Muhammad Sya’dullah Fauzi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga; Sedang Mengabdi di PP Wahid Hasyim Yogyakarta

Yang Hampir Hilang dari Pendidikan Kita

2 min read

Hal yang sepenuhnya perlu disadari adalah bahwa pendidikan merupakan pilar yang sangat penting bagi keberlangsungan peradaban suatu bangsa. Dapat dikatakan bahwa Pendidikan merupakan aspek penentu kemajuan peradaban suatu bangsa, sebelum akhirnya parameter kemajuan suatu bangsa tersebut diambil alih oleh kecanggihan teknologi dan sistem ekonomi yang mapan.

Namun realitanya, isu-isu pendidikan jarang sekali muncul di permukaan dan dalam diskusi masyarakat. Bisa dikatakan diskusi pendidikan hanya terjadi di kalangan pengamat dan pelaksana pendidikan saja. Padahal, setiap hari kita tak pernah berhenti bersinggungan dengan pendidikan, baik secara sadar atau tidak sadar. Lalu pertanyaanya, pendidikan ideal yang seperti apa yang menentukan kemajuan suatu peradaban bangsa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua. Pertama, pendidikan sebagai sistem dan wacana nasional. Kedua, pendidikan sebagai qodrat manusia dan naluri sosial dalam masyarakat.

Pendidikan sebagai sistem dan wacana nasional memiliki problematika yang sangat rumit. Baik itu tentang pemerataan pendidikan, kapasitas fasilitas, pendidik, profil lulusan dan aspek-aspek material yang lain. Yang bertugas untuk mencarikan solusi atas permasalahan tersebut adalah kebijakan pemerintah dan pelaksana pendidikan. Artinya, pendidikan sebagai sistem dan wacana nasional merupakan pendidikan dalam arti sempit dan jangka pendek. Walapun pada akhirnya akan berdampak dalam jangka panjang.

Kedua, pendidikan sebagai qodrat manusia dan naluri sosial dalam masyarakat, ia juga memiliki problematika yang sangat rumit. Bahkan lebih berat untuk mencarikan solusi atas permasalahan-permasalahannya. Hal ini karena pendidikan berjalan seakan secara alamiah. Pedidikan dalam arti yang kedua ini meliputi penghayatan masyarakat terhadap tujuan pendidikan dan keilmuan.

Pendidikan dalam arti yang kedua inilah yang memiliki problem yang sangat kompleks, serta butuh waktu yang panjang untuk menyelesaikan permasalahannya. Solusi tersebut bukan dengan fasilitas material dan uang. Tetapi, dengan menanamkan pendidikan yang ideal di “hati” masyarakat.

Baca Juga  Pelestarian Lingkungan Perspektif Fikih dan Ushul Fikih menurut Yusuf al-Qardhawi (3)  

Jika pendidikan dalam arti yang pertama merupakan suatu sistem atau program untuk mengkonstruksi pikiran manusia, menjejali pengetahuan sebanyak-banyaknya, melahirkan peserta didik yang memiliki mental intelek, maka, pendidikan dalam arti yang kedua berusaha untuk melahirkan “hati” yang sepenuhnya menghayati keilmuan. Pendidikan menjadi seolah memiliki sekat antara pendidikan sebagai sistem nasional, dengan pendidikan sebagai penghayatan keilmuan. Idealnya, sekat tersebut harus dihilangkan.

Pendidikan yang terjadi hanyalah usaha untuk memindahkan pengetahuan dari satu kepala ke kepala yang lain. Parameter angka dan rangking menjadi tujuan dalam sistem pendidikan kita ini. Tentu hal itu juga menjadi penting dalam sebuah pendidikan, namun, jika hanya itu yang terjadi, maka pendidikan akan menjadi kering. Walhasil lembaga pendidikan dan pendidik hanya menyediakan berbagai pengetahuan, lalu dinilai, keluar angka, lalu angka tersebut yang menjadi parameter kualitas lembaga pendidikan dan lulusan. Dan itu terjadi terus menerus.

Satu-satunya yang menjadikan sistem pendidikan kita ideal adalah, penghayatan keilmuan. Penghayatan keilmuan harus dimiliki di setiap aspek sistem pendidikan. Implementasinya adalah etika, moral, dan akhlak. Tentu saya meyakini setiap lembaga pendidikan pasti memiliki “tulisan” visi misi yang mengarah kepada pembentukan etika, moral, dan akhlak, akan tetapi, tidak terjadi pemerataan penghayatan mengenai “tulisan” tersebut. Sehingga, aktualisasinya pun dipertanyakan.

Ini menjadi hal yang tidak mudah. Spirit pembentukan mental intelek harus dibarengi dengan spirit pembentukan pirbadi yang beretika. Mental intelek mungkin saja dapat diamati berdasarkan angka penilaian, tetapi, pribadi beretika, bermoral, dan berakhlak, hanya dapat dirasakan. Dan ini harus disadari setiap individu masyarakat, baik sebagai pendidik, penyelenggara pendidikan, dan peserta didik. Orientasi inilah yang membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Baca Juga  Menemukan Humanisme Islam Gus Dur Dalam Maqâshid (1)

Walhasil, orientasi etika dan moral ini ada, tapi seperti tidak ada, ia hampir hilang. Tulisannya akan tetap ada, tetapi penghayatan dan aktualisasinya butuh waktu yang tidak sebentar. Ini menjadi PR kita semua sebagai anggota masyarakat. Mari mulai dari diri kita sendiri…

Muhammad Sya’dullah Fauzi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga; Sedang Mengabdi di PP Wahid Hasyim Yogyakarta