
Satu hal yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan adalah proses berpikir. Dalam hal ini, manusia diberi anugerah berupa akal dan pikiran. Oleh sebab itu, heran rasanya bila sebagai manusia yang sudah mendapatkan keistimewaan tersebut justru menyia-nyiakannya, dalam arti tidak menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Hari ini kita banyak menyaksikan hal itu, mungkin salah satunya adalah saya dan teman-teman yang membaca tulisan ini.
Saya tidak akan mengajak para pembaca untuk menggunakan kekuatan akal dan pikiran “semaksimal” dan sejauh mungkin. Cukup menggunakan pikiran untuk membedakan mana yang baik dan benar sudah cukup sebagai manusia “orang biasa”. Apalagi sampai ke maqam (tingkatan) para filsuf, lebih jauh lagi para nabi. Hanya saja, memang sebagai ciptaan yang “spesial”, Allah memerintahkan kita untuk menggunakan potensi akal dengan baik, salah satunya yaitu berpikir kritis.
Sebagai manusia, berpikir kritis tentu sangat dibutuhkan karena dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dalam diri. Tidak hanya ilmu pengetahuan, berpikir kritis juga dapat menunjukkan kita kepada jalan kebenaran. Namun, bukan berarti selama ini kita berada di jalan yang salah. Hanya saja, kadang sedikit melenceng. Salah satu manusia yang dikisahkan dalam Al-Qur’an berhasil menuju jalan kebenaran melalui pikirannya yang kritis adalah Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapak para nabi karena banyak dari keturunannya yang melanjutkan jejaknya sebagai utusan nabi dan rasul. Tentu hal ini tidak lepas dari proses berpikirnya yang kritis dalam menghadapi kaumnya ketika itu, terutama ayahnya. Al-Qur’an telah mengisahkan bagaimana proses berpikir Nabi Ibrahim yang diawali dengan kaumnya yang menyembah berhala dan tata surya. Kisah Ibrahim diceritakan dalam QS. Al-An’am ayat 76–79.
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًاۗ قَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ.
Artinya: ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “inilah Tuhanku”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”.
فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ
Artinya: kemudian, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), “inilah tuhanku”. Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, “sungguh, jika tuhanku memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat”.
فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ.
Artinya: kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “inilah tuhanku. Ini lebih besar”. Akan tetapi matahari terbenam dia berkata, “wahai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari yang kamu persekutukan”.
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ.
Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan wajahuku (hanya) kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.
Ayat di atas merupakan proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Selain itu, ayat ini juga merupakan sindiran kepada orang-orang yang menyembah tiga tata surya tersebut. Pada akhirnya, Nabi Ibrahim sampai pada pemikiran bahwa apa yang terjadi dengan bulan, bintang, dan matahari sudah pasti Tuhanlah yang menggerakkannya. Tuhan dapat memunculkan dan menenggelamkan sehingga sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan pula yang menciptakan seluruh alam semesta.
Kesimpulan Ibrahim tentang Tuhan merupakan bentuk kritisnya dalam menghadapi fenomena sosial yang ada pada kaumnya. Tetapi Nabi Ibrahim tidak hanya berpikir kritis, melainkan juga melakukan pengamatan dan perenungan tentang alam raya dengan menggunakan fitrahnya untuk menemukan akidah ketuhanan.
Setelah melewati proses pengamatan dan perenungan yang menggambarkan sikap kritisnya, Nabi Ibrahim betul-betul sampai pada keyakinannya tentang ketuhanan secara mantap dan melekat dalam hati.
Setelah membaca secara singkat proses berpikir Nabi Ibrahim yang kritis dalam Al-Qur’an, dapat dilihat bahwa Nabi Ibrahim tidak hanya kritis saja, tetapi juga memadukan dengan unsur qalb (hati), sehingga dari perpaduan dua unsur tersebut muncullah sebuah akhlak yang mulia. Perpaduan antara keduanya akan meningkatkan kesadaran dan intensitas keimanan serta ketakwaan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dari sikap Nabi Ibrahim ketika menegur ayahnya yang dilakukan dengan penuh sopan santun sebagaimana sikap anak kepada ayahnya.
Dari kisah Nabi Ibrahim, kita belajar bahwa bersikap kritis itu sangat penting. Selain menambah ilmu pengetahuan, berpikir kritis juga akan menambah intensitas kita dalam menganalisis suatu permasalahan. Di sisi lain, sikap kritis juga harus diimbangi dengan aspek qalb. Hal ini bertujuan agar sikap kritis kita dapat diwujudkan dengan akhlak dan sikap yang mulia. Wallahu a’lam.
Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta