Etika I’tikaf dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu

Momentum 10 hari terakhir pada bulan Ramadan banyak dijadikan sebagai waktu bagi umat Muslim untuk berdiam diri di dalam masjid pada malam hari, atau yang dikenal dengan istilah i’tikaf. Tujuan dari i’tikaf adalah untuk mendapatkan malam Lailatulqadar, yang dalam Al-Qur’an disebut lebih baik daripada seribu bulan. Selain itu, i’tikaf juga bertujuan untuk menjernihkan hati dengan cara bermuraqabah kepada Allah, memusatkan diri untuk beribadah dalam waktu-waktu luang, berkonsentrasi pada ibadah, dan melepaskan diri dari kesibukan duniawi.

Berkaitan dengan dua tujuan i’tikaf di atas, yakni menjemput Lailatulqadar dan bermuraqabah kepada Allah Swt., tentu harus dilakukan dengan cara yang baik. Terlebih lagi, tempat yang digunakan untuk i’tikaf adalah masjid. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam wa Adillatuhu telah menjelaskan secara rinci mengenai i’tikaf, mulai dari hukum, tempat, waktu, tata cara, hingga etika dalam melaksanakan i’tikaf. Bahkan, beliau juga mencantumkan pendapat empat mazhab dalam kitabnya.

Berikut ini adalah etika i’tikaf dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu:

  1. Orang yang i’tikaf dianjurkan untuk mengisi waktu dengan membaca Al-Qur’an, berdzikir dengan bacaan seperti laa ilaaha illallah dan istigfar, bertafakur tentang keajaiban langit dan bumi, bersalawat kepada Nabi saw., mempelajari tafsir Al-Qur’an, hadis, sirah Nabi, kisah para nabi dan orang-orang saleh, serta ibadah mahdah lainnya. Namun, dalam mazhab Hanbali, mengisi waktu dengan belajar saat i’tikaf dianggap makruh.
  2. Disunahkan i’tikaf dilakukan di masjid jami’. Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, hal ini tidak disyaratkan, sementara menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, masjid yang paling utama untuk i’tikaf adalah Masjidilharam, lalu Masjid Nabawi, kemudian Masjidil Aqsha.
  3. Disunahkan i’tikaf pada bulan Ramadan karena merupakan bulan yang paling mulia, terutama pada 10 hari terakhir. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama, sebab dalam 10 hari terakhir itulah terletak Lailatulqadar yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan.
  4. Orang yang melakukan i’tikaf disunahkan untuk tetap tinggal di masjid pada malam Idulfitri apabila i’tikafnya berlanjut hingga malam tersebut. Kemudian, pada pagi harinya, ia berangkat dari masjid ke lapangan tempat salat Idulfitri dilaksanakan. Dengan demikian, ia menyambung ibadah dengan ibadah lainnya. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang artinya: “Barang siapa menunaikan salat tahajud pada malam Idulfitri dan malam Iduladha sambil mengharap pahala dari Allah, niscaya hatinya tidak akan mati pada hari ketika hati umat manusia mati.”
  5. Orang yang beri’tikaf dianjurkan untuk menjauhi segala perkataan dan perbuatan yang tidak berkaitan dengan dirinya serta tidak boleh banyak berbicara, karena orang yang banyak bicara biasanya banyak melakukan kesalahan. Selain itu, ia juga dianjurkan untuk menghindari perdebatan, perseteruan, saling mencaci maki, dan ucapan jorok. Orang yang beri’tikaf hanya boleh berbicara jika ada keperluan, dan ia juga diperbolehkan berbincang dengan orang lain. Hal ini sebagaimana kisah yang disampaikan oleh Shafiyah, istri Nabi, yang berkata: “Ketika Rasulullah sedang beri’tikaf, aku pernah mengunjungi beliau pada malam hari, lalu kami berbincang-bincang. Setelah itu, aku bangkit untuk pulang ke rumah. Beliau ikut bangkit untuk mengantarku pulang. Tempat tinggal Shafiyah berada di kompleks rumah Usamah bin Zaid. Ketika kami berdua sedang berjalan pulang, ada dua orang Anshar lewat. Ketika melihat Nabi saw., mereka mempercepat langkah. Nabi saw. pun memanggil mereka, ‘Tunggu sebentar! Ini adalah Shafiyah binti Huyaiy.’ Kedua orang itu berkata, ‘Mahasuci Allah, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti aliran darah. Aku khawatir setan akan membisikkan suatu fitnah ke dalam hati kalian.’”

Melakukan i’tikaf pada 10 malam terakhir bulan Ramadan dengan berbagai amalan, baik yang wajib maupun yang sunah, merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan. Namun, ibadah ini tidak akan sempurna jika etika-etika dalam i’tikaf tidak dijaga. Misalnya, mengajak orang lain berbicara hanya untuk menghilangkan rasa kantuk, yang dapat mengganggu orang lain. Daripada berbicara, lebih baik tidur sejenak agar saat terbangun dapat kembali siap beribadah.

Selain itu, menjaga etika dalam beri’tikaf juga merupakan bentuk penghormatan dan ketaatan kita kepada Allah Swt. Sebab, selain dilakukan di masjid, untuk “bertemu” dengan Sang Tuan Rumah (Allah), kita harus bersikap sopan dan mengikuti tata krama, sebagaimana halnya ketika kita bertamu ke rumah orang lain.

Semoga kita dapat istiqamah dalam melaksanakan i’tikaf pada 10 malam terakhir ini dan mendapatkan malam yang istimewa tersebut.

Aamiin ya rabbal ‘aalamiin.

Wallahu a‘lam.

0

Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.