Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Selayang Pemikiran John Hick mengenai Pluralisme Agama

2 min read

pluralisme john hick

John Hick, seorang filsuf agama terkemuka, mengembangkan kerangka pandangan yang berbeda dan berpengaruh untuk memahami pluralisme agama. Pemikirannya menjadi pusat perdebatan mengenai hakikat dan validitas keragaman agama di dunia kontemporer.

Pendekatan Hick berakar pada pandangan mendalam terhadap gagasan bahwa agama-agama besar di dunia, meskipun memiliki perbedaan doktrinal, merupakan respons yang dikondisikan secara kultural terhadap realitas utama yang sama. Ide pokok semacam ini diartikulasikan oleh Hick dalam pelbagai karyanya terutama An Interpretation of Religion.

Perjalanan Hick menuju pluralisme agama bersifat sangat pribadi dan intelektual. Awalnya ia seorang Kristen evangelis, dan pandangannya berkembang melalui keterlibatan ekstensif dengan tradisi agama lain dan refleksi filosofis.

Hal ini didorong oleh pengalamannya dalam konteks multi-agama dan tumbuhnya keyakinan bahwa klaim eksklusif atas tradisinya sendiri tidak dapat menjelaskan realitas hidup dan pengalaman spiritual penganut agama lain secara memadai.

Inti dari hipotesis pemikiran pluralisme Hick adalah perbedaan antara Yang Nyata (the Real) an sich (Yang Nyata itu sendiri) dan Yang Nyata yang dialami secara manusiawi (Yang Nyata menurut pandangan kita).

Hick meminjam dan mengadaptasi gagasan Immanuel Kant tentang noumena (benda itu sendiri) dan fenomenal (benda yang terlihat di mata kita). Dalam kerangka berpikir Hick, Yang Nyata an sich adalah realitas tertinggi, yang melampaui seluruh konseptualisasi dan kategorisasi manusia.

Realitas tertinggi ini berada di luar pemahaman manusia dan dialami secara berbeda melalui kacamata berbagai tradisi keagamaan. Bagi Hick, agama-agama besar di dunia merupakan respons terhadap realitas akhir yang sama, tetapi respons ini dibentuk dan dibungkus oleh konteks budaya dan sejarah yang beragam.

Oleh karena itu, Tuhan dari berbagai agama—baik yang dipahami sebagai dewa-dewa personal, kekuatan-kekuatan impersonal, atau prinsip-prinsip transenden—semuanya merupakan ikatan autentik dengan Yang Nyata, meskipun dalam berbagai bentuk dan manifestasi.

Baca Juga  Omnibus Agamawan Perlu Untuk Omnibus Law

Dalam hal ini, epistemologi Hick sangat dipengaruhi oleh pemahamannya tentang hakikat pengalaman keagamaan. Ia berpendapat bahwa semua pengalaman keagamaan dibentuk oleh kerangka penafsiran yang berdasarkan budaya dan sejarah.

Artinya, penganut agama yang berbeda memahami dan menafsirkan perjumpaan mereka dengan Yang Nyata melalui skema konseptual yang tersedia dalam tradisi mereka. Hick mengakui bahwa gagasan ini mungkin dipandang relativistik, tetapi ia membantahnya dengan menekankan inti umum transformasi etika di berbagai agama.

Ia berpendapat bahwa pengalaman keagamaan yang autentik membawa hasil moral yang serupa: transendensi diri, kasih sayang, keadilan, dan cinta. Transformasi etis semacam ini, yang disebut Hick sebagai efek “menyelamatkan”, merupakan kriteria utama untuk dapat mengevaluasi keaslian pengalaman keagamaan lintas tradisi.

Kendati demikian, pluralisme Hick mendapat sejumlah kritik, baik dari dalam maupun luar komunitas agama. Beberapa kritikus berargumentasi bahwa posisinya melemahkan kekhasan masing-masing agama dengan mereduksi klaim kebenaran unik agama-agama tersebut menjadi sekadar tanggapan yang dikondisikan secara kultural mengenai realitas utama yang sama.

Hal itu, menurut mereka, melemahkan kekhususan dan integritas keyakinan dan praktik keagamaan. Sebagai tanggapannya, Hick berargumen bahwa mengakui sifat parsial dan terkondisi dari semua pengetahuan agama tidak meniadakan validitas atau kedalaman tradisi tertentu.

Sebaliknya, hal ini menuntut kerendahan hati dan keterbukaan terhadap wawasan orang lain. Ia menegaskan, pendekatan ini tidak menghapus perbedaan, melainkan malah mendorong dialog dan saling memperkaya antaragama.

Kritikus lain, khususnya dari perspektif evangelis Kristen, berpendapat bahwa pluralisme Hick bertentangan dengan klaim kebenaran eksklusif yang penting dalam agama Kristen, seperti kepercayaan akan peran unik Yesus Kristus sebagai penyelamat.

Hick menanggapinya dengan menantang gagasan Tuhan yang penuh kasih dan adil hanyalah membatasi keselamatan bagi penganut satu tradisi agama saja. Ia berpendapat bahwa pandangan seperti itu tidak sesuai dengan sifat-sifat prinsipiil Tuhan, yaitu cinta dan keadilan.

Baca Juga  Keberagaman dalam Era Kelaziman Baru

Kontribusi pemikiran Hick terhadap diskursus filsafat agama dan teologi mempunyai dampak besar pada dialog antaragama dan studi akademis agama-agama. Hipotesis pemikiran pluralismenya telah menyumbangkan landasan yang kuat untuk memahami dan menghargai keragaman agama tanpa terjerumus ke dalam relativisme atau sinkretisme.

Hal ini mendorong para akademisi dan praktisi untuk mengeksplorasi persamaan dan perbedaan antaragama dalam semangat rasa hormat dan keterbukaan satu sama lain. Selain itu, karya Hick telah memengaruhi diskusi kontemporer mengenai toleransi beragama dan hidup berdampingan di kampung global (global village).

Penekanannya pada transformasi etika sebagai tujuan bersama lintas agama sejalan dengan upaya modern untuk menumbuhkan perdamaian dan saling pengertian di antara komunitas agama yang beragam. Secara sepintas, tampak bahwa pluralisme agama John Hick menawarkan pendekatan yang menarik dan bijaksana terhadap tantangan keberagaman agama manusia kontemporer.

Dengan menyatakan bahwa semua agama besar merupakan respons yang dimediasi secara kultural mengenai realitas tertinggi yang sama, ia memberikan kerangka berpikir yang menghormati kekhasan masing-masing tradisi sambil mendorong dialog dan refleksi mengenai hakikat kebenaran agama dan kemungkinan saling pengertian di dunia yang kini semakin saling terhubung.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com