Rumadi Ahmad Ketua Lakpesdam PBNU, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Obituari KH. Hasyim Wahid (Gus Im): Figur yang Penuh Misteri

1 min read

Dokumentasi adik bungsu Gus Dur, almarhum Hasyim Wahid (Gus Im) – Foto Antara/Regina Safri

Diantara keluarga Bani Wahid, KH. Hasyim Wahid–adik bungsu Gus Dur– atau yang biasa dipanggil “Gus Im” ini bisa dikatakan sebagai orang yang jarang tampil ke publik. Beliau lebih banyak menjadi aktor bawah tanah.

Barangkali Gus Im pernah kelihatan di publik ketika menjadi salah seorang Ketua PDI Perjuangan dan anggota BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), pada masa awal reformasi. Selebihnya, beliau lebih banyak bergerak di balik layar.

Saya juga belum pernah menyaksikan Gus Im dan Gus Dur duduk satu meja bercengkrama. Bahkan, ketika Gus Dur wafat pun pada 2009, Gus Im tidak muncul ke permukaan. Jadi, tidak salah kalau Gus Im dibilang manusia penuh misteri, termasuk hubungan kakak adik, Gus Dur dan Gus Im-pun masih menyimpan misteri yang hingga sekarang belum saya ketahui. Kehidupan keluarga Gus Im juga tidak banyak yang tahu.

Dibanding dengan teman-teman seperti Savic Ali, saya termasuk kader NU yang intensitas pergaulan dengan Gus Im sangat rendah. Perjumpaan saya dengan Gus Im bisa dihitung dengan jari. Banyak teman-teman saya, anak-anak muda NU, menjadi “anak didik” Gus Im, dan sering menemaninya, terutama dalam gerakan “bawah tanah”.

Saya hanya mendapat cerita tentang Gus Im dari kawan-kawan itu. Yang banyak diceritakan adalah seputar “misteri Gus Im” dan sepak terjangnya dalam berbagai momen penting. Soal bisnis persenjataan sampai dunia gaib-nya Gus Im. Pun demikian dengan cerita model komunikasi Gus Dur dan Gus Im yang juga sering saya dengarkan dari kawan-kawan ini.

Meski begitu, saya membaca beberapa karya Gus Im, seperti buku Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. Wawancara panjangnya di KOMPAS sekitar tahun 2000 ketika beliau menjadi salah satu pejabat di BPPN, saya baca betul.

Baca Juga  Pentingnya Pasangan Sekufu dalam Al-Qur’an

Waktu itu, saya masih kuliah dokoral di UIN (IAIN) Jakarta, salah seorang dosen saya, yakni Prof. Dr. Bahtiar Efendy, bertanya ke saya: “Rum, kamu sudah baca wawancara Hasyim Wahid di KOMPAS?” “Iya Pak, saya baca”, jawab saya. “Gila orang itu, cerdas sekali. Saya tidak menyangka dengan pkiran-pikirannya yang tajam sekali”, komentar Pak Bahtiar ketika itu.

Saya terlibat diskusi secara langsung dengan Gus Im mungkin sekitar 4 atau 5 kali, pada tahun 2003 atau 2004. Setelah Gus Dur tidak lagi menjadi Presiden, Gus Im beberapa kali datang ke Wahid Institute, dan menjadwalkan diskusi rutin setiap Rabu sore. Namu, sayangnya diskusi itu berlangsung tidak lebih dari satu bulan-an.

Dalam diksusi itu, Gus Im lebih banyak bicara tentang berbagai macam hal, seperti soal pertarungan ideologi sampai cerita soal buku “Mati Tertawa ala Rusia” yang ditulis Z. Dolgopolova dan diberi Kata Pengantar oleh Gus Dur. Saya lebih banyak mendengar pikiran-pikirannya yang kadang tidak saya pahami. Hanya sesekali saya menimpali atau bertanya tentang sesuatu. Gus Im sering memberi penjelasan tentang pikiran-pikiran kakaknya, Gus Dur–yang sering dia panggil dengan nama “Suheng”.

Dari diskusi itu, tidak sulit bagi saya untuk mengakui kecerdasan dan keluasan bacaannya. Bani Wahid memang keluarga luar biasa, melahirkan orang-orang hebat dengan karakternya masing-masing.

Dan, hari ini Gus Im telah pamit undur diri dari percaturan kehidupan dunia fana ini. Semoga Gus Im husnul khotimah dan tenang menghadap pencipta-Nya. Bisa bercengkerama dengan “Suheng”-nya, ketemu dengan kakak-kakaknya, Gus Solah dan Bu Nyai Aisyah Abdul Hamid yang sudah terlebih dahulu dipanggil  oleh Allah. Lahumul fatihah….. 

Ciputat, 1 Agustus 2020. [AA]

Rumadi Ahmad Ketua Lakpesdam PBNU, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta