Af’idah Nadlilatul Ummah Mahasiswi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dengan program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Misi Profetik Nabi Perspektif Al-Qur’an

2 min read

Salah satu pandangan mendasar dalam Al-Qur’an bahwa Nabi adalah manusia biasa. Dalam diri manusia ada potensi kreatif, menurut beberapa filosof memungkinkan mereka untuk mencapai level kenabian. Sehingga, realitas kenabian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang esensial dalam sejarah kemanusiaan. Pandangan semacam ini jelas mereduksi fungsi dan peran Nabi dalam kehidupan manusia. Sosok Nabi yang dianggap sebagai manusia pilihan Tuhan, tidak lagi memiliki privilege.

Opini yang populer di masyarakat selama ini adalah menganggap bahwa Nabi adalah manusia terbaik yang dipilih Tuhan untuk menerima wahyu, namun tidak memiliki tanggung jawab untuk membumikan wahyu pada umatnya. Selain melepaskan Nabi dari tannggung jawab sosial, opini tersebut juga mengandung gagasan yang kurang meyakinkan. Jika membimbing umat menjadi tugas dari setiap individu pengikut agama tauhid, lantas bagaimana mungkin kewajiban itu lepas dari fungsi seorang Nabi?.

Seorang Nabi tidak mempunyai kewajiban untuk memandu dan membimbing umatnya menuju jalan kebenaran dan kebaikan. Tanggungjawab sosial diletakkan sepenuhnya pada pundak Rasul. Sebab, Rasul dipandang sebagai manusia pilihan Tuhan yang menerima wahyu sekaligus berkewajiban untuk menyampaikan kepada manusia. Jika demikian, lalu apa nilai dan fungsi dari wahyu itu sendiri bagi kepentingan sosial apabila hanya diletakkan dalam dimensi individu?.

Secara terminologi, Nabi dan Rasul seringkali dipertukarkan, seakan-akan tidak ada perbedaan antara keduanya. Apabila kita berpijak pada opini yang menyatakan bahwa posisi Rasul lebih tinggi dari Nabi, maka berdasarkan etika penyebutannya seharusnya 25 Rasul bukan 25 Nabi. Sebagaimana dalam QS. Al-Hajj [22]: 52 yang mengajarkan etika penyebutan, bahwa ketika lafadz Rasul disebut bersama-sama dengan lafadz Nabi dalam satu ayat, maka kata Rasul disebut terlebih dahulu.

Baca Juga  Kedewasaan dalam Beragama dan Realitanya

Para mufassir melihat bahwa Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan. Konsep kenabian dipahami sebagai suatu karunia Ilahi. Kenabian tidak bisa diperoleh melalui usaha, seperti memperbanyak ibadah dan olah batin, dan bukan pula suatu hal yang dapat diwariskan. Pandangan ini berusaha memposisikan Nabi sebagai manusia istimewa yang sanggup menerima beban berat dan memiliki kapasitas lebih. Asusmsi dasar ini barangkali berangkat dari rasionalitas bahwa tidak semua orang mampu  membawa risalah kenabian dan kerasulan.

Materi wahyu yang membedakan antara Nabi dan Rasul adalah syariat yang diterimanya. Rasul membawa syariat baru pada umat yang dibimbingnya atau membawa misi khusus pada umat baru (kafir atau musyrik). Sedangkan Nabi, menjalankan syariat yang telah ada sebelumnya pada umat yang lalai. Singkatnya, apabila muatan wahyu yang diterimanya baru, maka disebut Rasul, dan apabila muatan wahyu hanya untuk meneguhkan syariat yang dibawa oleh Rasul sebelumnya , maka disebut Nabi.

Secara umum misi kenabian dan kerasulan sama yaitu tabligh atau menyampaikan pesan wahyu yang diterima kepada umatnya. Sebagaimana dalam QS. Al-Maidah [5]: 65, adalah sebuah karunia bagi semua utusan Allah untuk menyampaikan pesan yang diterimanya. Tabligh merupakan komitmen sosial Nabi dan Rasul serta pengaplikasian dari sifat amanah. Tidak ada Nabi maupun Rasul yang mengabaikan pesan yang diterimanya. ‘Ali As-Shabuni menyebutkan misi kenabian sebagai berikut:

Pertama, tugas utama seorang Nabi adalah mengenalkan makhluk (manusia) kepada Tuhannya, beriman kepada keesaan-Nya dan beribadah kepad-Nya. Tugas ini dimuat dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 25 dan QS. An-Nahl [16]: 36. Kedua, menyampaikan perintah dan larangan (syariat) yang berlaku bagi manusia, seperti dalam QS. Al-Ahzab [33]: 39. Ketiga, membimbing dan menunjukkan jalan kebenaran, seperti dalam QS. Ibrahim [14]: 5.

Baca Juga  Larangan Perundungan dalam QS. al-Hujurat Ayat 11

Keempat, menjadi role model bagi umatnya, seperti dalam QS. Al-Ahzab [33]: 21. Kelima, mengabarkan tentang asal-usul manusia dan kembalinya manusia, seperti dalam QS. Al-An’am [6]: 130-131. Keenam, mengarahkan manusia pada kehidupan akhirat yang kekal, seperti dalam QS.  Al-‘Ankabut [29]: 64. Ketujuh, menjadi hujjah bagi Allah dalam mengantisipasi klaim orang kafir di akhirat nanti, seperti dalam QS. An-Nisa’ [4]: 165.

Penyebutan misi Nabi dan Rasul cukup banyak menjabarkan konten tugas yang dibawa para Nabi, mencakup peran, strategi dakwah dan tujuan Allah dalam mengutus para Nabi. Tim penyusun Tafsir Maudhu’i Kementrian Agama Republik Indonesia menyebutkan bahwa tugas pokok Nabi dan Rasul adalah tabligh. Nabi maupun Rasul menyampaikan ajaran yang sama, yaitu mengajak umatnya untuk bertauhid, beribadah kepada Allah dan melaksanakan syariat sesuai yang diperintahkan oleh Allah.

Para Ulama membagi proses tabligh menjadi tiga tahap, yaitu tilawah (pembacaan), tazkiyah (pembersihan), dan ta’lim (pembelajaran). Sebagaimana yang termuat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 129 dan 151, QS. Ali ‘Imran [3]: 164, dan QS. Al-Jumu’ah [62]: 2. Sedangkan dalam fungsi atau strategi dakwah para Nabi dan Rasul dibagi menjadi dua, yaitu memberi tabshir, menyampaikan kabar gembira bagi yang melakukan amal saleh, dan indhar, menyampaikan peringatan atau ancaman bagi pelaku keburukan.

Dalam menyampaikan misi kenabian dan kerasulan, para Nabi dan Rasul tidak hanya memberikan pembelajaran kognitif, memahami dan mendalami wahyu yang turun, melainkan juga memperhatikan aspek psikomotorik dan afektif yang ada pada umatnya, sehingga jiwa umatnya tumbuh kesadaran dan keinginan untuk mengaplikasikan wahyu, mulai dari aspek akidah, syariat, dan akhlak. Dengan demikan, para Nabi dan Rasul tidak diperkenankan menggunakan cara kekerasan dan pemaksaan dalam menjalankan misinya.

Baca Juga  Kalung Anti Korona; Fake or Fact?

Kesimpulannya, sejak Nabi dan Rasul pertama hingga terakhir mempunyai risalah yang sama, yaitu mengajak manusia (umatnya) untuk mengesakan Tuhan. Bedanya terletak pada obyek atau materi wahyu yang diterimanya. Sebagai manusia pilihan, para Nabi dan Rasul bertanggungjawab membumikan wahyu sebagai komitmen sosial untuk membimbing umatnya menuju jalan kebenaran dan kebaikan.

Af’idah Nadlilatul Ummah Mahasiswi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dengan program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.