Tujuan akhir setiap manusia dalam kehidupan adalah menemukan kebahagiaan. Segala upaya rela ditempuh demi mencapai kebahagiaan yang dicita-citakan. Sayangnya, begitu banyak manusia tidak memahami makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Alhasil, seberapa pun kebahagiaan yang telah dimiliki, manusia selalu merasakan kesedihan dan kekhawatiran.
Manusia yang tidak memahami hakikat kebahagiaan secara utuh rawan merasakan kesedihan yang mendalam. Orang seperti itu selalu diliputi amarah, kecewa ataupun dendam saat ada yang tidak sesuai dengan rencananya.
Kesulitan dalam mengendalikan pikiran secara rasional dan kehilangan akal sehatnya, dan jika kondisi ini terus berlanjut, dapat merusak moral atau melukai batin karena tekanan yang terus menerus dari bawah sadarnya.
Kenyataan yang sering terjadi ini membuat banyak pemikir terpanggil untuk menawarkan gagasannya guna memecahkan masalah tersebut. Salah satunya filsuf muslim dari abad pertengahan, yaitu al-Kindi.
Kesedihan dan Kebahagiaan: Teori Psikologi al-Kindi
Kebahagiaan ditafsirkan sebagai rasa senang, tenteram, dan terbebas dari semua kewajiban yang bersifat menyusahkan. Akan tetapi, kebahagiaan tidak sama dengan kenikmatan, kepuasan, atau kesenangan. Meski ketiganya dapat mendatangkan kebahagiaan, ketiganya juga bisa mendatangkan kesengsaraan.
Lebih dari kesenangan, kenikmatan, atau kepuasan, kebahagiaan dideskripsikan sebagai keadaan jiwa yang diliputi rasa tenteram, yang merupakan perpaduan dari rasa aman, damai dan tenang.
Akan tetapi, Allah menciptakan segala hal di dunia secara berpasangan sebagai keseimbangan. Begitu pun saat manusia berlomba mencari kebahagiaan akan selalu hadir kesedihan, bahkan dari jalan yang mungkin tidak terduga.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa kesedihan akan dibarengi oleh perasaan cemas, takut, dan juga gelisah. Hal hal itu merupakan bentuk emosi yang tidak stabil dalam diri manusia dan dapat mengeruhkan kejernihan hidup.
Kesedihan merupakan emosi yang kontras dengan kebahagiaan. Kesedihan dapat menciptakan ketidaknyamanan dalam hati serta pikiran, dan lebih buruknya dapat mengganggu fisik dan mental.
Al-Kindi menjelaskan bahwa kesedihan merupakan kehilangan spiritualitas yang diakibatkan karena hilangnya orang orang yang disayangi atau kehilangan sesuatu yang diinginkan. Menurutnya, kesedihan berasal dari luar diri kita dan sebenarnya kitalah yang membawa masuk kesedihan. Menurut pemikirannya, kesedihan dapat dikendalikan oleh pikiran atau daya pikir manusia sehingga manusia tidak mudah dikendalikan oleh emosi.
Rasionalitas dan Budi Pekerti sebagai Jalan Kebahagiaan
Sebagai seorang filsuf, al-Kindi menjelaskan bahwa menggunakan daya pikir yang hakiki adalah upaya untuk menelaah perbuatan atau kuasa Tuhan yang dapat dicontoh dan diteladani oleh manusia sehingga manusia dapat menyempurnakan cara pikirnya. Berpikir rasional melatih pengendalian diri dan mencapai pemahaman.
Kebahagiaan hidup lahiriah saja adalah keburukan. Memahami betul bahwa hakikat kebahagiaan harus mampu dirasakan oleh lahiriah dan batiniah manusia. Berpikir rasional akan mengantar pada keutamaan manusiawi, yaitu adanya budi pekerti. Budi pekerti terdiri dari ilmu dan amal yang terbagi menjadi tiga:
Pertama, hikmah (kebijaksanaan), daya berpikir yang dapat memahami kebijaksanaan teoretis dan kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan teoretis ialah mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki, sedangkan kebijaksanaan praktis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan.
Kedua, keberanian (saja’ah), sifat yang tertanam dalam jiwa hilang rasa cinta pada dunia dan tidak takut pada kematian serta berani menolak sesuatu yang harus ditolak.
Ketiga, kesucian, yakni memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak diperlukan.
Apabila setiap orang memiliki keutamaan tersebut, maka manusia mampu “memaklumi” segala hal buruk yang terjadi sehingga mengantarkan pada pemahaman kebahagiaan yang hakiki.
Jiwa dan Akal sebagai Jalan Kebahagiaan
Jiwa memiliki makna yang sangat penting, sempurna, dan mulia. Menurut al-Kindi, jiwa memiliki sifat ilahiah yang akan menolak keinginan hawa nafsu. Jiwa yang dipertemukan dengan jasad menciptakan komponen yang sudah dipersiapkan untuk menjadi berfungsi.
Dengan daya yang dimiliki jiwa, maka jiwalah yang menggerakan setiap komponen tersebut. Namun, jiwa juga memerlukan akal sebagai pengarahnya. Akal manusia memiliki peran sangat penting dalam proses mencapai kebahagiaan.
Akal dipandang sebagai unsur yang mengokohkan keyakinan untuk berperilaku baik. Tugas itu diwujudkan dengan meneguhkan dalil-dalil rasional untuk memberi landasan mengapa manusia itu mesti berperilaku baik dan menghindari perilaku buruk dalam kehidupannya.
Esensi kebahagiaan menurut al-Kindi adalah akal sebagai agen pengetahuan yang mengontrol pengetahuan yang berasal dari bantuan pengalaman inderawi, lalu jiwa sebagai pelopor penggerak untuk mewujudkan perasaan manusia. Semakin akal berilmu dan mampu berpikir secara rasional atas dasar dalil dan budi pekerti, maka semakin dekat manusia pada pemahaman kebahagiaan yang hakiki.
Membebaskan Jiwa dari Segala Penyakit
Menurut al-Kindi, penyakit hati berasal dari kesusahan atau kesedihan yang mana terjadi karena hilangnya orang yang dicinta atau harapan serta cita-cita. Maka, al-Kindi menjelaskan dua cara sebagai penawar kesedihan.
Pertama, memahami sifat material dan manusia yang fana. Tidaklah ada keuntungan yang didapatkan dari bersandar berlebih pada hal yang tidak abadi. Semakin tinggi harapan terhadapnya, maka akan semakin besar kemungkinan kesedihan.
Kedua, belajar keikhlasan terhadap apa yang diminta. Dalam setiap usaha selalu diselipkan sikap kanaah serta menyadari kemampuan atau kemungkinan dan tidak berharap berlebihan.
Al-Kindi menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang bersifat abadi, tidak ada sesuatu yang menjadi hak milik pribadi, yang ada hanya kepemilikan sementara. Manusia sering merasa memiliki dan menginginkan apa yang dimilikinya bersifat abadi, sehingga ketika apa yang dimiliki dan yang diinginkan itu hilang, manusia pasti mengalami kesedihan, kehilangan akal sehat, dan jiwa manusia mengalami kegoncangan. [AR]