Mubaidi Sulaiman Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

Normal Baru, Era Transisi Menuju Normal Lama

2 min read

Source: digitalmarketingwow.com

Banyak sekali kesalah pahaman dikalangan masyarakat “awam”, yang konstruksi oleh politisi, dan diajarkan  oleh sebagian akademisi menganggap bahwa “normal baru” merupakan sebuah akhir perjalanan yang harus dijalani oleh umat manusia setelah kedatangan dan kepergian wabah Covid-19.

Bahkan era normal baru ini seolah-olah patut dirayakan dengan meriah bagaikan kita menyambut “tahun baru” seperti yang biasa kita lakukan pada tanggal 31 Desember setiap tahunnya –bahkan 31 Desember 2019 kemarin ketika virus ini telah merebak di Wuhan China pun di seluruh dunia masih sempat merayakannya  dengan menempatkannya sebagai trending berita tahunan dan abai terhadap ancaman virus ini.

Bagi sebagian orang kalimat “normal baru” –atau new normal (baca: penulis kurang suka menggunakannya karena kata ini menghegemoni masyarakat karena “cenderung” terlalu “asal british” kata jamrud dan  terlihat mengunggulkan bahasa asing /Inggris dan kurang mengapresiasi bahasa sendiri)- ini memukau dan membuat mereka merasa “inilah yang kita tunggu-tunggu”, sebuah sistem tata kehidupan baru yang dibutuhkan manusia untuk memperbaiki kerusakan sistem yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Benarkah demikian?

Arundhati Roy menyebut pandemi ini menjadikan manusia harus membuat pemisah antara era pra-pandemi dan era pasca pandemi ini datang. Dengan kesulitan yang mereka alami semasa pandemi manusia menjadi membayangkan sebuah era baru–biasa di sebut normal baru-yang akan mereka hadapi gelap dan tanpa kepastian–dalam bayangan Arundhati pandemi adalah “sebuah portal” gerbang menuju dunia baru. Dalam imajinasi Arundhati, dunia baru tersebut merupakan sebuah dunia yang kondisinya kebalikan dari dunia ketika krisis yang disebabkan oleh pandemi- tetapi ia melihatnya dengan meraba-raba kegelapan dengan penuh kata-kata “mungkin”.

Contohnya dunia baru tersebut mungkin tanpa krisis ekonomi, karena pandemi ini menyatukan solidaritas seluruh umat manusia secara global sehingga antar satu bangsa dengan bangsa yang lain saling tolong menolong, selanjutnya ia juga membayangkan dunia baru ini tanpa krisis politik yang disertai narsisme politisi, dimana disaat pandemi melanda sisi-sisi ini telah  membuka tabir sisi gelap tersebut, para politisi dibuat “telanjang bulat” hingga kemampuannya dipecundangi tanpa sisa ketika menghadapi pelbagai permasalahan yang diakibatkan oleh pandemi tersebut.

Baca Juga  Ironi Ramadlan, Cabut Penutupan Masjid Ahmadiyah

Untuk sementara ini, apa yang Arundhati pikirkan di atas masih” jauh panggang dari api”. Di mana  meskipun pandemi ini telah melanda dengan begitu dahsyatnya, krisis ekonomi tetaplah terjadi di mana-mana. Hampir seluruh Negara mengalami defisit anggaran dan tingkat pertumbuhan ekonominya di bawah -0%.

Solidaritas yang Arundhati angan-angankan  tidak benar-benar terwujud, contohnya perubahan geo-politik dunia yang terjadi di Eropa ketika Italia, Perancis dan Inggris menjadi Negara yang dilanda pandemi paling parah, mereka –khususnya Italia- memohon bantuan kepada Uni Eropa dan NATO tetapi tidak mendapatkan respon positif, sehingga memaksa Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte meminta bantuan kepada Presiden Rusia –Vladimir Putin- yang notabene kurang akur dengan Uni Eropa setelah beberapa kali mengobarkan perang di wilayah eropa yang lain, karena tidak sanggup mengatasi krisis yang disebabkan oleh Covid-19 ini –bahkan Italia pernah mencatatkan diri sebagai Negara dengan rasio kematian tertinggi dunia sebelum digeser oleh Amerika Serikat dan Brazil. Hal ini membuat peta politik Eropa menjadi memanas, karena Uni Eropa terlihat rapuh dan tidak solid dalam mengatasi suatu permasalahan.

Sedangkan dengan krisis politik yang melanda “dunia baru” tidak tampak berbeda dengan era pra- pandemi datang. Kasus rasis di Amerika Serikat yang menimpa almarhum George Floyd adalah contohnya, di mana para politisi seperti Donald Trump dan koleganya tetap narsis dengan mengunggulkan ras kulit putihnya, -cenderung melindungi pelaku pembunuhan Floyd dengan indikasi lambatnya penanganan kasus serta cuitan Trump dibeberapa media sosial terpaksa diblokir oleh provider karena cenderung memanaskan suasana-. Bahkan isu rasis ini dibarengi dengan bertambah parahnya isu-isu serupa di seluruh dunia, seperti pemerintah India yang menggunakan kasus klaster penyebaran virus Covid-19 di Jamaah Tabligh  untuk mendeskritkan umat Islam lebih dalam, yang sebelumnya didahului “terciptanya undang-undang” -sebelum pandemi datang- yang mendeskritkan umat muslim lebih dalam.

Baca Juga  Banyak Belajar dari Orientalis

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan “normal baru” atau “dunia baru”, bagi saya pribadi,  era tersebut merupakan istilah yang digunakan untuk menandai “era transisi” menuju “normal lama” –kangen nggak sih sebuah era tanpa sebuah virus yang menjauhkan kita dengan segala yang kita rencanakan di masa sebelum pandemi-. Normal baru merupakan suatu era yang di dalamnya merubah pola kehidupan manusia “dengan menitik beratkan” kehidupan lebih bersih dan lebih sehat untuk memutus rantai penyebaran “virus covid-19” tanpa menghentikan roda  kegiatan sosial, ekonomi, sosial, politik dan agama, tidak lebih dan tidak kurang –istilah lainnya Negara sumber dananya tidak mencukupi jika harus menghidupi 200 juta penduduk Indonesia sendiri-sendiri meski resiko tertular virus-.

Karena “normal baru” hanyalah kampanye berlaku kepada lingkungan masyarakat yang tidak memiliki “sistem budaya “yang dapat mencegah penularan virus covid-19 ini. Lalu memangnya ada lingkungan masyarakat yang mempunyai sistem sosial yang dapat mengurangi penyebaran virus covid-19? Jawabnya, ada. Contohnya Jepang dan Korea, yang dapat melandaikan kurva penyebaran virus covid-19 tanpa menerapkan lockdown atau PSBB di wilayahnya.

Hal ini disebabkan bahwa masyarakat di Negara-negara tersebut sudah terbiasa dengan pola kehidupan bersih dan mengutamakan kesehatan jauh sebelum pandemi melanda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa “normal baru” memang sebuah “era transisi” –yang meski tak tahu kapan akan berakhirnya  bahkan pandemic black-death yang membutuhkan bertahun-tahun untuk bebas dari wabah tersebut- menuju “normal lama” tanpa merubah sistem apapun pada akhirnya. Jadi maaf ya untuk semua, suka citamu dan harapan-harapanmu tentang hadirnya normal baru hanyalah sebuah delusion of new era.[AH].

Mubaidi Sulaiman Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya