Filsafat, sains, dan agama adalah tiga hal yang sudah jamak kita dengar, entah itu di sekolah, universitas, atau tempat lain. Ketakasingan tersebut tak lain dan tak bukan karena mereka menjadi alat yang krusial bagi konstelasi kehidupan manusia. Dengan kata lain, secara apriori, mereka merupakan entitas yang melekat dan tak boleh dipisahkan dari kehidupan manusia.
Filsafat membuat manusia dapat menuju kebenaran atau kebijaksanaan hidup. Melalui sains, seseorang dapat menemukan kebenaran objektif dan ilmiah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dan terakhir adalah agama yang—selain dapat membuat jiwa manusia yang sebelumnya gersang menjadi terang, juga—dapat mengarahkan manusia menuju kebenaran akan Yang Akhir atau Yang Absolut.
Oleh karena itu, tujuan dari filsafat, sains, dan agama pada hakikatnya ialah berusaha mencapai kebenaran. Namun, mereka memiliki epistemologi dan metodologi yang distingtif untuk melaksanakan tugas mulia itu.
Filsafat memompa rasio atau akal budi secara radikal (sampai ke akar-akarnya), sistematis (berurutan dan berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya), integral (menyatu dan tak terpisah), dan universal (menyeluruh) tanpa terikat oleh kungkungan dalam bentuk apa pun.
Agak berbeda dengan filsafat, sains berusaha mencapai kebenaran melalui penyelidikan atau riset, pengalaman empiris, dan eksperimen-eksperimen yang diuji serta diverivikasi. Sains kemudian mengonstruksi teori yang senapas dengan apa yang telah diteliti.
Berbeda dengan filsafat atau sains, agama mendasarkan diri secara total pada wahyu. Wahyu itu dikaji, dipelajari, dipahami, ditafsir sesuai dengan keadaan zaman. Namun, kebenaran wahyu secara taken for granted bersifat definitif, absolut, dan abadi. Artinya, ia tak terbantahkan sampai kapan pun.
Watak tersebut tak mengherankan mengingat wahyu merupakan risalah atau firman Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang juga menjadi pembeda antara agama dengan filsafat atau sains. Kebenaran filsafat dan sains bersifat nisbi dan relatif. Sehingga, kebenaran yang ditelurkan oleh filsafat dan sains tak abadi sepanjang zaman. Kebenaran itu dipakai sejauh masih sesuai dengan keadaan zaman.
Menelisik perbedaan tersebut, bisakah filsafat, sains, dan agama diintegrasikan? Dengan kata lain, bisakah filsafat, sains, dan agama saling mendukung dan saling bekerja sama dalam menjalankan tugasnya? Jawabannya ialah bisa.
Filsafat dapat menggunakan sains sebagai objek materialnya. Karena itu, sains bisa dikaji, dibedah, dikritisi, atau bahkan dipertanyakan oleh filsafat. Lahirlah kemudian apa yang dikenal sebagai “filsafat ilmu pengetahuan”. Filsafat juga membutuhkan sains untuk mengonkretisasikan teori-teorinya yang sering kali abstrak.
Tak boleh dilupakan, filsafat juga kadang kala membutuhkan agama. Tak jarang para filsuf justru menemukan kebenaran melalui wahyu agama. Misalnya, Ibn Arabi yang berhasil merumusukan konsepsi ketuhanan dengan wahdat al-wujud-nya—salah satunya—melalui interpretasi atas kitab suci.
Sementara itu, sains mesti membutuhkan filsafat. Filsafat digunakan oleh sains untuk menyusun metode-metode penyelidikannya agar semakin akurat dan valid dalam menemukan kebenaran. Dalam konteks ini, cabang filsafat seperti logika sangat krusial untuk digunakan.
Di sisi lain, sains juga membutuhkan agama. Watak dari agama adalah percaya bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta ini. Manusia diperbolehkan oleh Tuhan untuk mengambil manfaat dari alam semesta ini. Maka, menjaganya merupakan kewajiban. Namun, manusia yang hanya menggunakan sains dan mengeksklusi agama sering kali mengklaim bahwa ia adalah pemilik alam semesta ini.
Sehingga, tak masalah bila alam semesta ini diekplotasi, diapropriasi, atau diperas demi memuaskan nafsunya. Banjir, tsunami, longsor, dan bencana alam lainnya pasti akan hadir untuk mengoyak-oyak umat manusia.
Maka, dengan menggunakan agama, sains justru dapat memperlakukan alam layaknya makhluk yang mesti dirawat dan dilestarikan. Alam pasti akan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Akhirnya terbentuklah hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.
Penting untuk dicatat bahwa agama juga membutuhkan filsafat dan sains. Filsafat dapat digunakan oleh agama untuk membuktikan keberadaan dan eksistensi Tuhan. Pada titik ini, metafisika yang menjadi cabang filsafat bisa digunakan untuk menghajar argumen-argumen orang yang sudah tidak percaya dengan Tuhan dan juga memperteguh keimanan orang yang beragama.
Agama juga mesti membutuhkan sains untuk mempelajari dan menafsirkan wahyu. Jika menanggalkan sains, maka pemahaman yang muncul sering kali tertutup dan eksklusif. Dampaknya ialah sikap gampang menyalahkan atau mengafirkan orang lain.
Namun, jika agama disertai dengan sains, maka pemahaman yang muncul cenderung terbuka dan inklusif. Sikap saling menghargai dan bertenggang rasa terhadap orang lain kemudian muncul. Penafsiran wahyu yang sarat dengan tilikan sains juga akan membawa seseorang menyentuh ajaran-ajaran dan tanda-tanda Tuhan. Orang yang beragama akhirnya dapat mengetahui perintah dan larangan Tuhan dengan baik dan benar.
Sehingga, mempertentangkan antara filsafat, sains, dan agama adalah hal yang membuang waktu-waktu saja. Ketiganya sama-sama memiliki fungsi untuk menunjang kehidupan yang lebih baik. Tak salah lagi, membuang salah satunya tak ubahnya seperti mencabut akar dari sebuah pohon. [AR]