Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Pentingnya Sanad dalam Transmisi Keilmuan Islam

2 min read

Pesatnya teknologi hari ini membuat orang lain dengan mudah mencari informasi yang diinginkan. Cukup dengan menulis kata kunci di Google, seseorang sudah mendapatkan apa yang dia cari, termasuk di dalamnya pengetahuan terkait ilmu-ilmu keislaman.

Tidak heran jika hari ini muncul istilah Kiai Google. Walaupun Google menyediakan segala macam informasi yang kita butuhkan, di sisi lain penggunaan yang terlalu sering mempunyai dampak negatif, di antaranya adalah memunculkan kesalahpahaman dalam memahami sesuatu, apalagi terkait dengan ilmu agama.

Oleh sebab itu, dalam mempelajari ilmu agama, penulis tidak menyarankan untuk belajar kepada Kiai Google, melainkan harus mencari guru yang benar-benar menguasai serta jelas sumber pengetahuannya.

Berbicara tentang sumber pengetahuan, dalam tradisi intelektual pesantren terdapat sebuah istilah yang digunakan untuk melacak sumber keilmuan seseorang, yang dikenal dengan “sanad”.

Adapun pengertiannya menurut bahasa, sanad berarti sandaran, bersandar pada sesuatu, dapat dipegang dan dipercaya. Sedangkan menurut istilah, sanad berarti keseluruhan perawi dalam suatu hadis dengan sifat dan bentuk yang ada. Jika dikaitkan dengan relasi guru dan murid dalam transmisi keilmuan, berarti seorang murid yang menyandarkan pengetahuannya kepada gurunya.

Adapun sanad maupun ijazah berisikan jalur genealogi pengetahuan dari seorang murid kepada gurunya, guru dari gurunya, hingga bersambung pada sumber pertama. Dalam tradisi pesantren, biasanya kiai memberi sanad kepada mereka yang telah khatam mengkaji kitab.

Pandai Memilih Guru

Sanad selalu berkaitan dengan relasi antara guru dan murid. Hal ini disebabkan karena sanad merupakan sebuah rantai keilmuan yang menghubungkan keduanya.

Oleh sebab itu, guru menjadi pilar utama dalam konsep sanad ini. Lantas, untuk mendapatkan pengetahuan yang berkualitas, maka diperlukan juga guru yang berkualitas. Imam al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim telah memaparkan kriteria yang pantas untuk dijadikan guru.

Baca Juga  Membincang Patologi Etno-Religion Muhammadiyah dan NU

Pertama, a’lam yaitu orang yang lebih pandai. Kriteria pertama dalam mencari guru menurut Imam al-Zarnuji adalah mencari guru yang mempunyai pengetahuan luas, tidak hanya sekedar mengetahui tetapi menguasai serta mempraktikkan ilmunya. Mengapa demikian? Karena pada kriteria ini berkaitan dengan sanad keilmuan yang akan diajarkan kepada murid-muridnya.

Kedua, wara, yaitu menghindari barang-barang syubhat. Jika semua guru yang kita temui merupakan orang a’lam, maka cari dari mereka yang mempunyai sifat wara. Mengapa demikian? Karena fenomena hari ini banyak orang yang berilmu tetapi justru menunjukkan kemewahan yang mereka miliki. Oleh sebab itu, penting untuk mencari guru yang low profile, sederhana, dan tidak menunjukkan kemewahan dunia.

Ketiga, ansa, yaitu sepuh. KH. Jazilus Sakhok menjelaskan bahwa orang yang sudah sepuh diibaratkan buah kelapa. Semakin tua buah kelapa maka semakin banyak pula santannya.

Artinya, orang yang sudah sepuh memiliki banyak pengalaman dalam dunia keilmuan. Di sisi lain, orang yang sudah sepuh juga lebih sarat dengan hikmah dan kebijaksanaan. Kriteria di atas penting untuk dipraktikkan ketika akan memilih guru dalam belajar. Hal ini karena kualitas keilmuan seorang guru akan mempengaruhi kualitas keilmuan muridnya pula.

Mengutip dari jatim.nu.or.id, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah ‘Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah mengatakan bahwa hendaknya berhati-hati dalam mengambil suatu ilmu (informasi), dan seyogianya tidak mengambil ilmu dari orang yang bukan ahlinya.

Tentu saja apa yang dikatakan oleh KH. Hasyim Asy’ari berkaitan dengan kriteria memilih guru di atas.

Mempertahankan Orisinalitas Keilmuan

Ketika seorang santri telah mendapatkan guru (selanjutnya kiai) sebagaimana ciri-ciri di atas, kemudian berhasil mengkhatamkan kitab yang telah dipelajari, maka pada momen itu kiai mengijazahkan kitab itu kepadanya. Maksudnya adalah kiai mengizinkan kepada para santri untuk mengajarkan kitab tersebut kepada orang lain, sebagaimana kiai mengajarkan pada para santri.

Baca Juga  Kedewasaan dalam Beragama dan Realitanya

Begitupula sebaliknya, jika para santri belum mendapatkan ijazah dari kiai maka belum bisa untuk mengajarkan kitab tersebut kepada orang lain, apalagi memberi sanad. Sederhananya, sanad maupun ijazah merupakan sebuah simbol keberhasilan seorang santri dalam mengkhatamkan kitab.

Jika dilihat secara lahiriah, sanad hanya sebuah kertas yang berisikan silsilah keilmuan seseorang. Namun, secara substansial, sanad merupakan sebuah bentuk perawatan atas orisinalitas keilmuan yang diturunkan dari kiai kepada santrinya.

Hal ini untuk meminimalisir misunderstanding. Jangan sampai apa yang kita pahami terdapat perbedaan yang sangat jauh dari apa yang kiai sampaikan. Walaupun penulis tidak bisa menafikan bahwa perbedaan pendapat itu pasti ada, asalkan perbedaan tersebut tidak terlepas dari substansi nilai-nilai keislaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.

Sebagaimana kita ketahui, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan memiliki guru yang sama. Artinya, sanad keilmuan beliau berdua sama, tetapi keduanya justru memiliki pandangan yang berbeda. Tentu saja hal itu tidak menjadi masalah selama apa yang diajarkan tidak keluar dari rel Al-Qur’an dan hadis. Wallahualam bissawab [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta