā’); zikir akal itu pengagungan (al-ta’zīm) dan malu (al-hayā’); zikir makrifat itu penyerahan diri (al-taslīm) dan rela (al-ridā); zikir sirr (dhikr al-sirr) itu memandang (al-ru’yat) dan berjumpa (al-liqā’).
Tingkatan pertama, zikir lisan. Pertama yang mesti dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan latihan zikir adalah membiasakan lidahnya untuk selalu berzikir. Ia harus senantiasa berzikir tanpa henti di mana pun ia berada dan kapan pun keadaannya. Pada tingkatan ini, zikir diwujudkan oleh lisan dalam bentuk pujaan dan pujian yang ditujukan hanya kepada Allah.
Kata “al-hamd” (segala puji) yang diucapkan lidahnya muncul dari persaksian atas karunia Allah kepada sang hamba. Sang hamba mesti bersaksi dan mulai benar-benar menyadari bahwa Dia-lah yang telah melimpahkan semua karunia yang diterimanya. Oleh karena itu, sang hamba mesti selalu menaati-Nya di mana pun dan kapan pun ia berada.
Tingkatan kedua, zikir jiwa (dhikr al-nafs). Pada tingkatan ini, pezikir mesti mulai melatih untuk menguatkan jiwanya dengan kesungguhan dan kemauan yang keras agar selalu terjaga dari kealpaan dan kelalaian. Nafs sang hamba mesti senatiasa terjaga dalam kondisi zikir dan mengingat-Nya. Dengan kesungguhan dan kemauan yang kuat, sang hamba harus menundukkan dirinya untuk tetap taat kepada Tuhannya.
Seseorang yang berpikir bahwa dirinya akan dapat menyingkap rahasia-rahasia dan mencapai hakikat-Nya tanpa ber-mujāhadah (kesungguhan), maka dia hanyalah berangan-angan. Karena awal perjalanan rohani itu adalah mujāhadah. Barangsiapa yang tidak memiliki kesungguhan (mujāhadah) di jalan-Nya, niscaya tidak akan memperoleh Cahaya dari-Nya.
Kehendak dan kesungguhan adalah esensi kemanusiaan dan kriteria kebebasan manusia. Perbedaan derajat manusia adalah sesuai dengan perbedaan tingkat kehendak dan kesungguhan masing-masing manusia.
Dengan kata lain, tingkat kemanusiaan (insānīyah) seseorang dapat diukur dari kuat-lemah kesungguhan dan kemauan dirinya untuk tidak lalai dan senantiasa mengingat-Nya di dalam mencapai peringkat-peringkat rohani di jalan-Nya.
Tingkatan ketiga, zikir ruh. Tingkatan ini adalah tingkatan ketika ruh berzikir kepada Allah sampai muncul hasil dari zikirnya itu rasa takut (khawf) kepada Allah sedemikian rupa sehingga seorang hamba merasa jika ia datang kepada-Nya dengan kebajikan (birr), dia merasa akan tetap dihukum oleh-Nya. Sekalipun demikian, pada saat yang bersamaan muncul pula rasa harap (rajā’) sedemikian rupa sehingga jika ia datang ke hadapan-Nya dengan dosa, maka Dia akan tetap mengasihinya.
Sesungguhnya tingkatan khawf dan rajā’ ini merupakan tingkatan rohani yang cukup tinggi. Karena tidak akan muncul rasa takut di dalam hati seseorang melainkan karena kesempurnaan pengetahuannya tentang Tuhan. Allah berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya: ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu” (QS. 35: 28).
Hanya mereka yang memiliki ilmu yang bermanfaatlah yang memperoleh rasa takut kepada Tuhannya. Namun rasa takut tidaklah hanya terungkap di dalam kata-kata atau munajat, tetapi juga mewujud di dalam setiap amal perbuatan dan ibadah-ibadahnya. Imam Ali berkata, ”Aku heran dengan orang yang (mengaku) takut pada siksa (neraka), tetapi ia tidak menahan diri (dari dosa). Aku heran dengan orang yang mengharapkan ganjaran pahala namun ia tidak bertobat dan melakukan amal saleh.”
Tingkatan keempat, zikir kalbu. Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Janganlah kamu melihat salat-salat mereka, puasa-puasa mereka dan banyaknya haji dan kebaikan mereka, bahkan ibadah malam mereka. Tetapi hendaklah kamu lihat (sejauh mana) kebenaran kata-kata dan penunaian amanat (mereka).”
Jangan sampai kita tertipu karena kita hanya mengandalkan amalan lahiriah kita, namun melupakan amalan batiniah (akhlaq). Banyak kita lihat orang-orang yang rajin melakukan salat, berpuasa bahkan pergi haji berkali-kali ke Baitullah namun ternyata mereka adalah para pendusta, penipu, koruptor, dan para pengkhianat bangsa dan agama.
Syahadat yang kita ucapkan di dalam salat kita, sudah semestinya tidak hanya diucapkan dengan lidah saja. Syahadat juga mesti diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ali as mengatakan di dalam khutbahnya, ”Pokok pangkal agama itu adalah mengenal Allah, dan kesempurnaan dari ma’rifat kepada-Nya adalah pembenaran atas-Nya, dan kesempurnaan dari pembenaran atas-Nya adalah mengesakan-Nya, dan kesempurnaan mengesakan-Nya adalah mengikhlaskan (pengabdian) kepada-Nya, dan kesempurnaan dari mengikhlaskan kepada-Nya adalah menafikan semua sifat yang dinisbatkan kepada-Nya.”
Zikir kalbu ini adalah pembenaran atas keesaan-Nya, yaitu ketika sang pezikir sudah mencapai maqām musyāhadah (tingkat penyaksian). Sang pezikir menyaksikan dengan mata batinnya akan wujud-Nya yang Tunggal, sehingga ia pun membenarkan sang Realitas seraya membersihkan hatinya dari penisbatan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. “Maha Suci Tuhanmu yang memiliki keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan (kepada-Nya)” (Q.S. al-Sāffāt [37]: 180).
Tingkatan kelima, zikir akal. Imam al-Shadiq berkata, ”Zikir akal itu pengagungan (al-ta’zīm) dan malu (al-hayā’)”. Agaknya maksud akal di sini bukanlah sekadar akal rasional, namun akal kearifan. Di dalam sebuah riwayat lain, Imam Ali berkata, ”Perumpamaan akal di dalam hati (al-qalb) adalah seperti lampu di tengah-tengah sebuah rumah.”
Akal yang berada dalam hati ini hanya bisa bercahaya dan menyinari alam syuhūd dan alam maknawi jika ‘digosok’ dan ‘dipoles’ dengan tadhakkur (berzikir) dan tafakkur (berpikir). Cahaya akal ini akan menyingkap tabir-tabir kegelapan yang menutupi diri sang pejalan rohani dari al-Haqq (Allah), sehingga ia dapat menyaksikan keagungan (al-Jalāl)-Nya dan Keindahan(al-Jamāl)-Nya sehingga terpancarlah rasa pengagungan (ta’zīm) kepada-Nya. Sebiji mata yang melihat lebih baik ketimbang ratusan tongkat orang buta. Mata dapat membedakan permata dari kerikil (Rumi, Matsnawi, VI: 3785).
Tingkatan keenam, zikir makrifat. Zikir ini lebih tinggi dari zikir akal. Setelah tadhakkur dan tafakkur, muncullah makrifat. Makrifat kepada-Nya inilah yang membuatnya terdorong untuk berserah diri secara total (taslīm) dan rela atas segala tindakan dan keputusan-Nya atas dirinya. Imam al-Shadiq berkata, ”Sesungguhnya manusia yang paling mengenal Allah adalah mereka yang ridha akan qadā’ (ketentuan) Allah.”
Di dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman kepada Nabi Musa as: “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan mampu mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai ketimbang sikap rida dengan ketentuan (qadā’)–Ku”.
Melalui penyingkapan diri-Nya di dalam pancaran cahaya, Dia menunjukkan keterbatasan kemampuan (penglihatan) mata serta kekuatan rasional, menjadikannya melampaui kekuatan (penglihatan) mata. Jadi, segala sesuatu memiliki keterbatasan, hanya Tuhan yang memiliki kesempurnaan esensi (Ibn ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makkīyah, Vol. 2, 632).
Tingkatan ketujuh, zikir sirr. Inilah tingkatan zikir yang paling tinggi. Tapi apakah sebenarnya sirr itu? Sebagian ahli makrifat menyebut sirr (rahasia) sebagai habb, yang secara harfiah berarti biji. Sirr atau habb ini merupakan inti dari lubb. Lubb ini adalah inti dari qalb (hati). Jadi, sirr adalah bagian yang terdalam dan terhalus dari hati.
Habb atau sirr inilah tempat bersemayamnya cinta yang bersifat rohani. Zikir sirr adalah zikir yang muncul setelah tahapan zikir makrifat terlampaui. Jika seorang pezikir telah sepenuhnya berserah diri dan rida kepada semua qadā-Nya, maka sampailah ia pada tahapan memandang Yang Terkasih setelah berjumpa (liqā’)dengan-Nya, yang kemudian cinta (mahabbah) pun bersemi.
Imam Ali al-Murtadha as bermunajat: “Ya Allah, Tuhanku… Engkaulah yang paling terpaut pada pecinta-Mu dan yang paling bersedia menolong orang-orang yang bertawakkal kepada-Mu. Engkau melihat, Engkau menguji rahasia-rahasia (sarāirihim) mereka, dan mengetahui apa yang bersemayam dalam kesadaran mereka, dan menyadari sampai ke tingkat penglihatan batin mereka. Akibatnya, rahasia-rahasia mereka terbuka bagi-Mu, dan kalbu-kalbu mereka memuji-Mu dalam kerawanan yang sungguh-sungguh. Dalam kesunyian, teman dan pelipur lara mereka adalah dengan berzikir kepada-Mu dan penderitaan, bantuan-Mu adalah pelindung mereka. [AZH, MZ]