
Beberapa hari terakhir, drama seri asal negeri jiran cukup ramai diperbincangkan di media sosial. Drama berjumlah 15 episode dengan durasi 30 menit setiap episodenya ini banyak menarik perhatian warganet Indonesia lantaran mengangkat isu yang cukup sensitif di tengah-tengah masyarakat, yaitu keagamaan. Tidak hanya itu, warganet juga dibuat geram dengan tokoh utamanya, yaitu Walid, yang berperan sebagai pemimpin dalam sebuah komunitas keislaman yang disebut Jihad Ummah. Selanjutnya, teman-teman bisa membaca tulisan saya di sini. Adapun pada tulisan ini saya akan fokus melihat bagaimana peran perempuan dalam film Bida’ah.
Selain isu keagamaan, film Bida’ah juga mengangkat isu tentang perempuan. Dalam film ini, peran perempuan terlihat dikembalikan kepada zaman jahiliah. Mereka terkurung dan tidak boleh tampil di ruang publik. Adapun yang membuat geram adalah perempuan tidak dilihat sebagai manusia, melainkan sebagai objek pemuas hasrat para laki-laki dengan dalih agama. Hal ini terlihat dengan diwajibkannya poligami dalam drama tersebut. Laki-laki dibebaskan untuk menceraikan dan menikah lagi.
Sebagaimana Walid ketika menceraikan Habibah (istri keempatnya) karena protes sebab cemburu dengan istri-istri yang lain. Alasannya adalah karena mengganggu dakwah Walid, padahal Walid telah berencana untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Adegan yang membuat warganet lebih kesal adalah ajaran Walid tentang nikah batin.
Nikah batin versi Walid adalah pernikahan yang hanya diketahui oleh Walid dan perempuan itu saja. Adapun yang menjadi saksi pernikahan adalah Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Dengan pengetahuan agama yang dangkal, beberapa jemaah wanitanya yang masih tergolong muda berhasil dikelabui oleh Walid, lagi-lagi dengan dalih agama. Akibatnya, salah satu perempuan yang dinikahi secara batin hamil, dan tanpa pikir panjang Walid memaksa untuk menggugurkan kandungannya.
Menurut Siti Aminah dalam mubadalah.id, adegan nikah batin yang dilakukan Walid adalah bentuk kekerasan seksual dengan modus child grooming, yaitu membangun hubungan emosional dengan anak. Hubungan emosional yang dibangun oleh Walid di sini adalah dengan mengaitkan masa lalu perempuan dengan ajaran Islam. Sehingga, perempuan terjebak dalam dogma agama serta narasi sesat yang dilakukan Walid.
Dalam hal ini, film Bida’ah memperlihatkan bahwa perempuan memiliki tempat yang berbeda dengan laki-laki. Tentu saja, dengan berlandaskan agama, perempuan dianggap berada di bawah laki-laki. Lebih dari itu, mereka bahkan tidak memiliki hak untuk bersuara dan diharuskan patuh atas perintah Walid. Hal ini terlihat ketika Walid menjodohkan mereka sesuai kehendaknya.
Menurut KBBI, dogma adalah ajaran atau kepercayaan yang diyakini sebagai kebenaran yang tidak dapat dibantah. Dalam hal ini, Islam menjadikan Al-Qur’an dan sunah sebagai pedoman hidup seluruh umatnya. Tetapi setiap teks-teks dari Al-Qur’an dan hadis tentu memiliki latar belakang, atau yang disebut dengan asbābun nuzūl dan asbābul wurūd. Oleh karena itu, hari ini kita perlu mengkaji ulang agar teks tersebut dapat dikontekstualisasikan.
Namun, sebaliknya, jika teks tersebut dipahami secara mentah, maka dapat kehilangan substansi dari teks tersebut karena telah terlepas dari konteks sejarah tadi. Salah satu yang dirugikan dalam narasi ahistoris ini adalah hilangnya peran dan kedudukan perempuan, baik di ruang publik maupun privat. Padahal secara historis, Rasulullah telah berusaha untuk memulihkan perempuan dari yang mulanya dilecehkan dan dinistakan menjadi subjek yang dihormati.
Dalam hal ini, film Bida’ah memperlihatkan bahwa dogma agama dalam sekte Jihad Ummah telah salah dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya terkait perempuan. Pemahaman teks keagamaan mereka terlalu tekstual sehingga terlepas dari substansi teks itu sendiri, contohnya dalam memahami ayat tentang poligami.
Akibatnya, banyak perempuan yang terjebak oleh narasi dan pemahaman sesat Walid. Oleh sebab itu, agar tidak terjebak dalam dogmatisme agama yang menyesatkan, maka perempuan harus memiliki ilmu pengetahuan.
Selain sosok perempuan yang menjadi korban tipu muslihat Walid, drama ini juga memperlihatkan perjuangan perempuan yang melawan kesesatan Walid. Sosok Baiduri yang diperankan oleh Riena Diana terlihat berani dalam melawan penindasan berkedok agama yang dilakukan Walid. Perempuan lulusan sebuah universitas di Mesir ini secara frontal mengkritisi setiap ajaran Walid.
Tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan ibunya agar keluar dari kelompok tersebut. Lambat laun, Baiduri mulai menyadari dan mengetahui bahwa ajaran Walid telah merugikan perempuan-perempuan dalam sekte tersebut dengan adanya nikah batin dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Perjuangan Baiduri dalam menyelamatkan para perempuan lainnya merupakan representasi dari women support women. Dengan pengetahuan serta keberanian yang dia miliki, Baiduri pada akhirnya berhasil meruntuhkan Walid serta jemaahnya.
Selain berjuang melawan kesesatan Walid, sosok Baiduri juga menggambarkan bahwa perempuan harus pandai dan berpengetahuan. Sebab, pengetahuan tersebut dapat menjadi bekal dalam hidupnya sekaligus menjadi tameng agar tidak mudah diperdaya oleh orang lain. Setidaknya dengan pengetahuan yang ia miliki, perempuan tidak dipandang rendah oleh laki-laki dan tidak menjadi korban kekerasan seksual.
Wallāhu a‘lam.
Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta