Nuzula Nailul Faiz Alumnus Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Kecerdasan Finansial dalam Islam

3 min read

Islam tidak lepas perhatiannya dari persoalan finansial. Beberapa ibadah dalam Islam mensyaratkan kecukupan finansial agar menjadi sah dan sempurna, dan salah satunya adalah pernikahan.

Dalam Islam, nikah dihukumi sunah apabila seorang laki-laki sudah membutuhkan dan mampu memenuhi kebutuhan nafkah keluarga. Selain itu, haji juga diwajibkan bagi orang yang mampu memenuhi biaya kebutuhan keberangkatan dan kepulangannya. Keduanya bisa terwujud dengan perantara finansial yang sehat.

Sementara itu, dalam Islam juga terdapat kaidah: ma la yutimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun (perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, maka hukumnya wajib).

Maka dari itu, kecerdasan finansial juga dianjurkan untuk seorang muslim, karena kecerdasan tersebut bisa mengantarkan seseorang pada kondisi finansial yang sehat yang berpengaruh pada sah dan sempurnanya beberapa ibadah yang disyariatkan Islam.

Pengertian Kecerdasan Finansial

Kecerdasan finansial berasal dari dua kata: cerdas dan uang. Kecerdasan menurut KBBI berarti kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman pikiran). Sementara uang dalam fikih diartikan sebagai sesuatu yang menjadikan naluri manusia cenderung padanya serta dapat diserahterimakan.

Imam al-Ghazali mengartikan uang sebagai nikmat Allah yang digunakan masyarakat sebagai alat untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya, di mana secara subtansial tidak memiliki nilai material, tetapi sangat dibutuhkan manusia untuk memenuhi beragam kebutuhan hidupnya.

Dalam definisi modern, kecerdasan finansial menurut Robert T. Kiyosaki adalah bagian dari kecerdasan manusia yang digunakan untuk memecahkan masalah keuangan, baik masalah kekurangan maupun kelebihan keuangan.

Kecerdasan finansial menurutnya merupakan kecerdasan emosional yang dikenal dengan pemikirannya bahwa jika seseorang tidak dapat mengendalikan emosi, maka tidak dapat mengendalikan uang.

Kecerdasan finansial tidak bisa dilepaskan dari perilaku keuangan. Menurut Herawati, perilaku keuangan merupakan perilaku seseorang dalam mengatur keuangan dari sudut pandang psikologi dan kebiasaan individu yang dapat dikaitkan dengan manajemen keuangan pribadi.

Baca Juga  Babak Baru Islam dalam Kapitalisme

Indikator perilaku keuangan ada lima, yaitu membayar tagihan tepat waktu, membuat anggaran pengeluaran dan belanja, mencatat pengeluaran dan belanja (harian dan bulanan), menyediakan dana untuk pengeluaran tidak terduga, dan membandingkan harga antartoko sebelum memutuskan melakukan pembelian (Nababan, 2013).

Perhatian Al-Qur’an tentang Fiinansial

Al-Qur’an memberikan perhatian besar terhadap persoalan finansial dari berbagai aspeknya. Ada beberapa kata kunci yang digunakan dalam melihat bagaimana Al-Qur’an memandang persoalan finansial. Term-term tersebut adalah al-fadhl, al-mal, mata’, rizq, kanz, khaza’in dan khair. Megacu pada term tersebut, Al-Qur’an menyebut kecerdasan finansial sebanyak 558 kali.

Al-fadhl adalah harta yang diterima seseorang, yang melebihi dari hak yang semestinya. Al-mal adalah harta benda baik berupa binatang ternak, emas dan perak maupun lainnya yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan serta memiliki potensi untuk menyeleweng.

Mata’ adalah harta yang berupa segala hal yang dapat diambil manfaatnya dan bersifat sementara, serta dapat menimbulkan rasa senang terhadap pemiliknya atau orang yang mendapatkannya.

Rizq adalah harta yang berupa pemberian Allah baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi yang mengalir dan tidak menjadi bagian orang lain. Kanz adalah harta yang masih terpendam dalam perut bumi dan memiliki potensi untuk diperebutkan.

Khaza’in adalah harta yang berupa aneka anugerah yang berharga dan hanya diketahui oleh pemiliknya, sedangkan khair adalah harta yang berupa sarana untuk berbuat kebajikan sebagaimana berinfak dan bersedekah. Dari berbagai potensi harta, Al-Qur’an merumuskan langkah-langkah sebagai bentuk kecerdasan untuk menyikapi persoalan finansial.

Langkah-langkah tersebut adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang cerdas, membangun relasi finansial yang legal, sakral dan bermoral melalui kerja dan usaha, membangun dan menciptakan aset yang sesuai dengan al-Qur’an, mengembangkan praktik ekonomi yang antiriba, menjadikan aset sebagai saluran rahmat Allah, dan mencegah finansial hanya beredar di satu kelompok.

Baca Juga  Konsolidasi Kebencian di Masjid

Pandangan al-Qur’an terhadap finansial (uang) dan harta sangatlah positif. Hal ini berbeda dengan anggapan sementara orang yang mengatakan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang.

Harta atau uang dinilai oleh Allah sebagai “sarana pokok kehidupan”. Oleh karenanya, kompleksitas masalah finansial perlu mendapatkan perhatian serius, baik masalah kekurangan finansial maupun masalah kelebihan finansial.

Kecerdasan mengenai pengelolaan masalah kekurangan dan kelebihan finansial menjadi penting untuk diimplementasikan (Munafin, 2016). Allah berfirman dalam QS. al-Isra’ ayat 26-27:

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا ٢٦ اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا ٢٧

Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.

Tanggungjawab Pengelolaan Harta

Nabi Muhammad bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya” (HR. Tirmidzi dan Ad-Darimi).

Dari hadis tersebut, dapat dilihat bagaimana pengelolaan harta merupakan salah satu hal penting yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Dalam menyirkulasikan harta, manusia mesti memperhatikan koridor yang sudah ditetapkan oleh agama.

Seorang mesti memperhatikan betul pemasukan yang diterima, merupakan sesuatu yang halal dan bisa bermanfaat dalam agama. Begitu pula pengeluarannya, tidak boleh untuk perkara haram, berlebihan, dan mesti menghasilkan kemaslahatan.

Rasulullah juga bersabda: “Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyak harta. Namun, kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup” (HR. Bukhori & Muslim). Hadis ini menunjukkan bagaimana kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa, dengan memiliki sifat kanaah atau merasa cukup.

Baca Juga  PNS dan Problem Standarisasi Kehidupan

Dunia seisinya tidak akan dapat memenuhi kebetuhuan segelintir orang yang rakus, padahal dunia bisa mencukupi kebutuhan semua orang penghuninya. Dengan memiliki sifat kanaah, seseorang bisa mentasarufkan kelebihan harta yang dianugerahkan Allah untuk dana sosial yang bisa bermanfaat bagi sesama, sebagai bentuk investasi jangka panjang di kehidupan setelah kematian kelak.

Islam memandang finansial sebagai sesuatu yang positif. Finansial dipandang sebagai sarana pokok kehidupan. Finansial yang mapan bisa menghasilkan banyak kemaslahatan sosial, membuat nyaman dalam beribadah dan memiliki modal yang besar dalam melakukan investasi pahala di akhirat kelak.

Namun, Islam juga mengecam segala bentuk penghambur-hamburan harta dan penggunaan harta untuk hal yang diharamkan dan justru menghasilkan kemafsadahan. Islam memperingatkan bahwa pengelolaan harta termasuk aspek yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Berangkat dari situ, terkait kecerdasan finansial, Islam menekankan keadaan psikologis manusia dalam mengelola finansial, mesti berorientasi jangka panjang sampai kehidupan setelah kematian dan memandangnya sebagai tanggungjawab dari Tuhan yang akan dilaporkan sirkulasinya di akhirat kelak.

Finansial mesti diusahakan untuk menjadi bekal seseorang dalam beribadah, bermanfaat bagi sesama, dan lebih dekat dengan Tuhannya. Wallahualam bissawab. [AR]

Nuzula Nailul Faiz Alumnus Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga