Hume dikenal sebagai seorang filsuf empiris yang radikal. Menurutnya, segala pengetahuan yang kita peroleh berasal dari pengalaman indrawi atau yang biasanya disebut dengan persepsi.
Persepsi ini dibagi menjadi dua, yakni kesan-kesan (impression) dan ide. Kesan-kesan ialah sesuatu yang kita sadari langsung saat berhadapan dengan objek. Ide ialah pengetahuan yang kita bentuk setelah memperoleh kesan-kesan.
Misalnya, ide tentang pohon yang berasal dari kesan ranting, daun, batang, akar, dan lainnya. Karena itu, apa yang kita peroleh tak lebih dan tak kurang ialah the bundle of perception (kumpulan-kumpulan persepsi).
Pandangan Hume mengenai ilmu pengetahuan, agama, Tuhan, dan sebagainya pada akhirnya bercorak empiris, tak terkecuali dengan etika. Bagi Hume, persoalan baik dan buruk tidak ditentukan oleh rasionalitas, melainkan perasaan. Perasaan yang dimaksud di sini ialah perasaan nikmat. Maka, tindakan disebut moral apabila mengandung rasa nikmat.
Perasaan dan Simpati
Hume membangun teori etikanya dalam buku A Treatise of Human Nature: Enquiry Concerning the Principles and Essays. Sebagai seorang empiris, ia menyangkal etika yang tidak bertolak pada fakta-fakta dan pengamatan empiris. Segala hal yang kita ketahui berasal dari apa yang telah kita alami dan rasakan.
Tak ada yang namanya nilai objektif atau nilai universal yang terlepas dari perasaaan kita. Pun tak perlu kita mencari dan membuat kriteria moral suatu tindakan. Sebab, hal itu tak termuat dalam pengalaman empiris. Dari proposisi “ada” (is) tak dapat diturunkan menjadi proposisi “seharusnya” (ought).
Hume tak menyangkal bahwa manusia secara alami selalu membuat penilaian terhadap suatu tindakan. Namun, Hume mengingatkan bahwa penilaian itu tak berasal dari rasio, melainkan perasaan nikmat. Suatu tindakan disebut baik apabila memberikan rasa nikmat bagi pelakunya.
Apa yang membuat nikmat kita lakukan? Apa yang membuat rasa sakit kita tinggalkan? Nilai kebermanfaatan yang didasarkan pada rasa nikmat adalah jawabannya. Sehingga, sesuatu dikatakan bernilai karena kita tertarik dan bukan karena sesuatu itu bernilai pada dirinya maka kita tertarik. Misalnya, karena pernah mengalami bahwa bohong itu tidak enak dan merugikan, maka kita menjauhi tindak berbohong.
Yang menarik dari pemikiran Hume ialah bahwa rasa nikmat itu bukan saja untuk diri sendiri, melainkan juga orang lain. Kita akan merasa senang bila orang lain merasa senang, dan kita merasa sengsara bila orang lain menderita.
Pada titik ini, etika Hume bukanlah model etika hedonisme klasik yang bercorak egoistik. Namun, bagaimana kita terdorong untuk memikirkan orang lain dalam bertindak? Jawabannya adalah karena simpati.
Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial. Manusia selalu terdorong untuk mementingkan kebahagiaan orang lain. Manusia juga selalu terdorong untuk menjunjung tinggi kesejahteraan kelompok, dan ini berwujud dalam bentuk simpati.
Untuk menjelaskan ini, Hume memberikan contoh mengenai keadilan. Kita dapat menyetujui keadilan—walau terkadang bertentangan dengan nikmat individual kita—karena selain berdasarkan pembiasaan atas aturan-aturan, juga berdasarkan perasaan alami untuk mementingkan kesejahteraan orang lain. Dengan ini, kita seolah berkewajiban untuk menyetujui keadilan.
Tanggapan atas Etika Hume
Hume benar, dalam arti tertentu, bahwa pengalaman dapat mengantarkan kita pada pengetahuan etis. Karena dibohongi, dibenci, atau dihina tidak enak, maka kita menghindari perbuatan demikian.
Hume juga memperhatikan kesejahteraan orang lain dan tak hanya mementingkan diri sendiri. Melalui simpati yang bersifat taken for granted, manusia bisa dan harus bisa memikirkan kebahagiaan orang lain dan mencukur egoisme diri.
Namun, etika Hume mengandung beberapa kecacatan yang patut dijelaskan di sini. Pertama, lenyapnya unsur normatif dalam etika. Hume percaya bahwa etika harus dikembalikan pada fakta-fakta dan pengamatan empiris. Persoalan baik dan buruk tak bisa dilacak dari faktor-faktor yang nonempiris. Dari pengalaman itulah manusia merasakan sentimen moral dan bukan atas dasar analisis rasio.
Yang perlu diteliti dan dianalisis dengan begitu ialah perasaan manusia. Kelak gagasan tersebut diadopsi oleh emotivisme yang dianut oleh banyak etikus analitis generasi pertama. Emotivisme berargumen bahwa tak ada penilaian normatif (baik dan buruk) dalam etika mengingat semuanya dikembalikan pada perasaaan subjektif manusia. Lantas, Ludwig Wittgeinstein menggebuk emotivisme karena kewajiban moral dan tindakan mana yang patut bagi manusia tak dapat dipikirkan lagi.
Kedua, baik dan buruk tidak selalu terkait dengan rasa nikmat. Hume mengatakan bahwa apa yang kita rasa nikmat kita lakukan dan apa yang kita rasa tidak nikmat kita tinggalkan. Nilai kebermanfaatan perbuatan dikembalikan pada rasa nikmat.
Kita perlu bertanya di sini: apakah perbuatan etis selalu berhubungan dengan rasa nikmat dan bermanfaat? Apakah orang yang mengorbankan dirinya demi kemerdekaan bangsa tidak disebut perbuatan etis? Apakah orang yang mengatakan kebenaran tanpa peduli marabahaya yang akan menimpa juga tidak disebut perbuatan etis? Inilah kelemahan etika yang didasarkan atas perasaan nikmat.
Ketiga, moralitas bukanlah masalah perasaan. Saya perlu menghajar Hume di sini dengan mengatakan bahwa moralitas bukanlah urusan mengenai perasaan, mengingat ia bersifat subjektif (tak ada benar atau salah), sehingga tak bisa diukur secara objektif.
Etika berbicara tentang mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang buruk secara objektif. Karenanya, ia berurusan dengan rasio dan rasionalitas. [AR]