Jakarta, (5/12) – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Institute for Research and Empowerment (IRE) merilis hasil penelitian tentang Capaian dan Keberlanjutan Kebijakan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020-2024 (RAN PE).
RAN PE akan berakhir pada 2024 bertepatan dengan tahun pergantian Presiden RI. Regulasi pencegahan dan penanganan ekstremisme dan terorisme ini dinilai mendesak menjadi agenda para Capres Cawapres. Presiden mendatang penting untuk melanjutkan RAN PE sebagai langkah serius memerangi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di Indonesia.
Kasus ekstremisme dan ekstremisme berbasis kekerasan menjadi tantangan serius dalam pembangunan di Indonesia. Pada 2022, Indeks Potensi Radikalisme berada pada skor 10. Angka ini memang menunjukkan tren positif dibanding 2020 dengan skor 12,2 (yang artinya turun 2,2%). Namun, Indeks 2022 itu nyatanya menunjukkan tantangan lain. Perempuan, orang muda, dan mereka yang banyak terpapar internet merupakan kelompok berisiko tinggi (BNPT, 2022).
Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi tantangan ekstremisme adalah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) 2020-2024. Aturan ini berisi aksi-aksi yang dibagi ke dalam tiga pilar: 1) Pilar Pencegahan (kesiapsiagaan, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi); 2) Pilar Penegakan Hukum, Perlindungan Saksi dan Korban, dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional; dan 3) Pilar Kemitraan dan Kerja Sama Internasional. RAN PE didesain dengan pendekatan yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan (whole of government and whole of society approach).
Dalam kurun tiga tahun implementasi RAN PE, ada cukup banyak agenda aksi yang dilakukan Kementerian/Lembaga (K/L), pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil (OMS) dengan dinamika dan tantangan yang beragam.
Pertanyaannya adalah apakah agenda aksi tersebut berjalan secara efektif mencapai tujuan? Saat ini INFID bersama IRE melaksanakan Penelitian tentang Capaian dan Keberlanjutan Kebijakan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020-2024 (RAN PE).
Studi itu dimaksudkan untuk melihat efektivitas capaian RAN PE dalam meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan dan peluang keberlanjutan kebijakan yang hanya tinggal setahun.
Hasil studi tersebut mengonfirmasi penelitian-penelitian sebelumnya bahwa pemahaman agama yang keliru bukan faktor tunggal yang memengaruhi ekstremisme berbasis kekerasan, melainkan juga adanya pengaruh lain, semisal keluarga dan lingkungan, kemiskinan/ketimpangan, serta eksklusi. Selain itu, ada beberapa temuan utama sebagai berikut:
Pertama, selama 3 tahun perjalanan RAN PE, masih sedikit daerah yang memiliki RAD PE (Rencana Aksi Daerah Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan).
Baru ada 6 dari 38 provinsi dan 3 dari 524 kabupaten kota yang memiliki RAD PE. Hal ini dipengaruhi kewenangan pemda yang masih kabur, pengetahuan yang tidak komprehensif, dan kelembagaan yang belum kuat. Daerah juga menganggap isu keamanan menjadi kewenangan pusat, di samping karena persoalan masih lemahnya pengetahuan dan kapasitas lokal dalam memahami RAN PE maupun urgensi isu-isu ekstremisme.
Temuan yang menarik juga terkonfirmasi bahwa kehadiran RAD PE di tingkat lokal justru banyak terjadi karena dorongan OMS yang aktif melakukan pelibatan (engagement) dengan pemerintah daerah, misalnya yang dilakukan Institute Perempuan di Jawa Barat, Fatayat NU di Jawa Timur, Yayasan Libu Perempuan di Sulawesi Tengah, dan La Rimpu di NTB.
Kedua, RAN PE masih didominasi pendekatan keamanan tradisional sehingga pendekatan non keamanan seperti pendekatan ekonomi, bina damai, budaya, dan sosial belum banyak dan perlu semakin banyak didorong untuk dilakukan.
Aspek lokalitas juga belum muncul kuat di RAD PE. Padahal pendekatan ini penting mengingat kebudayaan bukan sekedar kata benda melainkan kata kerja yang erat kaitannya dengan kegiatan manusia, termasuk dalam memprakarsai dan menciptakan toleransi dan harmoni.
Ketiga, Pengarusutamaan Gender sudah disebutkan sebagai salah satu prinsip dalam kebijakan RAN PE serta termuat di bagian penjelasan dan lampiran.
Idealnya PUG perlu diberi alamat jelas, baik pada aspek kebijakan turunan, pembangunan kelembagaan adil gender, hingga mendorong program dan tata kelolanya yang sudah mempertimbangkan kepentingan dan kerentanan perempuan dan laki-laki. Studi ini juga mencatat bahwa program-program berperspektif gender justru banyak diinisiasi oleh OMS yang banyak berperan mendukung Pilar I.
Keempat, Sekber RAN PE telah membangun kolaborasi dan mekanisme kerja di tingkat K/L dan kemitraan dengan OMS, tetapi masih terjadi fragmentasi, bukan hanya di level K/L saja, melainkan juga di tingkat CSO.
Pada tingkat K/L, studi ini mencatat bahwa kerja-kerja implementasi RAN PE sudah cukup banyak dilakukan, tetapi belum optimal terkomunikasikan baik pada internal K/L maupun antar K/L sendiri. Begitu juga di tingkat CSO maupun CSO dengan Pemerintah/Pemerintah Daerah.
Persoalan data masih menjadi tantangan banyak lembaga. Karena banyak hasil riset, dokumen dan produk pengetahuan tidak terkomunikasikan dengan baik bahkan di internal lembaga, sehingga memengaruhi proses penyusunan kebijakan/program hingga program antarinstitusi yang tidak saling bersinergi. BNPT perlu didorong dan dukungan untuk mampu mengorkestrasi harmoni antarkelembagaan, sebagai langkah lanjutan dari membangun sinergi kelembagaan antarinstitusi/kelompok yang selama ini sudah dilakukan.
Kelima, inisiasi program K/L, pemda dan OMS banyak berfokus pada Pilar I (Pencegahan) di mana K/L lebih pada pengembangan instrument, sedangkan OMS berfokus pada program-program penguatan promosi, pengetahuan, kesadaran, dan integrasi sosial.
Banyak K/L telah menunjukkan kinerja positif, seperti melalui inovasi I-KHUB oleh BNPT dan Kemendagri yang mengambil terobosan penting untuk memperkuat aspek perencanaan program dan anggaran daerah. Sedangkan OMS, meski banyak program sudah dikerjakan untuk mendukung RAN PE, masih minim program pemberdayaan ekonomi yang berkorelasi kuat untuk penanggulangan ekstremisme.
Keenam, meski mayoritas informan dan responden memahami tentang kebijakan RAN PE, pengetahuan yang dimiliki masih cukup dangkal dan belum komprehensif sehingga berpengaruh pada capaian implementasi RAN PE, terutama di daerah.
Studi ini mencatat bahwa tantangan utama dalam pencegahan ekstremisme justru ada pada masih lemahnya pengetahuan dan kapasitas para pembuat kebijakan di daerah dalam memahami substansi dan pendekatan pencegahan ekstremisme yang berpengaruh pada program dan kegiatan yang dirancang untuk mendukung implementasi RAN PE. Kapasitas K/L dan pemda yang involutif mempengaruhi percepatan pencapaian RAN PE.
Ketujuh, praktik baik implementasi RAN PE banyak ditemukan di tingkat OMS melalui inisiasi program-program berbasis komunitas, penguatan lokalitas dengan pendekatan kultural.
Upaya mengimplementasikan PUG banyak dilakukan OMS. Mereka melibatkan pemimpin perempuan dalam mendorong lahirnya kebijakan dan program yang berpihak pada kepentingan perempuan. Sehingga untuk lebih berdampak, pemda diharapkan dapat menurunkan kebijakan RAN PE di tingkat lokal hingga inisiasi program khususnya pada Pilar 1.
Faktanya belum ditemukan inisiasi-inisiasi inovatif dan menarik, kecuali karena dorongan OMS yang kuat. Namun, OMS sendiri memiliki limitasi dengan kerentanan cukup tinggi juga, salah satunya tingkat ketergantungan terhadap pendanaan lembaga donor sehingga tidak dapat menjamin keberlanjutan kerja-kerja OMS dalam mengusung isu penanggulangan ekstremisme.
Maka dari itu, studi ini merumuskan rekomendasi pendekatan dan kerangka kerja di antaranya ialah:
Pada Pilar 1: aspek pencegahan. Keberadaan RAN PE mesti berfokus pada pencegahan sehingga mampu membangun sistem ketahanan masyarakat melalui pendekatan ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, lingkungan, dan menciptakan sistem politik yang demokratis serta adil gender dan inklusif. Implementasi program di pilar 1 juga penting memperhatikan aspek lokalitas dan pendekatan bina damai guna membangun kohesi sosial.
Pada Pilar 2: aspek penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban, serta penguatan kerangka legislasi nasional. Selain penting membangun sistem hukum yang kuat dengan pendekatan hukum yang berkeadilan dan berkemanusiaan, RAN PE juga perlu memikirkan pemulihan dampak, khususnya bagi korban, tidak terbatas pada dampak psikologis dan fisik, melainkan juga membangun kembali ketahanan ekonomi dan sosial, khususnya bagi korban.
Selain itu, di samping penegakan hukum bagi pelaku, penting juga membangun kesadaran, kapasitas ekonomi dan sosial, sehingga terjadi perubahan di tingkat pelaku, sebagai bagian dari upaya disengagement, yang bertujuan memutus hubungan, komunikasi, dan keterikatan antara pelaku dengan jaringan terdahulunya dengan memastikan ketersediaan enabling environment bagi upaya pemutusan hubungan tersebut.
Pada Pilar 3: kemitraan dan kerjasama internasional. RAN PE sudah memberi ruang kemitraan dan sinergi antarpihak.
Kendati begitu, hal itu perlu diperluas dan diperkuat sehingga kolaborasi yang partisipatif dan bermakna dapat saling terhubung dan terkonsolidasi bukan hanya bersama OMS, melainkan juga perguruan tinggi, pihak swasta, media dan lembaga internasional termasuk lembaga donor untuk berpartisipasi dalam perencanaan program, implementasi, hingga melakukan studi dan evaluasi atas pelaksanaan RAN PE/RAD PE di tingkat lokal. Selain partisipasi, juga perlu membangun sistem yang transparan dan akuntabel guna membangun rasa percaya dalam kerangka kemitraan. [AR]