Nasikhun Amin mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri

Membela Gus Dur: Dari Toleransi Hingga Kontroversi

3 min read

Sosok KH. Abdurrahman Wahid atau sering disapa dengan nama Gus Dur selalu menginspirasi bagi banyak kalangan. Hingga saat ini, pemikiran-pemikiran beliau terus dikaji dan dikembangkan. Meskipun pada saat itu, pemikiran dan tindakan Gus Dur kerap kali menuai kontroversi, dianggap inkonsisten, bahkan memicu perdebatan. Namun patut diakui, pemikiran Gus Dur selalu relevan dengan dinamika perkembangan zaman.

Apabila ditelaah lebih dalam, pemikiran-pemikiran Gus Dur yang sering mengalir begitu saja tidak lahir dari ruang kosong. Salah satu buah pemikiran itu ialah gagasan mengenai toleransi (tasamuh). Sebuah hasil pemikiran yang berhasil menggabungkan secara dialogis antara ilmu keislaman, ideologi negara, dan realitas sosial sehingga menemukan relevansinya pada konsep toleransi.

Dalam perjalanan hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang senantiasa menjunjung tinggi sikap toleransi. Sikap itu kemudian diimplementasikan pada perilaku saling menghargai, menghormati, rasa simpati, serta mengedepankan kebersamaan di tengah perbedaan. Di antara beberapa contoh pengaruh gagasan toleransi Gus Dur yang memiliki dampak besar bagi toleransi beragama di Indonesia adalah persoalan Jamaah Ahmadiyah, pembebasan masyarakat Tionghoa dan lain-lain.

Pada konteks ini, Gus Dur mendasari gagasan toleransinya atas realitas keberagaman dan kemajemukan yang ada di Indonesia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat Hud: 118-119 yang artinya:

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan, bahwa sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) ke semuanya.” (Q.S. Hud: 118-119)

Gus Dur begitu memahami jika Alquran mengamini adanya perbedaan dan keberagaman manusia yang menjadi fitrah serta keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri, termasuk perbedaan dalam hal agama dan pandangan keagamaan. Gagasan ini senada dengan apa yang ditegaskan oleh Syekh Ismail bin Umar bin Katsir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya:

Baca Juga  Spirit Kemanusiaan dalam Islam menurut Gus Dur

Perbedaan di antara manusia tidak akan hilang dalam hal keagamaan, keyakinan beragama, mazhab, serta pandangan keagamaan”. (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998] volume I halaman 391)

Berkaitan dengan pengaruhnya di Indonesia, Gus Dur merupakan seorang tokoh yang gigih dalam memperjuangkan toleransi beragama. Pada titik inilah kontroversi-kontroversi Gus Dur mulai mengemuka.

Pihak yang tidak sependapat menilai bahwa toleransi yang diusung oleh Gus Dur dianggap terlalu berlebihan dan rentan mencederai akidah umat Islam. Namun bagi pihak yang memiliki kesamaan pandangan dan pemikiran, toleransi terhadap non muslim seperti yang dicontohkan oleh Gus Dur masih dalam batas ‘normal’ bahkan lebih memperlihatkan misi Islam sebagai agama rahmat.

Pada dasarnya, gagasan toleransi Gus Dur memang telah ditakar secara proporsional. Pertama, toleransi Gus Dur tidak menerobos rambu-rambu akidah yang berpotensi menyebabkan kekufuran seperti turut serta dalam ritual ibadah non muslim dengan tujuan mendukung dan meridai agama mereka.

Kedua, toleransi Gus Dur tidak menerobos rambu-rambu syariat yang berpotensi terjebak pada hal-hal yang diharamkan, seperti memakai atau menggunakan simbol identitas agama non muslim dengan tujuan mengagungkan keyakinan mereka. Sehingga, wajar jika interaksi serta toleransi yang dilakukan Gus Dur dengan non muslim dilegalkan dengan memperhatikan ketentuan tersebut.

Bahkan, segala macam interaksi sosial sebagai bentuk dari toleransi antar umat beragama yang lebih menunjukkan terhadap sikap cinta dan kasih sayang Islam perlu untuk dilakukan.

Dengan demikian, gagasan Gus Dur mengenai relasi dengan non muslim merupakan representasi asas hubungan antara umat muslim dan non muslim yang dibangun atas prinsip hidup yang damai, harmonis dan saling berdampingan, bukan hubungan konflik (hirabah).

Baca Juga  Tak Ada Dalil atau Tak Paham Dalil?

Hal ini sesuai dengan pandangan Syekh Muhammad Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya yang berjudul Al-Jihad fi al-Islam perihal asas hubungan muslim dan non muslim. (Lihat: Muhammad Ramadhan Al-Buthi, Al-Jihad fi al-Islam [Damaskus: Dar al-Fikr, 1993] halaman 120)

Dari gagasan toleransi ini, konsep pluralisme agama Gus Dur turut hadir. Apabila pluralisme membahas tentang bagaimana realitas keberagaman agama dapat diterima, maka wilayah toleransi lebih menekankan pada sikap terhadap keberagaman tersebut.

Untuk itu, makna pluralisme yang digagas oleh Gus Dur merupakan sikap kerelaan dalam menerima perbedaan, baik yang ada kaitannya dengan agama, suku dan bangsa. Justru dengan perbedaan itu, manusia dapat saling mengenal dan menyapa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. QS. Al-Hujurat: 13 yang artinya sebagai berikut:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam upaya mewujudkan toleransi beragama, Gus Dur mengajarkan bagaimana seseorang memiliki pandangan keagamaan yang inklusif dan menghindari pandangan keagamaan yang eksklusif. Karena menurut beliau, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat dari eksklusivisme agama.

Pandangan Gus Dur semacam ini sesuai dengan nalar Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bahwa kelompok Islam eksklusif menggariskan pemahaman-pemahaman mereka dari dalil-dalil keagamaan secara tekstual dan tidak sesuai dengan metodologi penggalian hukum. Dampaknya, teks-teks agama (dalil) yang dipahami dan dijalankan secara literer begitu saja, tentu hal ini akan menghilangkan makna dan esensi teks-teks tersebut.

Baca Juga  Mengenal Putri-Putri Rasul

Sehingga, mengabaikan konteks atau kondisi dan situasi yang melatarbelakangi sebuah permasalahan mengakibatkan ketimpangan berpikir. Dampaknya, pemahaman cacat semacam itu cenderung berpotensi akan mereduksi dan melebur dari pemahaman sebenarnya dan melahirkan kesalahan implementasi (tathbiq).

Pada beberapa permasalahan tertentu, kecacatan itu akan berkembang menjadi doktrin-doktrin yang berpotensi melahirkan sikap intoleran, seperti kesalahan memahami konsepsi jihad, kesadaran pluralitas, pola amar makruf nahi munkar, takfiri (melempar tuduhan kafir), suksesi Khilafah Islamiyyah dan tatanan syariat lainnya.

Tidak dapat dipungkiri, kehadiran Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme telah berhasil mempertahankan tatanan kehidupan rukun, harmonis dan saling berdampingan antar anak bangsa. Gagasan-gagasan Gus Dur mengenai toleransi beragama merupakan implementasi ajaran agama Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Sehingga bagi Indonesia, keberadaan Islam memiliki peran urgen dalam menjaga persatuan di tengah kemajemukan bangsa. [AA]

Nasikhun Amin mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri