Keempat, pidato atau tulisan tentang “pluralisme Indonesia” mengundang pertanyaan selanjutnya yakni, apakah yang dimaksud itu pluralisme sosial-budaya dan politik atau pluralisme agama. Karena, tentu keduanya itu adalah terminologi yang berbeda, yang berbeda pula pengertiannya satu sama lain.
Jadi, seorang pluralis sosio-budaya, atau pluralis dalam politik akan berbeda pengertiannya dengan seorang pluralis teologi (agama). Misalnya, sering saya mendengar dan membaca kalimat “mari kita rawat pluralisme agama di Indonesia.” Saya menduga yang dimaksud adalah merawat “fakta kemajemukan agama-agama di Indonesia.”
Kita mesti hati-hati bahwa istilah “pluralisme agama” (religious pluralism) adalah satu teori dalam Studi Agama-agama/Perbandingan Agama. Katakanlah teori yang standar, (a) Semua agama berasal dari Tuhan yang sama, dan akan kembali kepada Tuhan yang sama itu; (b) Semua agama sejajar dan sederajat. Tidak ada yang superior dan inferior; (c) akhirnya, semua pemeluk agama akan selamat di akhirat.
Seorang pluralis “garis keras” (hardline pluralist) akan berpegang teguh dengan tiga hal itu, terutama yang poin C, bahwa semua pemeluk agama akan selamat di akhirat kelak. Apakah orang-orang yang menulis dan pidato soal “pluralisme agama” mengacu kepada (teori) tiga hal itu? Saya tidak terlalu yakin.
Karena itu, ketika Prof. Dr. M. Quraish Shihab dituduh sebagai “pluralis”, misalnya, oleh Dr. Afrizal Nur melalui Disertasinya “Tafsir Al-Misbah dalam Sorotan” karena dia menulis dalam kitab tafsir ini bahwa “kebaikan dan kesucian ada pada agama-agama, bukan hanya Islam.” Menurut saya, kalau Prof. Quraish tidak pernah menulis atau mengakui tiga teori pluralisme agama diatas, maka tuduhan itu tidak valid secara akademik.
Jika hanya mengatakan bahwa kemuliaan, kebaikan dan kesucian ada pada semua agama, atau mengatakan bahwa Siddharta Gautama atau Lao Tzu atau Konghucu adalah nabi Allah (dalam pengertian akidah Islam), maka bolehlah dikatakan sebagai “pluralis garis lembut” (softline pluralist), belum “garis keras” kalau belum mengakui bahwa semua pemeluk agama akan selamat di akhirat.
Kelima, dalam pengertian inilah, ketika ramai soal bahwa warga Nahdhiyyin bukan pluralis, sebenarnya “pluralisme” dalam pengertian yang mana: sosial, budaya, politik atau pluralisme agama?
Jika kita mengacu kepada pengertian tiga teori pluralisme agama di atas, maka Kiai Abdul Moqsith Ghazali sudah tepat dan benar ketika menjelaskan bahwa cara berpikir dan bertindak NU didasarkan kepada moderatisme (tawassuth) bukan kepada pluralisme (ta’addud), sebab saya yakin sebagian besar Kiai dan jemaah Nahdhiyyin tidak menganut teori pluralisme agama dalam tiga kriteria di atas (kecuali mungkin ada sekelompok kecil elite NU benar-benar “pluralis garis keras”).
Kalau Nahdhiyyin “pluralis garis lucu” saya yakin banyak.
Oke lah, jika Nahdhiyyin bukan pluralis dalam politik dan bukan pluralis dalam teologi (dan memang tidak harus menjadi pluralis), tetapi jangan lupa NU punya sejarah yang panjang dalam menegakkan “toleransi aktif” (bukan toleransi pasif) di negeri ini.
Kaum sarungan ini, mulai dari elit PBNU (sejak era Gus Dur), sampai ke Nahdhiyyin di desa-desa punya jasa besar dalam merajut hubungan harmonis antar pemeluk agama dan keyakinan yang majemuk. Jika ada kelompok intoleran atau tidak pluralis dalam tubuh NU, tidak berarti usaha dan jasa sebagian besar kaum tradisionalis ini dalam memperkuat kerukunan “dinihilkan” begitu saja.
Soal pluralisme dan pluralitas ini, bagi banyak orang mungkin persoalan yang sederhana saja, karena istilah ini sangat populer. Tapi, dalam sorotan akademik tidak sederhana lagi, harus jelas definisi, rumusan, batasan, dan kualifikasinya. [AA]