M Fakhru Riza Mahasiswa Magister Universitas Ahmad Dahlan

Islam dan Politik yang Melampaui Sekat-sekat Primordialisme

2 min read

Sosiologi dunia Arab sekitaran Mekah pada abad ke-7 ketika awal Islam muncul merupakan transisi dari masyarakat nomaden menuju masyarakat yang menetap. Pada waktu itu hanya masyarakat badui yang masih berburu dan mengumpul dengan berpindah-pindah tempat dari satu goa ke goa lainnya. Masyarakat lainnya sudah mulai hidup menetap dengan mengembangkan pertanian dan perdagangan.

Pada masa itu, ketika Nabi Muhammad Saw mendapatkan nubuwat di Goa Hiro, masyarakat Mekah mulai menikmati kemakmuran ekonomi dari jual beli hasil pertanian yang lebih pasti setelah meninggalkan kehidupan nomaden yang penuh ketidakpastian. Hasil pertaniannya kemudian dijual ke wilayah luar seperti ke Suriah sebagaimana yang sering Nabi lakukan.

Masyarakat Arab sekitaran Mekah, meskipun sudah mulai hidup menetap, namun formasi sosial masyarakatnya masih hidup berdasar kesukuan. Formasi sosial masyarakat Arab di sekitaran Mekah masih berpusat pada suku atau kabilah. Misalnya Nabi Muhammad Saw sendiri sering dikemukakan sebagai bagian dari Bani Hasyim.

Kehidupan masyarakat Arab yang masih berpusat kepada suku dan kabilah inilah yang menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Doktrin dan Peradaban (1992) hendak didobrak oleh Islam yang sedang membawa panji-panji kemodernan. Kehidupan sosial dan politik yang masih penuh primordialisme kemudian digantikan dengan universalisme.

Spirit universalisme peradaban Islam yang ditawarkan Nabi Muhammad Saw ini tampak dari Piagam Madinah yang isinya hendak membentuk tatanan politik yang universal dengan mengakomodir semua latar belakang agama. Pada saat itu Nabi membentuk tatanan politik dengan tetap menghormati hak-hak kebebasan beragama kepada kaum Nasrani dan Yahudi.

Spirit politik yang melampaui sekat-sekat primordialisme agama dan suku ini juga memiliki contoh dari masa keemasan Islam. Pada masa Dinasti Abasiyah misalnya, pemerintahan Islam melibatkan orang-orang dari kalangan non muslim untuk menjadi bagian dari mesin birokrasi pemerintahannya.

Baca Juga  Tradisi Ramadan di Masjid Jogokariyan Yogyakarta

Contoh lainnya lagi tampak pada banyaknya kalangan non muslim yang dilibatkan dalam proyek penerjemahan karya-karya besar filusuf Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab. Pada waktu itu teks-teks filsafat Plato dan Aristoteles turut diterjemahkan agar kaum muslim juga mau untuk menyerap unsur-unsur terbaik dari budaya di luar Islam.

Adapun konteks Indonesia sendiri juga memiliki pengalaman politik kaum muslim yang menarik. Kaum muslim di Indonesia telah berhasil merumuskan konstitusi politik yang universal dengan melampaui sekat-sekat agama dan suku.

Butiran-butiran yang ada dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 menyerap unsur-unsur universal dari kearifan ajaran Islam dan agama-agama lain tanpa terjebak kepada formalisme ajaran agama. Pancasila meskipun tidak menjadikan ajaran agama secara formal menjadi dasar negara, namun nafas di dalamnya tidak bisa kita nafikan merupakan spirit dari ajaran agama.

Pengalaman politik kaum muslim di Indonesia ini tampaknya layak untuk disoldorkan sebagai proposal pemikiran politik kebangsaan yang layak untuk dibagikan kepada seluruh umat Islam di dunia. Pada saat ini, banyak masyarakat muslim yang masih memiliki kegamangan dan kebingungan dalam membentuk tatanan politik yang dapat melampaui sekat-sekat agama dan suku.

Salah satu contoh nyatanya adalah Afghanistan. Beberapa waktu yang lalu kalangan muslim dari suku mayoritas Pastun membentuk tatanan politik yang menjadikan Islam dengan variasi etnis Pastun menjadi konstitusi baru Afghanistan. Konstitusi politik ini sangat diskriminatif terhadap kelompok aliran Islam lain maupun agama lain yang hidup di sana.

Konstitusi politik Afghanistan yang masih primordialis ini setiap hari telah menimbulkan banyak kasus diskriminasi dan intoleransi  kepada kelompok lain. Kaum Syi’ah dan kaum Sunni dari etnis lain di sana merupakan kalangan minoritas yang menjadi korban dari konstitusi negara Afghanistan yang masih primordialis.

Baca Juga  Pendekatan Aswaja terhadap Literasi Digital: Menjaga Kesantunan di Media Sosial

Adapun Afghanistan bukanlah contoh satu-satunya, masih banyak negara lain yang menjadikan ajaran Islam secara formal untuk menjadi dasar negara. Misalnya Iran, Saudi Arabia, Qatar, Kuwait, Oman dan banyak negara lain.

Jika pada masa Nabi Muhammad Saw yang sudah menginisiasi modernisme politik dengan membuat konstitusi politik yang melampaui sekat-sekat agama dan suku. Berbagai kasus yang telah disebutkan di atas dapat kita nilai sebagai kemunduran dari praktik politik di dunia Islam.

Namun, fakta yang menyedihkan bahwa masih banyak negara yang justru memunggungi contoh spirit modernisasi yang sudah dicontohkan Nabi harus kita terima. Adapun yang bisa kita upayakan adalah dengan memberikan tawaran proposal politik yang universal dengan melampaui sekat-sekat primordialisme sebagaimana yang sudah kita praktikkan di Indonesia. [AA]

M Fakhru Riza Mahasiswa Magister Universitas Ahmad Dahlan