Ini masih tentang Sayyidah Aisyah ra., Ummul Mu’minin. Tapi saya tak mau latah menyoal lagu “Aisyah Istri Rasulullah” yang lagi hits itu. Saya tak ingin tiba-tiba seperti seorang kritikus musik atau mendadak menjadi ahli sejarah Islam yang hanya pandai mengkritik lagu ini tanpa terlebih dahulu menikmati keindahannya. Tidak, tulisan ini sama sekali tak bertujuan menghakimi lagu ini.
Saya juga tak berminat berlama-lama di depan layar komputer, membuka channel Youtube dan mencari ragam versi lagu Aisyah Istri Rasulullah, meskipun cover lagu ini sedang merajai channel Youtube hingga beberapa minggu dengan beragam versi. Saya cukup menikmati satu versi saja, versi Annisa Rahman. Satu versi ini saja yang saya putar terus berulang-ulang.
Bukan karena saya tak mengikuti perkembangan, bukan juga karena saya tak ingin menulis sesuatu yang lagi menjadi trending topic, bukan, bukan itu alasannya. Selain karena sudah begitu banyak yang berkomentar dan menulisnya, dari yang berat dan sangat serius hingga ke komentar ringan nan indah yang memabukkan. Dari tulisan yang jujur dan penuh refrensi hadis sahih hingga hanya sekadar harapan-harapan gombal dengan memaksakan pasangan hidup menjadi seideal Sayyidah Aisyah.
Alasan utamanya adalah karena saya bahkan tak memiliki kapasitas yang cukup untuk sekadar menjadi penikmat musik. Saya termasuk kategori garing untuk urusan musik. Saya bukan orang yang mudah menikmati dan tergila-gila mencintai sebuah lagu, apalagi hingga sampai pada taraf pandai menyanyikannya. Dari sekian lagu yang saya hafal, mungkin hanya lagu-lagu nasional dan lagu-lagu shalawat yang dapat saya senandungkan. Itupun tak pernah up date. Lagu nasional yang saya hafal ya lagu yang sudah 30-an tahun saya hafal, tepatnya ketika saya masih di bangku sekolah dasar. Itu pun sangat terbatas jumlahnya. Hanya beberapa lagu yang sering menjadi lagu wajib di kelas dan di saat upacara bendera saja.
Kata beberapa orang teman, otak kanan saya tak maksimal. Bahkan untuk menunjukkan betapa buruknya sense seni saya, sebagian sahabat menuduh otak kanan saya tak berperan sama sekali. Tuduhan sadis, tapi saya rasa-rasakan, tuduhan ini mendekati benar.
Tapi, untuk lagu “Aisyah Istri Rasulullah”, berbeda sama sekali. Entah karena alasan apa, saya terhipnotis, saya tergila-gila, terpacu untuk bisa menyanyikan bersama istri dan anak-anak saya. Saya berusaha keras untuk menghafalkannya. Tak ada hari tanpa lagu ini. Meskipun, hingga saat ini, saya masih belum benar-benar hafal.
Apa sebab saya tersihir?
Mungkin karena sosok yang digambarkan adalah Sayyidah Aisyah. Putri Sahabat terdekat Rasulullah saw, Sahabat Abu Bakar al- Shiddiq. Ini tentang istri Nabi yang dipilihkan langsung oleh Allah swt untuk mendampingi dakwah Rasulullah Muhammad saw. Perempuan yang cerdas, berwawasan luas, dan sangat kuat hafalannya.
Dari Sayyidah Aisyah, kita berhutang jasa tentang bagaimana memahami Islam, terutama yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga dan tata cara ibadah Nabi. Terhitung ada 2.210 hadits yang diriwayatkan olehnya. Dia menempati posisi keempat dari para Sahabat Nabi yang terbanyak meriwayatkan hadits, setelah sahabat Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Anas bin Malik.
Sayyidah Aisyah adalah skenario Allah yang sempurna untuk menjaga orisinalitas ajaran Islam. Sayyidah Aisyah menjadi tempat bertanya para Sahabat hingga para tabiin (generasi setelah Sahabat) yang tak sempat berguru langsung pada Rasulullah saw. Dari Sayyidah Aisyahlah para Sahabat mendapatkan penjelasan detail tentang fiqh nisā’ hingga ke persoalan adab hubungan suami istri.
Misalnya, bagaimana hukum mencium istri di saat menjalankan puasa Ramadhan. Dari Aisyahlah para Sahabat mengetahui bahwa Rasulullah saw pernah melakukan hal itu. Itu kemudian menjadi petunjuk hukum bahwa mencium istri tidak menjadi alasan batalnya puasa.
Dari lakon Sayyidah Aisyah pula Allah swt menurunkan petunjuk bersesuci dengan cara bertayamum. Begitu pentingnya Sayyidah Aisyah sampai Allah pun harus campur tangan membela kehormatan Nabi dari fitnah keji yang menempatkan Sayyidah Aisyah sebagai korbannya.
Pembelaan Allah swt ini terjadi ketika Sayyidah Aisyah dituduh berkhianat pada cinta suci Rasulullah saw. Sayyidah Aisyah difitnah melakukan perselingkuhan dengan seorang pemuda bernama Shafwan bin Muaththal. Karena fitnah itu, Rasulullah saw menjadi gundah dan bersedih. Hingga akhirnya Allah turun tangan, membela kehormatan keluarga Rasulullah saw, membebaskan Sayyidah Aisyah dari segala tuduhan dan fitnah serta menegaskan posisinya sebagai ummul mu’minin yang terhormat dan suci, sebagaimana firman-Nya di al-Qur’an, surah al-Nur ayat 11 hingga ayat 20.
Betapa istimewanya posisi Sayyidah Aisyah di hadapan Rasulullah saw. Betapa mulia dan agungnya dia sehingga Allah swt memilihkan dia sebagai jodoh Rasulullah saw dan bahkan membela secara langsung ketika badai fitnah menimpa. Tak berlebihan jika dia mendapatkan gelar al-Muwaffaqah (perempuan yang diberi petunjuk), sebuah gelar yang sangat istimewa.
Keistimewaan Sayyidah Aisyah yang lain adalah tentang kedermawanannnya. Kedermawanan yang lahir dari didikan seorang ayah yang sangat dermawan, Sahabat Abu Bakar ra. serta didikan seorang suami yang kita kenal sebagai sosok paling dermawan, Baginda Nabi Muhammad saw.
Banyak sekali kisah yang menulis kedermawanan Sayyidah Aisyah. Abdullah bin Zubair, seorang Sahabat Nabi, memuji Sayyidah Aisyah sebagai perempuan yang paling gemar bersedekah.
Pernah suatu ketika Sayyidah Aisyah kedatangan seorang miskin yang datang untuk meminta sedekah. Tak ada sesuatu apapun yang bisa diberikan kecuali sepotong roti kering yang sedianya dipersiapkan untuk jadi santapan buka puasa. Tapi karena begitu halusnya perasaan Sayyidah Aisyah, roti yang sepotong itu pun diberikan kepada si pengemis.
Pernah pula satu ketika Sayyidah Aisyah mendapatkan hadiah sebanyak 200 dirham. Tak perlu menunggu lama, semua uang pemberian itu habis disedekahkan olehnya.
Dorongan untuk berempati dan senantiasa berbagi itu adalah cerminan betapa tingginya kesalehan sosial Sayyidah Aisyah. Semua itu adalah bukti keberhasilan sahabat Abu Bakar dan Rasulullah saw dalam mendidikan dan membentuk pribadi putrinya.
Seandainya saya bermain musik, menulis lirik lagu, dan membuat notasi musik, saya pasti akan segera menulis sebuah lagu tentang Filantropi Sayyidah Aisyah. Siapa tahu lagu tersebut tak lagi melahirkan kontroversi tak bermutu. Dan yang terpenting, siapa tahu lagu tersebut dapat menggugah sisi kemanusian umat Islam di saat-saat sulit seperti sekarang ini. Siapa tahu lagu tersebut dapat menumbuhkan empati umat Islam untuk senantiasa dapat berbagi hati. Dan lagi, siapa tahu lagu tersebut dapat mengajak mereka yang pandai bernyanyi untuk juga gemar berdonasi berbagi rezeki. [AZH, MZ]