Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

NU, Tradisi dan NKRI: Refleksi Satu Abad Nahdlatul Ulama

2 min read

Organisasi Islam Nahdlatul Ulama sudah tidak asing lagi kita dengar di Indonesia. Selain Muhammadiyah, NU merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Bulan ini merupakan momentum dimana NU sudah mencapai satu Abad sejak didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriah silam. Melansir dari detik.com ketua PBNU Yahya Cholil Staquf menjelaskan bahwa Peringatan Harlah satu abad NU akan diisi dengan berbagai rangkaian kegiatan. Puncaknya akan digelar resepsi besar pada tangal 7 Februari 2023 di GOR Delta, Sidorjo, Jawa Timur. Adapun tema yang di usung pada Harlah satu abad NU adalah “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru” yang mana tema ini didasarkan pada hadist Rasulullah SAW tentang lahirnya pembaharu di setiap satu abad.

Salah satu rangkaian dalam memperingati satu abad NU adalah diselenggarakannya Shalawatan dan Festival Tradisi Islam Nusantara yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa tokoh penting NU seperti KH. Miftahul Akhyar selaku Rais ‘Aam PBNU,  Yahya Cholil Tsaquf Ketua Umum PBNU dan dihadiri oleh seluruh warga Nahdliyin di Jawa Timur. Kegiatan ini bertempat di Stadion Diponegoro Banyuwangi yang mana Banyuwangi juga menjadi bagian sejarah yang sangat penting dalam perjalanan panjang Nahdhatul Ulama diantaranya adalah berdirinya Gerakan Pemuda Anshor pada Muktamar ke-9 tahun 1934 dan di Banyuwangi pula KH. Ali Mansur menulis syair Shalawat Badar yang kemudian dilantunkan pertama kalinya di Banyuwangi.

Terdapat momen yang sangat menarik menurut penulis dalam kegiatan ini, yaitu penampilan beragam tradisi ciri khas pesantren. Mulai dari lalaran Alfiyah kolosal oleh 500 lebih santri dan santriwati dari seluruh pelosok Nusantara yang tengah menimba ilmu di enam pondok pesantren di Banyuwangi hingga pagelaran hadrah yang berkolaborasi dengan tarian dan koreografi dari kader pagar nusa NU dan para banser dengan membawa bendera merah putih. Hemat penulis penampilan shalawat dan festival seni pembawaan bendera tersebut merupakan bukti nyata bahwa NU tetap melestarikan tradisi dan menunjung tinggi NKRI.

Baca Juga  Merawat Nalar Santri Baru di Bulan Ramadhan

Merawat Tradisi dan Menjaga NKRI

Sebagai organisasi yang telah mencapai umur satu abad, maka pertanyaannya adalah bagaimana peran NU dalam merawat Tradisi dan menjaga NKRI. Tentu saja tidak bisa dijabarkan satu persatu. Sebagai organisasi tradisional yang berakar di pedesaan Jawa dan bersikap toleran terhadap tradisi-tradisi sinkretis pribumi hingga saat ini NU tetap eksis dan konisten dalam merawat tradisi tersebut. Hal ini tidak lain karena secara historis semangat lahirnya NU yaitu untuk mempertahankan tradisi dan khazanah budaya yang pada waktu itu sedang gencar gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan ide-ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Di Indonesia sendiri khususnya pulau Jawa Gerakan pembaharuan Islam di pelopori oleh KH. Ahmad Dahlan.

Salah satu strategi NU dalam mempertahankan tradisi dan budaya yaitu dengan memperkenalkan istilah “Islam Nusantara” kepada masyarakat Indonesia dan dunia. Dengan Istilah  “Islam Nusantara” sesungguhnya NU sedang memperkenalkan bahwa agama itu dak bisa lepas dari unsur tradisi dan budaya. Mengingat bahwa di Indonesia tradisi dan budaya sudah ada sebelum Islam diajarkan. Oleh karena itu melansir dari republika.co.id Azyumardi Azra dalam “Islam Nusantara: Islam Indonesia” mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu ranah budaya yang memiliki faktor pemersatu seperti budaya dan tradisi sosial khas, sehingga ekspresi sosial-budaya dan politiknya berbeda-beda. Adapun faktor pemersatunya yaitu diantaranya tradisi sosial budaya dan adat istiadat yang memiliki banyak komonalitas dari pada perbedaan.

Bagi NU mempertahan budaya dan tradisi begitu sangat penting hal ini terkait dengan proses penyebaran Islam di Nusantara. tradisi dakwah yang dilakukan Walisongo, tidak hanya menjadi khazanah peninggalan sejarah tetapi juga menjadikan tradisi peninggalannya sebagai amaliah dan sebuah kekhasan yang harus dilestarikan. Karena mengingat saat ini banyaknya bermunculan ustadz baru yang cara dakwahnya tidak menunjukkan wajah islam Indonesia yang sebenarnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Miftahul Akhyar dalam Shalawatan dan festival Islam Nusantara “yaitu Islam yang mengajak tidak mengejek, Islam yang membina tidak menghina, Islam yang mendidik tidak menghardik”.

Baca Juga  Praktik Akad Jual-Beli Syar'i di Pasar Apung Kota Banjarmasin

Terkait kontribusi NU pada NKRI sudah tidak diragukan lagi. Secara historis NU memiliki peran penting dalam semangat nasionalisme yang di bangung oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai yang lain. Resolusi jihad yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan Kiai Abbad Buntet yang mampu membangkitkan semangat warga Surabaya dalam melawan penjajah mempunyai pengaruh besar dalam diraihnya kemerdekaan Indonesia selain itu Tokoh-tokoh NU juga turut andil dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Berada di lingkungan sosial-keagamaan yang plural dan ditengah-tengah arus wacana keberuslaman yang berbeda-beda NU tetap menganjurkan untuk memupuk persatuan dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi dan dialog demi menghindari perpecahan antar bangsa sendiri. Istilah saat ini yaitu “Islam Moderat”. Prinsip Hubbul Waton Minal Iman dipegang teguh dalam menjalankan ideologi negara. Bagi NU NKRI merupakan suatu bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini sehingga menolak tegas wacana tentang pendirian negara Islam yang dipelopori oleh para aktivis khilafah akhir-akhir ini.

 

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta