Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Tajin Mera-Pote: Tradisi Kuliner Muslim Madura di Pontianak pada Bulan Safar

2 min read

Tradisi merupakan sebuah aktifitas rutin yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam praktiknya, tradisi dapat berupa upacara-upacara ritual yang bernuansa mistis dan keagamaan. Tetapi, tradisi yang berkembang di masyakarakat tidak hanya tentang dua hal di atas. Dalam konteks kuliner misalnya, kita mengenal tradisi tumpeng yang dihadirkan saat momen-momen penting di daerah Jawa dan bubur khanji acura yang dihidangkan pada tanggal 1 Muharram di daerah Aceh.

Selain itu, pada masyarakat muslim Madura di Pontianak penulis mengenal tradisi kuliner tajin ressem yang dihadirkan pada bulan Muharram dan tajin mera-pote yang khusus disajikan pada bulan Safar. Bagi muslim Madura tradisi kuliner seperti ini memang tidak dilakukan setiap hari, tetapi hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Muharram dan Safar. Tradisi kuliner ini mirip dengan tradisi tajin sora dan sappar yang ada di Sumenep Madura. Secara historis menurut beberapa catatan, tradisi ini digagas pertama kali oleh Sunan Kalijaga.

Secara bahasa, tajin mera – pote  berasal dari bahasa madura “tajin” yang artinya bubur, mera artinya warna merah dan pote yang berarti warna putih. pada praktiknya, tajin ini khusus disajikan pada bulan safar saja. Pada kalander Hijriyah, Safar adalah bulan kedua dalam Islam setelah bulan Muharram.

Sesuai namanya tajin ini memiliki warna merah dan putih, tetapi di beberapa daerah tajin ini diberi tambahan berupa toping-toping seperti cendil, mutiara dan lain-lain. Penyajiannya pun beragam, ada yang di simpan di dalam piring, tetapi ada pula yang disimpan di atas daun pisang dan ada pula yang dibungkus dengan daun pisang yang kemudian untuk dibagi-bagikan ke tetangga dan kerabat terdekat.

Nilai-Nilai Filosofis pada Tajin Mera – Pote

Baca Juga  Beragama di Tengah Populisme Pandemi

Sebagaimana penulis sebutkan di atas bahwa tradisi ini tidak hanya ada pada muslim madura Pontianak saja tetapi di daerah Jawa seperti Probolinggo dan Pulau Madura di Jawa timur juga melaksanakan tradisi ini. Kemungkinan besar komunitas Madura di setiap daerah juga terdapat tradisi kuliner seperti ini tetapi mungkin hanya berbeda namanya saja.  Meskipun begitu, satu hal yang pasti adalah, kuliner yang khusus disajikan pada bulan Safar ini tetap dilestarikan disebebakan karena di bukanlah tradisi hampa. Artinya ia memiliki nilai-nilai filosofis yang dapat digali, diantaranya sebagai berikut:

Pertama. Nilai nasionalisme. Nilai nasionalisme pada tradisi ini terletak dari warna tajin yang berwarna merah dan putih. Dalam penyajiannya tajin ini tidak boleh disajikan hanya satu warna saja, melainkan kedua warna tersebut harus disajikan secara berdampingan sehingga disebut mera-pote (merah putih). Warna ini melambangkan bendera Indonesia. Sedangkan alas yang digunakan adalah daun pisang berwarna hijau menggambarkan kesuburan. Artinya negara Indonesia yang subur dengan segala macam tumbuhannya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan oleh masyarakat.

Kedua, Nilai religius. Di beberapa tempat tajin ini biasanya diberi tambahan berupa toping mutiara dan cenil yang berbentuk bulat dengan ukurang kecil. Sinta Fauziah dalam artikelnya menjelaskan bahwa warna merah pada bubur melambangkan warna darah dari seorang ibu, sedangkan bubur pada seperti kelereng melambangkan bibit atau embrio, dan warna putih melambangkan air sperma dari ayah. Jadi secara garis besar tajin ini mengingatkan akan asal-muasal manusia agar tidak sombong dan selalu mengasihi sesama makhluk ciptaan Allah SWT.

Sebagaimana dalam surat Al-Isra ayat 37

وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولًا

Artinya: dan janganlh kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

Ketiga, Nilai peduli sosial. Berbeda dengan tradisi maulid Nabi pada malam 12 rabiul awal yang mana masyarakat berkumpul di musholla atau langgar untuk membaca burdah dan maulid diba’ kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Tradisi tajin mera – pote tidak berkumpul di satu tempat karena dalam pelaksanaannya masyarakat bebas melakukannya di tanggal berapapun yang terpenting ketika bulan Safar.

Baca Juga  AICIS 2023: Wujud Moderasi Beragama

Pada tradisi ini terlihat nilai peduli sosial yang begitu tinggi karena orang yang membuat tajin ini akan membagikannya kepada orang terdekat baik itu kerabat, keluarga dan tetangga disekitar tanpa pandang bulu. Di sisi lain tradisi ini juga dapat mempererat ikatan tali persaudaraan sesama muslim di daerah tersebut.

Saat ini meskipun zaman sudah mulai maju tetapi di beberapa tempat penulis perhatikan tradisi ini masih dirawat dan dipertahankan. Para orang tua masih melaksanakannya untuk merawat tradisi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun meskipun proses pembuatannya cukup lama. Di sisi lain juga untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda yaitu anak-anak mereka agar dapat melanjutkan tradisi tajin mera-pote ini. wallahua’lam

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta