Makhfud Syawaludin Dosen ITSNU Pasuruan

Saatnya Bersama Membangun Masjid yang Ramah Disabilitas

1 min read

Setiap orang Islam pasti selalu berusaha agar dapat melaksanakan shalat, mengikuti pengajian, dan lain-lain di Masjid, begitu pun dengan saudara-saudara kita, para penyandang disabilitas. Namun, tidak semua Masjid, desain bangunannya ramah terhadap disabilitas.

Terdapat beberapa kesulitan para penyandang disabilitas ketika hendak menggunakan haknya untuk beribadah di masjid. Misalnya, tangga masjid yang terlalu tinggi, tidak ada jalan khusus bagi pengguna kursi roda, tidak tersedia pegangan di tembok (hand rail), dan lain-lain.

Menyadari itu, Islam sebagai agama yang menjamin rahmat dan keadilan bagi semua umatnya, membuat para Kiai memiliki tanggungjawab untuk menyampaikan dan memastikan para takmir masjid dan pemerintah untuk memfasilitasi para penyandang disabilitas sehingga dapat menggunakan haknya dalam beribadah di masjid.

Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Kewajiban negara menyediakan segala yang menjadi kebutuhan warga negaranya dengan memberdayakan seluruh potensi dan melibatkan peran serta masyarakat yang ada.”

Lebih lanjut, dalam kitab al-Minhaj Syarhu Muslim bin al-Hajjaj Karya Muhyiddin Syarf an-Nawawi, juz XII halaman 213, menyebutkan bahwa para ulama menyatakan, “Pemimpin (negara) adalah pengayom yang mendapat amanat yang berkewajiban mewujudkan kebaikan bagi jabatannya dan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Di dalam hadis-hadits itu ada penjelasan bahwa setiap orang yang memimpin orang lain maka ia dituntut untuk adil dalam kepemimpinannya dan dituntut untuk mewujudkan kemaslahatan mereka dalam urusan agama dan dunianya”.

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk memenuhi tanggungjawab tersebut melalui berbagai kebijakan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut juga senada dengan pandangan Islam yang mewajibkan agar pemangku kebijakan publik (pemerintah dan non-pemerintah) untuk mengeluarkan peraturan yang mengharuskan tersedianya fasilitas peribadatan yang ramah bagi penyandang disabilitas.

Baca Juga  Menjalani Hidup Ideal menurut Stoikisme

Bahkan, tahun 2017, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bersama Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, telah meneguhkan kembali tentang penguatan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang ditinjau berdasarkan sumber hukum Islam.

Hasilnya, keputusan tersebut menjadi buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas”. Kaitannya dengan pembagunan masjid yang ramah disabilitas, selain mengatur pembangunan infrastruktur, juga mengatur kaitannya dengan teknis pelaksanan ibadah dan aktifitas di masjid. Misalnya, dalam penyampaian khotbah, masjid-masjid di Indonesia perlu menyediakan bahasa isyarat, teks tertulis, serta alat penyampai pesan khotbah lainnya.

Dalam upaya mengimplementasikan keputusan tersebut, perlu dilakukan dua hal terlebih dahulu, yakni memberikan penyadaran tentang ajaran Islam yang responsif terhadap penyandang disabilitas terhadap takmir masjid. Lalu, melakukan pendataan para penyandang disabilitas yang menjadi jamaah masjid dan/atau masyarakat sekitar masjid. Data tersebut menjadi pertimbangan dalam pembangunan atau renovasi Masjid.

Adapun untuk proses pembangunannya bisa lakukan secara sederhana dan sesuai kemampuan dalam hal pendanaannya. Untuk masjid raya atau masjid jami’, sudah wajib hukumnya menjadi dan/atau memiliki rencana menuju masjid yang ramah disabilitas. Mudah diucapkan, sulit dilakukan bukan? [AA]

Makhfud Syawaludin Dosen ITSNU Pasuruan