Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Konsolidasi Kebencian di Masjid

3 min read

Foto: https://mediabro.id

Tiga video berdurasi pendek berlatar kericuhan di masjid sempat viral di social media. Meski menampilkan konteks yang berbeda-beda, ketiga video sama-sama menggambarkan reaksi sebagian umat Islam atas himbauan menunda salat Jumat dan tarawih berjemaah selama masa pandemi Corona-19.

Video pertama sudah beredar pada 18 April 2020. Video yang berdurasi tidak sampai dua menit itu, direkam di dalam masjid. Puluhan laki-laki mengolok dan mencaci maki imam masjid. Mereka kesal karena imam, tampaknya, mengikut anjuran pemerintah untuk tidak menyelenggarkan salat jumat berjemaah demi memutus rantai penularan virus.

Ustaz mati aja, berhenti jadi ustaz karena nggak ada tanggung jawabnya,” kutipan ini hanya sepotong makian yang mereka lontarkan, di antara makian yang lebih keras dan tidak sopan. Umumnya semua makian mengerucut pada pemerintah. Himbauan untuk menunda salat berjemaah dianggap sebagai kebijakan anti-Islam. Seperti sudah bisa diduga, umpatan-umpatan kebencian seolah mewakili ketidakpuasan pada pemerintah.

Tidak terlalu jelas, video tersebut diambil dari wilayah mana, besar kemungkinan di salah satu kelurahan di Jakarta. Saya pertama kali melihatnya di unggahan akun facebook Muhammad Guntur Romli dengan judul “Caci Maki di Masjid”. Sebagaimana Guntur, saya tentu menjadi bagian dari orang-orang yang miris menyaksikan tayangan kekerasan verbal seperti ini, dan terutama karena itu berlangsung di dalam masjid.

Video kedua datang dari Makassar. Diunggah pada 24 April 2020 menampilkan ketegangan antara aparat kepolisian dengan masyarakat di Ujung Tanah Kota Makassar. Peristiwa tersebut juga terjadi di dalam masjid. Video berdurasi 2.09 menit itu diambil dari smartphone seorang warga yang terlibat dalam ketegangan tersebut.

Polisi sesungguhnya datang dalam rangka mengimbau agar masyarakat tidak melakukan salat tarawih berjemaah, mempertimbangkan risiko penularan virus. Akibat tidak terima dengan imbauan tersebut, segenap tokoh bersama dengan ratusan orang meneriaki polisi dengan berbagai umpatan, sebelum akhirnya mengusir mereka dari masjid.

Baca Juga  Mengeksplorasi Imajinasi Anak: Obrolan Jelang Tidur

Sambil memekik Allah Akbar masyarakat seolah-olah menganggap kedatangan polisi sebagai ancaman terhadap Islam. Laki-laki maupun perempuan, tua-muda bahkan anak-anak, semua terlibat dalam ketegangan itu, mengumbar ragam umpatan yang pada intinya dilontarkan sebagai ekspresi kebencian terhadap pemerintah.

Video ketiga menayangkan ratusan pemuda yang melakukan perusakan terhadap rumah warga. Tokoh tersebut diduga melaporkan kegiatan salat tarawih di sebuah masjid, di lingkungkannya. Peristiwa terjadi pada 24 April 2020, dini hari saat orang sahur. Belakangan diketahui bahwa pemilih rumah tersebut adalah H. Aselin, warga Kelurahan Jati, Kecamatan Pulogadung, Jakarta.

Sehari sebelumnya, H. Aselih mengambil gambar kegiatan jemaah tarawih di masjid lingkungannya, lalu diadukan kepada Gubernur DKI Jakarta melalui aku twitter-nya. Kabar ini segera tercium oleh warga lain. Akibat tidak terima dengan aduan tersebut, esok harinya, rumah H. Aselih dijadikan sasaran kemarahan ratusan remaja. Mereka melempari rumah dengan petasan dan batu, merusak pagar dan pot tanaman.

Siapa yang mengonsolidasi para pemuda ini? Tidak ada penjelasan yang memadai, tetapi sudah bisa diduga bahwa kebencian itu bermula dari masjid karena posisi rumah dan masjid hanya berhadap-hadapan saja. Laporan H. Aselih pasti dengan mudah memantik kemarahan jemaah masjid karena merasa hak beribadahnya dihalang-halangi oleh seorang warga yang memiliki pendirian berbeda dalam menerima himbauan pemerintah.

Satu hal yang pasti, Camat Pulogadung, Bambang Pangestu, bersama pihak kepolisian menganggap hal ini sebagai kesalahpahaman biasa. Sudah dilakukan mediasi dan penyelesaian dengan cara kekeluargaan. Maksudnya tidak lain adalah, meminta keluarga H. Aselih untuk diam dan memaafkan berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para remaja tersebut. Dengan begitu, tidak perlu ada proses hukum.

Baca Juga  Tradisi Ramadan di Masjid Jogokariyan Yogyakarta

Suatu ‘kearifan’ yang sudah dianggap lumrah dalam pengalaman bermasyarakat kita. Pihak korban kekerasan—terutama kekerasan atas nama agama, umumnya memang selalu diminta menerima dan memahamai aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mainstream. Semua dianggap sebagai bentuk kesalahpahaman biasa. Sudah lama sekali, pihak-pihak korban dipaksa untuk selalu berdamai dengan kekerasan.

Mengapa kekerasan verbal dan kekerasan fisik bisa berlangsung di masjid? Mengapa pula konsolidasi kebencian yang bisa mengarah pada kekerasan, bisa terjadi di masjid, di dalam situasi masyarakat yang sedang menghadapi ancaman wabah yang mematikan ini?

Dalam sejarah intoleransi di Indonesia, konsolidasi kebencian di masjid bukanlah hal baru. Setidaknya bila kita memperhatikan pengerasan perilaku keagamaan pascareformasi, masjid dengan mudah diubah sebagai tempat untuk menularkan kebencian kepada masyarakat oleh aktor-aktor intoleransi.

Masih ingat kekerasan yang dialami oleh jemaah Syiah Sampang secara bergelombang pada 2011 dan 2012? Merujuk pada kasus tersebut, kita akan tahu bahwa periode konflik yang memuncak menjadi kekerasan, semua bermula dari intensitas kebencian yang dilakukan dari masjid ke masjid. Bahkan, kekerasan puncak yang terjadi pada pertengahan 2012, ditandai oleh konsolidasi melalui toa masjid di kampung tersebut untuk pengerahan massa penyerang.

Peristiwa ini hanya untuk menggambarkan bahwa, masjid di tangan aktor-aktor intoleran bisa dengan mudah berubah fungsinya menjadi sarana penularan kebencian bahkan konsolidasi kebencian menjadi kekerasan. Hal yang sama dengan kadar berbeda, sesungguhnya dengan mudah kita temukan dalam situasi pengerasan politik aliran yang mewarnai Pemilu 2014 dan 2019 yang lalu.

Selama periode itu, tidak terbilang banyaknya masjid yang secara terang-terangan menyebarkan kebencian melalui berbagai khutbah dan pengajian. Bahkan, aforisme gila “perang badar” yang dicetuskan oleh orang-orang gila politik saat itupun, berlangsung di dalam masjid. Bercermin dari hal ini saja, kita harusnya menyadari bahwa terlalu banyak masjid yang dijadikan sebagai termpat berlindung bagi tradisi kekerasan verbal yang diusung oleh orang-orang yang mengalami situasi frustrasi politik.

Baca Juga  Masa Depan Sarjana Agama di Tengah Pusaran Arus Teknologi

Tanpa bermaksud mengingkari bahwa ketiga video sekaligus mewakili ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap kinerja pemerintah, atau perlawanan atas kebijakan yang mungkin dianggap belum memihak yang lemah, ulasan ini hanya berkepentingan menampilkan sisi lainya. Melihat kebencian yang begitu kesumat sebagaimana ditampilkan ketiga video tersebut, rasa-rasanya tidak mungkin itu hanya dimengerti sebagai ekspresi beragama.

Itu lebih dekat kepada ekspresi frustrasi politik, atau sisa-sisa kebencian yang dipupuk selama bertahun-tahun lamanya oleh arus politik Islam yang sangat gemar menjadikan masjid sebagai media konsolidasi politik dan kekuasaan. [MZ]

Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *