Nadirsyah Hosen Dosen Ilmu Hukum di Monash University Australia dan Rais Syuriyah PCI NU Australia - New Zealand

Sarung Sang Guru

1 min read

Ibnu Arabi

(1) Cinta

“Bagaimana caranya membagi cinta kepada Tuhan, Nabi, keluarga, pekerjaan, dll?” tanya bapak tua itu.

Sambil membetulkan sarungnya, Sang Guru menjawab, “Aku tidak Pernah membagi cinta, aku selalu melipatgandakannya.”

(2) Tahayul

“Tahayul! Tolong sudahi semua cerita yang tidak masuk akal itu. Anda harus mencerdaskan ummat, jangan mengulang-ngulang cerita dari buku yg ditulis 700 tahun lalu!” tiba-tiba anak muda itu memaki sang guru yang tengah memberi pengajian dengan berbagai cerita hikmah.

Malam itu, si anak muda tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat sang guru mendatanginya sambil mengusap dahinya dan berbisik lirih, “Anakku, kalau yang ini apa tahayul juga?”

Batas antara khayalan dan kenyataan ternyata tipis –setipis sarung sang guru.

(3) Rahasia

“Terangkan pada kami rahasia penciptaan alam semesta ini?” begitu tanya seorang jamaah.

Sang Guru menjawab santai sambil menarik sarungnya, “Aku tidak tahu.”

Sang penanya kemudian berdiri dan meninggalkan jamaah pengajian sambil menggerutu, “Buat apa mengaji pada orang yang sama tidaktahuanya dengan diriku!”

Sang Guru tersenyum. Andaikan Sang Guru menceritakan semua ketidaktahuan tentang rahasia-Nya maka bukan hanya seorang tapi semua jamaah akan bubar karena tidak akan sanggup mencerna limpahan pengetahuan itu.

Mengetahui rahasia Ilahi dengan cara tidak ‘mengetahuinya’ adalah sebuah kejujuran dan sekaligus kerendahan hati. Ini yang membedakan ‘tidak tahu’ si penanya dengan Sang Guru. Tuhan tidak bisa didekati dengan arogansi.

(4) Ihsan

“Kenapa kita yang mengaku beriman dan mengerjakan salat, puasa, zakat serta ada yang berkali-kali naik haji namun tetap saja melakukan korupsi dan perbuatan tercela lainnya; bahkan korupsinya pun dilakukan secara berjamaah. Ada apa dengan keimanan dan keislaman kita?”

Baca Juga  Haji sebagai Sarana Menggapai Puncak Kesadaran

Sang Guru menatap wajah si penanya dengan tatapan yang menusuk kalbu.

“Itu karena kita masih berada pada tahap Iman dan Islam. Kita belum memasuki tahapan Ihsan. Menjawab pertanyaan Jibril, Nabi SAW pernah menjelaskan bahwa ‘Ihsan ialah menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan kalau engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau’. Ini artinya, duhai saudariku, beriman dan berislam saja tidak cukup. Kita perlu ber-ihsan.”

“Sederhananya,” lanjut Sang Guru sambil tersenyum, “Berihsan itu seperti memakai sarung transparan. Tersembunyi tapi sesungguhnya terlihat semuanya.”

Tabik,

Nadirsyah Hosen Dosen Ilmu Hukum di Monash University Australia dan Rais Syuriyah PCI NU Australia - New Zealand

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *