Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Dimensi Sosial dan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 min read

sumber: freepik

Pemerintah menetapkan Idhuladha 10 Zulhijah 1445 tepat pada tanggal 17 Juni 2024. Iduladha atau yang sering kita kenal dengan hari raya kurban identik dengan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, Hajar, dan Sarah—kisah keluarga yang pada akhirnya menjadi ritual ibadah bagi umat muslim.

Di sisi lain, umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah haji turut mengumandangkan kalimat talbiah labbaikallahumma labbaik (kami datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah), sebuah kalimat yang penuh dengan makna kecintaan dan kepasrahan kepada Allah.

Sementara itu, di Indonesia sendiri, rangkaian hari raya Iduladha diwarnai dengan banyak aktivitas. Pasca salat id, sebagaimana sudah menjadi tradisi mainstream, adalah pemotongan hewan kurban.

Masjid-masjid, musala, dan tempat pelaksanaan pemotongan sudah pasti dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menyaksikan proses pemotongan hewan kurban tersebut. Secara historis, pemotongan hewan kurban ini berasal dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail yang telah direkam dalam QS. al-Shaffat ayat 102 yang artinya

“maka saat anak itu sampai (pada umur) sanggup bekerja bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insyaallah engkau aka medapatiku termasuk orang yang sabar.’”

Kisah ayah dan anak, sosok Ibrahim dan Ismail, memiliki banyak pesan jika digali lebih dalam, di antaranya keikhlasan, kepasrahan, ketaatan, dan keimanan. Namun, pada akhirnya Nabi Ismail digantikan oleh Allah dengan seekor kambing sebagaimana dalam QS. al-Shaffat ayat 107 “Dan kami tebus anak itu dengan seekor semebelihan yang besar.

Berangkat dari hal itulah kemudian penyembelihan hewan quran baik sapi atau kambing menjadi tradisi umat Islaam ketika hari raya Iduladha. Serangkaian prosesi yang dilaksanakan pada hari raya kurban memiliki nilai-nilai keislaman yang positif jika lihat secara mendalam. Setidaknya, ritual ibadah yang dilaksankan setahun sekali itu mempunyai dua aspek yang berdampak baik bagi diri sendiri dan orang lain, di antaranya adalah aspek sosial dan aspek spiritual.

Baca Juga  Islam Moderat versus Islam Kaffah

Aspek Sosial

Nabi Muhammad sebagai teladan bagi para ummatnya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak nabi tentu saja digambarkan dengan prilaku, sikap, dan aktivitas beliau sehari-hari.

Kehidupan nabi tidak hanya mengajarkan untuk selalu taat kepada Allah, tetapi beliau juga mengajarkan pentingnya mempunyai aspek sosial yang baik dalam kehidupan sehari-hari, sama halnya dengan hari raya kurban. Hari raya ini tidak hanya mengajarkan tentang ketaatan, kepasrahan, dan keikhlasan, tetapi juga mengajarkan tentang kemanusiaan.

Dalam hal ini, aspek sosial yang terdapat dalam ibadah kurban dalah ketika sesorang berbagi kebahagiaan dengan masyarakat sekitar, terutama bagi yang tidak mampu. Sebagaimana dalam QS. Al-Hajj ayat 36 yang artinya:

Unta-unta itu kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syiar agama Allah. Bagimu terdapat kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya, sedangkan unta itu) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Lalu, apabila telah rebah (mati), makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah kami telah menundukkannya (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur.

Ayat di atas merupakan perintah untuk berbagi hewan kurban yang telah disembelih. Pembagian tersebut tentu saja harus sesuai dengan syariat islam. Tujuannya adalah agar semua orang (miskin dan kaya) bisa merasakan euforia dari hari raya kurban itu sendiri. Di sisi lain, aspek sosial pada hari raya kurban ini juga dapat menumbuhkan kesalehan sosial pada diri dan orang lain yang diwujudkan dengan sikap peduli antarsesama.

Aspek Spiritual

Selain aspek sosial di atas, sudah pasti hari raya kurban memiliki aspek spiritual. Rangkaian hari raya kurban dimulai dengan dua hari berpuasa Tarwiyah dan Arafah, puasa yang dilakukan dua hari sebelum Iduladha. Dua ibadah individual ini memiliki keutamaan diampuni dosa setahun yang lalu dan akan datang serta dibebaskan dari api neraka.

Baca Juga  Aktivitas Daring: Mempertegas Relasi Manusia pada Tuhan

Sebagaimana penulis katakan sebelumnya bahwa secara historis hari raya kurban erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, dua sosok yang mengajarkan tentang Islam yang sebenarnya, yaitu tentang kepasrahan, ketaatan, dan kepatuhan.

Ketiga hal tersebut dalam hal ini diwujudkan dengan bentuk berkurban. Tentu saja hewan yang dipilih untuk berkurban merupakan hewan yang paling baik. Dengan begitu, ia juga memberikan hal yang terbaik pula kepada Allah sebagaimana Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya karena perintah Allah.

Selain tiga hal di atas, kepasrahan, ketaatan, dan kepatuhan, kurban juga menumbuhkan kesadaran baru bahwa pada dasarnya manusia hanyalah makhluk Allah, dan yang dijadikan  nilai bukanlah seberapa banyak, mahal, dan seberapa bagus hewan kurban, melainkan adalah ketakwaan dan keikhlasan, sebagaimana dalam QS. Al-Hajj ayat 37 yang artinya:

Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.”

Sebagai kesimpulan dari apa yang telah penulis sampaikan di atas, pada dasarnya aspek sosial dan spiritual mengajarkan keseimbangan. Selain sebagai bentuk ketaatan dan beribadah kepada Allah, kita juga diingatkan untuk tidak melupakan orang-orang di sekitar. Wallahualam. [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta