Muhammad Naufal Hakim Santri YPP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel.

Kiai Abdus Salam: Pejuang dan Pionir Berdirinya Tiga Pesantren di Jombang

2 min read

Gambar: Masjid Tambakberas

Jombang adalah kota santri, identitas ini bukan tanpa alasan. Kota Jombang dikelilingi oleh empat pesantren besar, diantaranya; Pesantren Bahrul Ulum di Utara, Pesantren Tebuireng di Selatan, Pesantren Darul Ulum di Timur, dan Pesantren Mamba’ul Ma’arif di Barat. Namun, patut diketahui, sebelum empat pesantren tersebut berdiri, terlebih dahulu telah ada pondok selawe/pondok telu yang didirikan oleh Kiai Abdus Salam.

Ketika perang Diponegoro berkecambuk (1825 M-1930 M), Kiai Salam, sebagai salah seorang pangeran perang melakukan perjuangannya dengan hijrah ke wilayah Jombang. Di dalam buku Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah dijelaskan, Kiai Salam hijrah ke wilayah Jombang dengan tiga tujuan, yaitu: melakukan napak tilas ke makam leluhur, Mencari lokasi untuk berdakwah, dan menghimpun kekuatan baru sebagai basis perlawanan terhadap Belanda.

Kiai Salam merupakan putra dari Syekh Jabbar, seorang pejuang yang berasal dari Dusun Jojokan, Desa Mulyo Agung, Kecamatan Singgahan, Tuban. Jika ditarik silsilahnya ke atas, maka Kiai Salam masih memiliki garis keturunan dengan Joko Tingkir.

Mengingat Kiai Salam mengawali perjalanan ke wilayah Jombang dengan mengunjungi makam leluhurnya, yakni Pangeran Benowo, putra Joko Tingkir, yang berada di Desa Wonomerto, Jombang.

Pasca-napak tilas, Kiai Salam melanjutkan perjalanannya ke Dusun Gedang. Di sana ia melakukan mbabat alas untuk mendirikan pondok sebagai basis pendidikan agama. Adapun sebab memilih wilayah Jombang, karena melihat wilayah ini merupakan bekas gerbang kerajaan Majapahit dan tidak menjadi konsentrasi kompeni Belanda. Hal ini juga yang menyebabkan Kiai Salam kurang dikenal sebagai seorang pejuang dalam peperangan Diponegoro.

Pondok Kiai Salam dikenal dengan pondok selawe (pesantren duapuluh lima) karena memiliki santri awal yang berjumlah 25, selain itu juga disebut sebagai pondok telu (pesantren tiga) karena jumlah kamar santri yang ada 3. Di sinilah kecerdikan Kiai Salam dalam memanajemen pondok teruji, kamar yang berjumlah tiga sengaja dipisahkan sesuai dengan disiplin yang di dalami santri. Kamar pertama dikhususkan untuk santri yang mendalami ilmu syariat, kamar kedua dikhususkan untuk santri yang mendalami ilmu tarekat, dan kamar ketiga dikhususkan untuk santri yang mendalami ilmu kanuragan.

Baca Juga  Selamat Jalan Pejuang Ma'had Aly, Kiai Abdul Djalal

Demi keberlangsungan pondok dan santri, Kiai Salam rutin melakukan riyadlah. Pada setiap malam, Kiai Salam melakukan uzlah dengan menaiki sebuah pohon di tepi sungai. Hal ini dilakukan agar tidak mengantuk. Ketika mengantuk, maka ia akan tercebur ke dalam sungai. Bukan hanya itu, untuk menahan hawa nafsu dan melatih kesabaran. Ketika Kiai Salam makan, maka ia akan mencampurkan kerikil kecil ke dalam nasi, sehingga sebelum memakan nasi, terlebih dahulu harus mengambil satu persatu kerikil kecil yang ada.

Selain seorang yang ahli riyadlah, Kiai Salam juga seorang yang sakti. Ketika pesantrennya semakin besar, berita inipun sampai di telinga salah satu residen Belanda. Alhasil, residen tersebut mengirim seorang kurir lengkap dengan kuda dan senapannya.

Dengan nada sombong, kurir tersebut memanggil Kiai Salam, sepontan Kiai Salam menjawab dengan membentak “Sopo awakmu..?” (Siapa kamu..?). Akibat bentakan tersebut, seketika kurir beserta kudanya tersungkur dan meninggal. Dari kejadian ini, Kiai Salam mendapatkan julukan Mbah Shoichah yang berarti “bentakan” atau “gelegar”.

Berkat perjuangan, riyadlah, kesaktian, dan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Kiai Salam pada tempo berikutnya pondok selawe atau pondok telu telah melahirkan kiyai-kiyai yang menjadi pendiri pesantren-pesantren besar di wilayah Jombang saat ini. Di antaranya pesantren Bahrul Ulum di Tambakberas. Dulunya disebut pondok Tambakberas.

Pondok Tambakberas dirintis oleh Kiai Said, menantu dan murid Kiai Salam. Pasca-Kiai Said wafat, pondok Tambakberas dikelola oleh anaknya, Kiai Chasbullah bersama sang istri, Nyai Lathifah, dan dari keduanya lahir Kiai Abdul Wahab Chasbulah, salah seorang penggerak berdirinya NU.

Kemudian, salah seorang putri dari Kiai Chasbullah, bernama Nyai Khodijah, dinikahkan dengan Kiai Bisri Syansuri, yang pada waktu berikutnya dapat mendirikan Pesantren Mamba’ul Ma’arif di Denanyar.

Baca Juga  Catatan Singkat Jamal al-Banna tentang Hasan al-Banna dan Organisasi Ikhwanul Muslimin

Selain Kiai Said, Kiai Salam juga memiliki mantu bernama Kiai Utsman, yang dinikahkan dengan Nyai Layyinah, putri pertama Kiai Salam. Dari keduannya lahir putra dan putri, salah seorang putrinya adalah Halimah (Winih), yang pada masa berikutnya dijodohkan dengan Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng.

Akhir kalimat, semoga Allah selalu memberikan tempat terindah bagi para Masyayikh pendiri pondok pesantren, terkhusus Kiai Abdus Salam. Amin ya rabbal alamin. [MZ]

Muhammad Naufal Hakim Santri YPP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel.