Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Mengenal Nawal El Saadawi, Pejuang Feminis Mesir Melalui Sastra

2 min read

Nama Nawal El Saadawi sudah tidak asing lagi di kalangan tokoh-tokoh feminis dunia, ia merupakan seorang tokoh feminis Mesir yang dikenal sebagai pejuang hak-hak perempuan melalui sastra. Sebagai orang yang produktif, dia telah menulis lebih dari 50 buku fiksi dan nonfiksi menggunakan bahasa Arab. Selain ide-idenya yang banyak menginspirasi generasi perempuan Arab, karyanya juga banyak memicu kontroversi dan kritik. Menurut Nawal El Saadawi, patriarki, kapitalisme, dan imperialisme adalah sistem yang saling berkaitan dalam menindas perempuan sehingga mencegah mereka untuk meraih potensi yang penuh.

Nawal El Saadawi lahir pada tahun 1931 di Desa Kafr Tahla, ia merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. Ia Memiliki seorang ayah yang menganggap pentingnya pendidikan untuk mobilitas sosial. Nawal El Saadawi bersekolah di British School kemudian melanjutkan pendidikannya di  Universitas Kairo jurusan kedokteran dengan dengan beasiswa yang ia raih. Tahun 1955 El Saadawi lulus dengan spesialisasi psikiatri. Kecerdasan dan kepandaian yang ia miliki berhasil menghindarkan ia dari pernikahan dini.

Setelah lulus dari sekolah kedokteran, Nawal El Saadawi kembali ke desanya. Ia memulai karirnya dari daerah pedesaan, kemudian di rumah sakit-rumah sakit di Kairo. Pada tahun 1963, ia menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Kesehatan Masyarakat. Kemudian, pada tahun 1972 ia menerbitkan buku berjudul “Women and Sex” yang sangat kontroversi, sehingga membuatnya diberhentikan dari jabatannya sebagai direktur dan juga sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Health.

Berangkat dari Pengalaman

Bekerja sebagai dokter di desa membuatnya menyaksikan ketidaksetaraan kelas dan gender yang selanjutnya membentuk pemikirannya. Di desa, ia menyaksikan secara langsung praktik patriarki yang mengakar, seperti menyunat alat kelamin perempuan dan deflorasi yang dilakukan pada tubuh perempuan desa yang miskin.

Baca Juga  Selamat Jalan Pejuang Ma'had Aly, Kiai Abdul Djalal

Selain itu, di klinik para perempuan-perempuan desa banyak menghadapi ancaman “pembunuhan demi kehormatan” yang dibawa kepadanya untuk diperiksa keperawanannya. Mereka dituduh sudah kehilangan keperawanan sebelum menikah. Namun sebaliknya, Nawal El Saadawi justru menemukan bahwa wanita-wanita itu sebagian besar masih perawan.

Dalam buku pertamanya “Women and Sex”  ia sangat mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap tubuh perempuan, seperti tes keperawanan, pembunuhan demi kehormatan, deflorasi malam pernikahan dan sunat alat kelamin. Menurutnya pernikahan secara eksploitatif sama halnya dengan tindakan prostitusi.

Perjuangan Melalui Sastra

Nawal El Saadawi menggunakan fiksi untuk mengungkapkan ide-idenya tentang seks dan masyarakat. Karya sastra yang pertama ia tulis berupa Novel yang berjudul Women at Point Zero (1983). Tokoh utama dalam novel ini adalah Firdaus seorang wanita yang telah mengalami eksploitasi, pelecehan seksual dari kecil hingga dewasa, sehingga membuat dia terjebak menjadi pelacur, yang pada akhirnya dia di eksekusi oleh negara karena membunuh germonya.

Tokoh Firadus, di dalam novel tersebut menjelaskan bahwa laki-laki bukanlah penguasa atas tubuh perempuan. Baik dalam ranah publik ataupun dalam ranah keluarga. Dalam novelnya, Nawa menuliskan hasil risetnya bahwa “lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu dan tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau bentuk lain”. Ini membuktikan bahwa perempuan masih berada di bawah tekanan budaya patriarki.

Ummu Kulsum dalam artikelnya “Nawal El-Saadawi: Membongkar Budaya Patriarki Melalui Sastra” menyebutkan bahwa budaya patriarki dapat memberikan kebebasan kepada laki-laki dalam memasung hak-hak perempuan. Dampaknya adalah perempuan merasakan ketidak berdayaan atas dirinya sendiri dan tidak merdeka secara personal karena hak-haknya telah diambil oleh laki-laki yang bernama suami.

Baca Juga  Al-Kindi, Filsuf Muslim Pertama, dan Selayang Pemikirannya

Kemudian, dalam The fall of the Imam (1987), ia mengutuk rezim patriarki Presiden Anwar Sadat karena menggunakan otoritas agama untuk menopang legitimasi politik dan memarginalkan para pembangkang.  Namun, novel tersebut dilarang oleh Al-Azhar. Kemudian, dalam The Innocence of the Devil (1994), Nawal El Sadawi melangkah lebih jauh. Ia membuat karakter Tuhan dan iblis di sebuah rumah sakit jiwa, dan secara langsung menuduh agama (Islam dan Kristen) telah menindas perempuan.

Kritik-kritik yang di tulis oleh Nawal El-Saadawi terhadap agama dianggap terlalu radikal oleh Masyarakat Mesir, hingga akhirnya pada tahun 1981 ia dijebloskan ke penjara oleh rezim Anwar Sadat. Di penjara, ia menulis Memoirs From the Women’s Prison (1986). Setelah dibebaskan ia kemudian membentuk Asosiasi Solidaritas Wanita Arab (The Arab Woman Solidarity Association). Namun, organisasi tersebut di tutup oleh pemerintah Hosni Mubarak pada tahun 1991.

Nawal El-Saadawi meninggal pada 21 Maret 2021. Menurut Omnia Amin (Profesor di Universitas Zayed), Nawal El saadawi adalah sosok yang tanpa malu-malu melintasi semua batas yang ditetapkan oleh otoritas agama, politik dan sosial. Hemat penulis, perjuangan El-Saadaawi dalam membongkar budaya patriarki melalui karya fiksi patut dijadikan refleksi atas tindakan patriarki yang masih terjadi, di Indonesia khususnya. Sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus yang merendahkan perempuan seperti kekerasan, pelecehan dan diskriminasi.

Sumber: Perjuangan dan Perlawanan Seorang Feminis Mesir: Kumpulan Wawancara dan Cerpen (2022).

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta