Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) memiliki relasi resiprokal dengan masyarakat. Eksistensi PTKI harus sejalan dengan dinamika masyarakat. Namun demikian, PTKI seharusnya juga mewarnai perkembangan masyarakat. Bukan justru tertinggal dari dinamika yang berkembang di masyarakat.
Relasi ini penting menjadi bahan perenungan. Tanpa membaca relasi ini, PTKI akan terpisah dengan dinamika masyarakat. Alih-alih mewarnai, PTKI mungkin akan ditinggalkan oleh masyarakat. Jika ini yang terjadi, tentu sangat disayangkan.
PTKI, dengan membaca konteks historisnya, lahir karena kebutuhan masyarakat. Pada titik inilah maka dibutuhkan pembacaan secara kreatif dan konstruktif agar PTKI selalu mewarnai dinamika perkembangan masyarakat. Jika mampu membaca secara kreatif dan objektif, PTKI akan dicari masyarakat. Peminatnya semakin hari semakin bertambah.
Integrasi keilmuan sesungguhnya bisa dibaca dalam perspektif ini. Meskipun demikian, integrasi keilmuan itu bukan proses yang bersifat final. Ia merupakan sesuatu yang dinamis, terus tumbuh dan berkembang. Wajar jika integrasi keilmuan menjadi topik yang akan terus menjadi bahan pembicaraan yang tidak berkesudahan.
Meskipun demikian, penting dipahami bahwa integrasi bukan persoalan sederhana—sebagaimana ditegaskan oleh Jajang Jahroni, Ph.D dalam Tadarus Litapdimas ke-8—tetapi merupakan persoalan filosofis pada level paradigma. Ada aspek yang sangat penting untuk terus didiskusikan seiring dinamika perkembangan PTKI. Justru di sinilah sesungguhnya akar yang penting untuk diperkuat, disosialisasikan, dan ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Integrasi keilmuan—dengan segenap interpretasinya—sesungguhnya bukan hal yang sama sekali baru. Perspektif yang diusung Jajang Jahroni menarik untuk memperkaya khazanah dalam bidang ini. Proses ini, menurut Jajang Jahroni, sudah dimulai pada tahun 1970-an ketika Harun Nasution menghadirkan “cara baru” dalam mengkaji Islam. Islam tidak hanya dikaji dengan metode normatif, tetapi juga dari perspektif ilmu sosial secara serius.
Model pengkajian tertentu akan membawa hasil dalam jangka waktu yang panjang. Jika kini tradisi kritis tumbuh dengan subur, tentu tidak bisa dilepaskan dari kiprah yang ditanamkan oleh Harun Nasution. Membaca teks dengan berbagai pendekatan dan menulis makalah yang dibangun Harun Nasution—terlepas dari kelebihan dan kekurangannya—adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi belajar di PTKI sekarang ini.
Interaksi dengan budaya akademik di luar negeri, khususnya di negara Barat, memiliki kontribusi yang signifikan dalam membangun iklim akademik PTKI. Pengiriman mahasiswa-mahasiswa berprestasi untuk menempuh studi di berbagai perguruan tinggi terkemuka di Barat, sebagaimana direkam dalam buku Dari Pesantren untuk Dunia (2017), terbukti cukup mewarnai wajah PTKI setelah mereka pulang.
Gagasan seorang tokoh pada akhirnya bermetamorfosis menjadi gagasan institusional. Maka kita mengenal integrasi interkoneksi, pohon ilmu, roda pedati, twin towers dan berbagai gagasan lainnya yang merupakan transformasi dari gagasan individual menjadi gagasan institusional.
Integrasi keilmuan, sebagaimana disampaikan oleh Prof. M. Arskal Salim, memang merupakan kebutuhan. Justru karena itulah dibutuhkan pemikiran secara kritis dan terus-menerus agar integrasi keilmuan tidak keluar dari harapan. Dalam istilah Dr. Suwendi, integrasi kelmuan jangan sampai melunturkan DNA PTKI.
Saya kira ini menarik. Integrasi keilmuan seharusnya dipahami sebagai kebutuhan, namun bukan berarti kemudian kehilangan aspek yang sangat mendasar dari keberadaan PTKI. Jika ini yang terjadi, maka PTKI akan semakin kehilangan peran mendasarnya dalam konteks ilmu-ilmu agama. Tetapi jika mampu membangun fondasi yang kokoh dalam ilmu-ilmu agama lalu mengembangkan ilmu-ilmu yang sekarang banyak dikembangkan di fakultas non-agama, tentu itu sesuatu yang ideal.
Persoalannya, realitas tidak selalu seindah dalam idealitas. Tantangan demi tantangan terus bermunculan. Berbagai persoalan juga terus tumbuh berkembang tanpa henti. Pada titik inilah maka ada beberapa hal yang penting untuk menjadi bahan renungan bersama.
Pertama, pemahaman tentang integrasi keilmuan tidak hanya berhenti di tangan pimpinan dan elit PTKI, tetapi harus sampai ke seluruh sivitas akademika. Tentu merupakan hal yang tidak efektif manakala integrasi keilmuan hanya dipahami di level atas, sementara level menengah dan bawah tidak mengerti sama sekali.
Kedua, perlu strategi menurunkan integrasi keilmuan ini pada level praktis. Aspek ini penting agar integrasi keilmuan yang dikehendaki bisa sejalan dengan paradigma keilmuan yang digagas.
Ketiga, perlu panduan yang utuh dan operasional tentang apa, mengapa, dan bagaimana integrasi keilmuan. Adanya panduan ini merupakan basis bagi pengembangan integrasi keilmuan dalam maknanya yang luas.
Keempat, perlunya desain riset tentang integrasi keilmuan di level nasional maupun PTKI.
Semuanya memang masih proses. Semuanya akan terus berkembang. Diskusi, pembahasan, dan penelitian dalam bidang ini akan terus tumbuh dan berkembang. Dari titik pijak inilah diharapkan PTKI semakin berkembang sejalan dengan kebutuhan masyarakat.[ZA, AH]