Muhammad Akbar Darojat Restu Putra Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Agamawan: Melayani Atau Dilayani Umat?

2 min read

Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah cerpen karangan Kuntowijoyo yang berjudul Burung Kecil Bersarang di Pohon. Cerpen itu menceritakan tentang seorang pengajar ilmu tauhid di universitas yang berjalan kaki menuju masjid untuk mengisi khutbah dan menjadi imam sholat Jumat. Di awal perjalanan, ia melihat riuhnya orang berkerumun di pasar. Entah penjual atau pembeli, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Menjual dagangan, membeli makanan, dan menghitung uang adalah urusan yang mereka kerjakan.

Sempat ketika melewati pasar itu, ia menjaga agar jangan sampai debu yang beterbangan di sana dapat mengenai baju putihnya. Ia sudah bersusah payah berangkat ke masjid dengan baju yang suci dan bersih sehingga tentu kesal bila baju itu kemudian kotor dan bahkan terkena najis.

Melihat ramainya orang berjibun di pasar, ia pun berpikir mengapa mereka tidak bisa meninggalkan waktu beberapa menit saja untuk pergi sholat Jumat. Mengapa mereka masih asyik saja dengan aktivitas jual-beli dan mengabaikan panggilan Tuhan? Padahal, Tuhan yang selama ini memberikan mereka makan, memberikan mereka hidup, dan mencukupi kebutuhan mereka.

Namun, sejurus kemudian ia pun berpikir mengapa selama ini Tuhan justru memberikan mereka hidup hingga dapat beranak-pinak seperti sekarang ini? Mengapa Tuhan tidak mengutuk dan membinasakan mereka saja? Padahal Tuhan memiliki kuasa akan hal itu.

Pikiran itu terus berayun dalam kepalanya bahkan saat ia sudah meninggalkan pasar itu. Pikiran itu hilang ketika ia bertemu dengan seorang anak kecil yang menunggui sebuah pohon. Ia menemui anak itu bertanya apa yang dilakukan di sini. Anak kecil itu menunjuk ke atas dan mengatakan ingin menangkap anak-anak burung yang bersarang di pohon itu.

Baca Juga  Radikalisme No, Moderatisme Yes

Ia menjadi teringat masa kecilnya saat masih seumur bocah itu. Secepat kilat ia pun membantu anak kecil itu untuk mengambil burung yang bersarang di pohon. Ia melepaskan sarungnya dan permadaninya demi bisa memanjat pohon dan menyuruh anak kecil itu mencari sangkar. Burung itu berhasil ia tangkap. Dan induknya kemudian datang juga berhasil ia tangkap setelah dipancing menggunakan kates yang ia pasang di pintu sangkar itu. Anak kecil itu akhirnya senang dan ia menjadi bahagia.

Setelah semua selesai, ia memandang terik matahari yang makin menyengat. Terik itu mengingatkan ia pada tugasnya di hari jumat ini. Merasa bodoh, ia mengenakan sarungnya dan mengambil kembali permadaninya untuk secepat mungkin berjalan menuju masjid. Namun, apa daya ia melihat banyak orang sudah keluar dari masjid. Mereka semua seakan menatap ia dengan tatapan tajam.

Ia berusaha untuk tidak mempedulikannya dan masuk ke masjid untuk melaksanakan sembahyang. Ia mengambil air wudhu dan teringat kenangannya akan pasar, anak kecil, burung di pohon. Saat itulah ia menangis. Bukan menangis sedih tapi karena gembira. Sebab ia rindu pada mereka semua.

Apa yang ingin disampaikan oleh Kuntowijoyo dalam cerpen ini adalah sebuah kritik terhadap agamawan yang apatis dengan kondisi umatnya. Melalui tokoh pengajar ilmu tauhid tersebut, kita disuguhkan potret seorang agamawan yang lebih banyak menghabiskan hidupnya di menara gading. Di sini universitas adalah simbol dari tempat yang jauh dari hiruk-pikuk masyarakat. Dan bagaimana tokoh itu menjaga baju putihnya dari sejumput debu di pasar menunjukkan bahwa ia sama sekali tak mau membaur dengan kehidupan sosial.

Karena sebagaimana ilmu yang didalami, ia menganggap bahwa untuk berhubungan dengan Tuhan seseorang cukup melakukan ibadah saja. Seolah bahwa berbaur dengan orang-orang kecil seperti orang di pasar itu sama saja dengan melalaikan Tuhan.

Baca Juga  Kiai Wahab Hasbullah Dituduh Masyumi sebagai Kiai PKI

Potret agamawan seperti itu agaknya jamak kita temui seperti sekarang ini. Adalah seorang agamawan yang lebih banyak memberikan ceramah di berbagai tempat, mengajar di berbagai institusi keagamaan, dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk beribadah tapi seolah lupa dengan apa yang terjadi pada lingkungan mereka.

Apakah ada yang salah dengan berceramah? Apakah ada yang salah mengajar? Apakah ada yang salah dengan terus-menerus beribadah?  Saya kira tidak. Saya kira ketiga hal tersebut adalah perbuatan baik yang memang harus dilakukan.

Yang menjadi masalah adalah apabila ketiga hal tersebut dianggap satu-satunya jalan menuju Tuhan dan bergumul dengan masyarakat dianggap membuang-buang waktu saja. Padahal, agamawan tak akan pernah ada bila tak ada umat. Sama seperti penguasa yang tak akan pernah ada bila tak ada rakyat. Karena memang agamawan dan umat sama seperti dua sisi koin yang bersisian.

Hanya saja dalam hal ini posisi umat berada di atas agamawan. Apa yang saya bicarakan di sini adalah soal hakikat agamawan. Maksudnya, agamawan adalah seorang yang berani melawan egonya demi hidup berpeluh keringat dengan umatnya dan berani melepaskan kepentingan pribadinya demi memperjuangkan kepentingan umatnya. Singkatnya, agamawan harus menjadi pelayan umat.

Maka, adalah salah besar bila ada seorang agamawan yang justru dilayani umat. Dalam hal ini, ia merasa dengan ketinggian dan kefasihan ilmu agama yang ia miliki umat harus memberikan imbalan. Tak selalu kemudian dalam wujud materiil, melainkan juga imateriil seperti, posisi yang terhormat dan seambrek privelege.

Padahal, tak penting semestinya bagi agamawan bagaimana ia dipandang umatnya. Tak penting pula apakah ia akan mendapatkan sesuatu ketika ia melakukan pekerjaan untuk umat. Karena atas apa yang telah dilakukan, Tuhan sendiri yang akan memandangnya.    

 

Baca Juga  PKI Adalah Ideologi yang Hidup

 

Muhammad Akbar Darojat Restu Putra Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya