Dalam Al-Quran, Allah berfirman:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, di antaranya maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah), amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97)
Ayat diatas menegaskan bahwa wajib bagi setiap umat Islam yang mampu untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah dan bagi orang-orang yang menolak kewajiban ini termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Pada sebelumnya, telah pula dijelaskan tentang Baitullah dan kedudukannya sebagai petunjuk dengan dirinci bahwa di sana terdapat tanda-tanda nyata, yakni maqam Ibrahim yang hingga saat ini masih terawat dengan baik (Tafsir al-Mishbah 2/160).
Ulama tafsir ketika membahas ayat tersebut menyebutkan bahwa istitha’ah haji adalah kemampuan bekal finansial dan juga aspek kesehatan atau kesiapan fisik seorang muslim yang hendak melaksankan haji.
Sebagaimana Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (2/335) dan Ibn Katsir (4/26) membagi istilah istitha’ah menjadi dua, yakni aspek jasmani dan finansial. Maksud daripada istitha’ah dalam segi harta atau finansial, beliau menukil dari sabda Nabi saw., adalah al-zād (bekal) dan mal-rāhilah (kendaraan).
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah: “Bahwa ketika turun surah Ali Imran ayat 197 ada seorang sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apa itu sabil? Rasulullah menjawab: “Bekal dan kendaraan.” (HR. Tirmidzi)
Adapun maksud istitha’ah dalam segi badan yakni tidak dalam keadaan sakit, tidak ada serangan musuh dan binatang buas, serta aman dalam perjalanan. Sehingga, istitha’ah menurut Wahbah al-Zuhaili ialah dalam dua hal tersebut saling berkaitan dan harus dipenuhi.
Sedangkan menurut Ibn Abbas, istitha’ah ialah mampu dalam berbekal dan berkendaraan, serta meninggalkan nafkah kepada keluarganya (Tafsir Tanwir Al-Miqbas h. 69). Pendapat yang sama dari M. Quraish Shihab bahwa selain sehat jasmani, ruhani, dan materi (biaya perjalanan), serta keadaan aman, tidak ada perang dan juga wabah penyakit, yakni adanya biaya hidup untuk keluarga yang ditinggal (Tafsir al-Mishbah 2/162).
Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang disebut orang yang mampu (istitha’ah) dalam haji ialah seorang muslim yang sehat baik sehat jasmani maupun ruhani, serta mampu secara ekonomi untuk bekal dirinya dan kelebihan harta untuk nafkah keluarganya yang ditinggal.
Istitha’ah calon jamaah haji dalam aspek kesehatan secara fisik dan psikis yang dilihat dari hasil pemeriksaan oleh tenaga medis ini sebenarnya supaya ketika nanti pelaksanaan haji di tanah suci, mereka tidak mengalami kendala mulai dari berkendara dalam perjalanan haji hingga ritual yang membutuhkan banyak tenaga fisik.
Adapun sehat secara rohani adalah seorang yang akan melakukan ibadah haji sudah balig, mumayyiz atau dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang diwajibkan atau dibolehkan dan apa saja yang tidak dibolehkan berkaitan dengan ibadah haji, berakal sehat, dan siap secara mental.
Sedangkan mampu secara ekonomi adalah orang yang hendak berhaji harus memiliki biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), mampu membiayai dirinya dan hidup keluarga yang ditinggalkan, serta ada bekal masa depan sehingga ketika kembali dari berhaji tidak dalam kondisi miskin (Menuju Baitullah dan Madinah Rasulullah, h. 13).
Seorang muslim yang memenuhi syarat istitha’ah yang disebutkan di atas terkena kewajiban ibadah haji. Sebagaimana menurut Sayyid Thanthawi dalam al-Tafsirul Wasith, Allah mewajibkan manusia untuk melaksanakan rangkaian manasik haji pada waktu yang telah ditentukan dan tata cara khusus ketika mereka mampu melaksanakan kewajiban tersebut.
Apabila seseorang enggan melaksanakan ibadah haji padahal ia mampu untuk melaksanakannya, menurut Jalaluddin al-Syuyuthi (2/277), maka dirinya termasuk golongan orang-orang kafir. Beliau mengemukakan itu dengan riwayat dari Ibn Mas’ud: “Barang siapa yang mengingkarinya, maka dia tidak disebut orang mukmin, sedangkan orang yang tidak mukmin disebut kafir.” Wallahualam. [AR]