Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Lebaran Ketupat: Tradisi Muslim Indonesia Setelah Hari Raya Idulfitri

2 min read

Lebaran Ketupat merupakan tradisi muslim Indonesia yang dilakukan pada tanggal 8 Syawal. Peringatan lebaran ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur karena telah melaksanakan puasa Syawal mulai tanggal 2 sampai 7 dan rangkaian puasa syawal tersebut diakhiri dengan tradisi yang bernama Lebaran Ketupat.

Tradisi yang telah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia ini mempunyai nama yang beragam. Di suku Madura, misalnya, tradisi ini bernama tellasan topak. Ada pula yang bernama riyoyo kupat, kupatan, syawalan, dan bakdo ketupat.

Pada momen ini biasanya masyarakat muslim Indonesia membawa makanan dari rumah masing-masing untuk dibawa ke musala atau langgar yang kemudian didoakan dan dilanjutkan dengan makan bersama.

Tradisi yang telah berjalan lama di Indonesia ini masih dapat ditemukan di daerah-daerah pedesaan, sedangkan di wilayah perkotaan agak susah rasanya menemukan tradisi ini. Walaupun ada, tetapi ia tidak dirayakan secara bersama-sama seperti di desa, melainkan di rumah masing-masing bersama keluarga.

Secara historis, Lebaran Ketupat merupakan tradisi yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga dalam proses dakwahnya di Nusantara pada abad ke-16 M. Mengutip dari jatim.nu.or.id, budayawan Zastrouw Al-Ngatawai mengatakan, tradisi ini muncul pada era Walisongo dengan memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Nusantara.

Tradisi ini kemudian dijadikan sarana untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah, bersedekah, dan bersilaturhmi di hari Lebaran.

Filosofi Ketupat dan Semangat Beragama

Ketupat adalah makanan khas Indonesia yang muncul setiap satu tahun sekali, yaitu di bulan Syawal. Makanan yang dibungkus janur kuning ini banyak memiliki nilai filosofis yang dikandung di dalamnya. Mengutip dari mediaindonesia.com, kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Sehingga, dengan memakan ketupat, sesama muslim diharapkan untuk mengakui kesalahan dan saling memaafkan satu sama lain.

Baca Juga  Islam Nusantara dan Dialektika Antar Masyarakat

Makanan yang dibungkus dari janur kuning ini melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Bentuk segi empat mencerminkan Prinsip “kiblat papat lima pancer”, memiliki makna ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah.

Adapun rumitnya anyaman bungkus ketupat digambarkan dengan berbagai macam kesalahan manusia. Ketika dibelah dua, nasi yang berwana putih dicerminkan kebersihan dan kesucian, setelah memohon ampun dari kesalahan.

Seiring berjalannya waktu, bentuk ketupat terus mengalami perkembangan. Mulai dari ketupat jago, ketupat tumpeng, ketupat wajik, ketupat sari, ketupat bata, ketupat bebek, ketupat geleng, ketupat pendawa, dan ketupat gatep.

Hadirnya beragam bentuk ketupat serta perayaan Lebaran Ketupat di berbagai daerah menggambarkan bahwa semangat beragama muslim indonesia patut diapresiasi. Bagaimana tidak, tradisi yang dilakukan dengan beragam bentuk perayaan ini memiliki substansi yang sama, yaitu silaturahmi.

Sebagaimana kita tahu, silaturahmi merupakan salah satu nilai beragama untuk  memupuk dan menumbuhkan rasa kebersamaan. Islam juga memerintahkan manusia untuk terus menjaga silatuharmi antara saudara sesama muslim. Oleh sebab itu, silaturahmi merupakan bentuk semangat beragama muslim indonesia yang duwujudkan melalui tradisi Lebaran Ketupat.

Semangat menjaga tradisi

Selain menumbuhkan semangat beragama dan keberagaman tradisi, Lebaran Ketupat juga bentuk dari menjaga tradisi leluhur. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya, tradisi ini diawali pada saat penyebaran agama Islam di Nusantara. Di sisi lain ia juga merupakan bentuk penyisipan nilai Islam dan budaya lokal hanya ada di Indonesia.

Nilai-nilai Islam yang disisipkan pun beragam, karena setiap daerah yang merayakan Lebaran Ketupat tentu memiliki makna tersendiri. Ada yang sebagai bentuk rasa syukur, dan ada pula sebagai bentuk silaturahmi.

Baca Juga  Menghidupkan Kembali Pemikiran "Hijau" Gus Dur

Semangat menjaga tradisi yang diperlihatkan oleh muslim Indonesia dalam perayaan Lebaran Ketupat ini juga bisa dijadikan sebagai manifestasi konsep moderasi beragama. Sebab, salah satu indikator dalam menjaga dan merawat tradisi adalah menghargai tradisi keislaman dengan catatan selama tradisi yang dilakukan tidak mencoreng prinsip-prinsip ajaran agama Islam, sehingga ia patut dirawat dan dilesatarikan sebagai wujud dari rasa syukur kepada Allah.

Menjaga tradisi ini bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, walaupun narasi terkait Lebaran Ketupat tidak ada dalam Al-Qur’an, bahkan tidak ada pada zaman nabi. Namun, dalam perspektif Islam, tradisi ini tidak bertentangan dengan Islam, karena banyak mengandung nilai-nilai keislaman seperti sedekah, silaturahmi, ibadah, dan lain-lain.

Adapun kaidah ushul fiqh yang selama ini yaikini oleh masyarakat Nahdliyyin dalam merawat tradisi leluhur adalah sebagai berikut:

الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحْ وَالْاَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْاَصْلَحِ

Artinya, memelihara (menjaga) nilai atau ajaran lama yang baik, dan mengambil nilai atau ajaran baru yang lebih baik.

Pada akhirnya perayaan lebaran ketupat merupakan usaha dalam merawat dan menjaga tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim Indonesia. Peringatan tradisi ini perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi selanjutnya. Terlebih lagi, tradisi ini berangkat dari semangat beragama berbasis tradisi lokal. Wallahualam. [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta