Rasyida Rifa'ati Husna Seorang long-life learner

Etika Terhadap Lingkungan Menurut Al-Quran

3 min read

Al-Quran telah memperkenalkan dirinya dengan beberapa atribut, salah satunya mempunyai fungsi utama sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, maupun alam semesta. Karena itu al-Quran adalah kitab masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Ia merupakan sumber kebenaran yang tiada keraguan di dalamnya dan menjadi pedoman hidup di dunia.  Ajarannya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah kepercayaan (akidah), hukum, ataupun pesan-pesan moral, tetapi juga di dalamnya terdapat petunjuk memahami rahasia-rahasia alam raya.

Dalam banyak ayat, al-Quran memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta (kosmos) yang penuh dengan tanda-tanda kekuasaaNya. Dinyatakan jelas bahwa manusia adalah khalifah Allah di sekalian alam, sebagaimana yang termaktub dalam ayat; (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (Al-Baqarah/2: 30)

Menurut Quraisy Shihab tugas wakil Tuhan ini mempunyai tiga unsur yang saling terkait; pertama manusia dalam hal ini dinamai sebagai khalifah, kedua alam raya ini ditunjuk oleh Allah sebagai bumi, dan ketiga hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk juga manusia adalah ikhtilaf atau tugas-tugas kekhalifahan.

Berangkat dari tanggung jawab manusia sebagai mandataris Tuhan untuk mengelola bumi. Tugas ini mengacu pada situasi keteraturan atau keseimbangan di tengah semua makhluk. Dimana nilai kemanusiaan terjamin, keadilan dijunjung tinggi, umat manusia saling bekerjasama mewujudkan kemaslahatan, dan planet bumi yang dihuninya beserta keanekaragaman sumber daya alam didalamnya berjalan harmoni. Dengan begitu manusia akan mewarisi taman-taman surga dunia yang indah, makmur, dan sejahtera untuk selanjutnya alam akhirat yang kekal abadi.

Dalam tugas kekhalifahannya yang tidak dilepaskan begitu saja tanpa dibekali, manusia juga dianugerahi potensi akal, jiwa, dan qalb. Sudah seharusnya dengan potensi ini manusia memiliki sifat kepekaan dalam semangat menjaga eksistensi sumber daya dengan keanekaragamannya di muka bumi, termasuk juga dalam merawat keindahannya. Inilah manifestasi dari keinginan Allah.

Baca Juga  Negara Hukum, Bangsa yang Dicengkeram Oligarki dan Diperdaya Krisis

Meskipun demikian, Allah juga memberi kebebasan kepada manusia untuk memetik, mengolah, dan memanfaatkan produk alam untuk keberlangsungan hidupnya, seperti disebutkan dalam QS. Yasin; Kami (juga) menjadikan padanya (bumi) kebun-kebun kurma dan anggur serta Kami memancarkan padanya beberapa mata air. Agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari hasil usaha tangan mereka. Mengapa mereka tidak bersyukur? (QS. Yasin/36:34-35)

Dalam beberapa ayat diatas, tampak bahwa Allah yang menciptakan jagat raya ini dengan segala macam tumbuhan, hewan, dan sumber daya lain dari berbagai jenis yang berguna, itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Surat Yasin:35 juga menganjurkan manusia untuk memanfaatkan produk tumbuhan yang telah disediakan Allah dalam jumlah yang melimpah di alam raya ini. Manusia diizinkan mengolah dan memodifikasi hasil alam itu sesuai keperluannya namun dengan catatan, salah satunya, manusia diperintahkan untuk bersyukur atas segala karunia yang telah diberikan kepadanya, mengambilnya dengan cara yang terhormat dan sewajarnya.

Akan tetapi pada faktanya seringkali manusia menyalahartikan posisinya sebagai khalifah ‘sang penguasa’. Sikap superior manusia terhadap alam yang tidak lagi melihatnya sebagai organisme hidup, melainkan hanyalah sebuah objek yang dengan kerakusannya dapat dieksploitasi. Mereka memanipulasi situasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah sah-sah saja bagi mereka untuk melakukan apapun dalam rangka mencapai kepentingannya sendiri, tanpa peduli apakah itu pantas atau tidak, halal atau haram, berdampak baik atau buruk untuk kedepannya, mereka sama sekali tidak memikirkannya. Ayat yang menyatakan bahwa Allah menciptakan bumi dan langit untuk kesejahteraan manusia, mereka interpretasikan sebagai pembenaran bagi manusia untuk berbuat semaunya terhadap alam.

Salah satu ayat yang diselewengkan itu adalah firman Allah yang berbunyi; “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi, menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Dia juga telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya. Dia pun telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dia telah menundukkan bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah pula menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. Ibrahim/14: 32-33)

Baca Juga  Islam Nusantara sebagai Brand (2)

Kata sakhkhara yang biasa diartikan ‘menundukkan’ pada ayat diatas disalahartikan sebagai legalisasi hak manusia untuk menaklukkan semua makhluk di atas bumi untuk kepentingan mereka. Padahal bila manusia mau sedikit jeli mentadabburi ayat ini, sesungguhnya subjek yang menundukkan semua ciptaan itu adalah Penciptanya sendiri, yakni Allah. Relasi manusia dengan alam bukanlah hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah Tuhan semesta alam. Artinya, manusia diharapkan untuk menyeimbangkan hak dan kewajibannya terhadap ciptaan Allah tersebut. Dan kemampuan manusia dalam mengelola bukan merupakan karena kekuatan yang dimilikinya, melainkan adalah anugerah yang dihadiahiNya

Ada ajaran dasar yang harus diperhatikan kaitannya dalam etika lingkungan, seperti nash yang termaktub dalam Surat ar-Rahman, “Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan) Agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.” (Ar-Rahman/55:7-9)

Ayat diatas sebetulnya berbicara tentang keseimbangan jagat raya. Menurut Quraisy Shihab, Allah menyandingkan kata samaa` (langit) dan miizaan (keadilan) adalah untuk mengisyaratkan bahwa pentingnya keadilan dengan menisbatkan seluruh alam raya. Sehingga manusia bisa mengambil hikmah dalam menjalankan amanatNya dalam mengelola bumi. Manusia dilarang semena-mena bertindak merusak keseimbangannya ciptaanNya.

Dalam mengelola sumber daya alam, ayat diatas memberi tahu agar manusia memeperhatikan keadilan dan keseimbangan makhluk hidup. Allah menjelaskan bahwa penciptaannya sudah berada dalam keadaan seimbang dan sempurna, walaupun demikian juga diperbolehkan untuk memanfaatkan produk alam seperti yang dijelaskan sebelumnya pada QS. Yasin ayat 35. Itu menjadi etika berperilaku yang harus dipegang umat Islam dalam relasinya dengan makhluk lain, baik itu tumbuhan, hewan, mikroorganisme, juga perilakunya terhadap lingkungan hidup disekitarnya.

Baca Juga  Kesehatan Psikologis dalam Menghadapi Pandemi Covid-19

Pesan dari kehadiran al-Quran yang menjadi pondasi utama ajaran Islam adalah rahmatan lil-‘alamin. Islam sangat menjunjung tinggi etika dalam proses hubungan antar makhluk hidup. Inilah yang harus dijadikan landasan umat dalam memperlakukan lingkungan hidup disekitarnya. Karenanya manusia akan dapat menemukan dan memahami sejatinya pesan dari Sang Pencipta.

 

Rasyida Rifa'ati Husna Seorang long-life learner