

Dalam hidup ini, tidak semua hal akan berjalan sesuai keinginan. Kadang, kita sudah berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya tetap tidak seperti yang diharapkan. Di situlah ujian terbesar muncul, bukan hanya pada situasinya, tapi pada hati kita sendiri.
Dari itu, saya jadi menyadari, ternyata ikhlas itu bukan hal yang mudah. Ikhlas bukan cuma soal pasrah atau diam tanpa usaha, tapi tentang menerima segala sesuatu yang terjadi dengan hati yang tenang, tanpa menyalahkan keadaan.
Seperti yang pernah dikatakan Viktor E. Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning (1946), “Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri.” Dari situ saya belajar, bahwa keikhlasan justru muncul ketika kita berhenti melawan kenyataan dan mulai berdamai dengannya.
Kadang kita merasa bahwa hidup ini terasa tidak adil. Sebagian orang ada yang bekerja keras tapi tetap saja hasil yang didapat tidak sesuai keinginan; ada juga yang hidupnya nampak “moncer” tanpa perlu banyak usaha. Dari situ saya mulai memahami bahwa b, setiap orang punya ujiannya masing-masing. Cobaan bukan tanda kita gagal, tapi tanda bahwa kita sedang ditempa untuk jadi lebih kuat.
Pew Research Center (2021) melalui hasil surveinya merilis data yang menyatakan bahwa sekitar 67% orang dengan keyakinan spiritual dan sikap ikhlas mengaku hidupnya lebih bahagia, meski sering menghadapi tekanan. Dari situ saya menyadari bahwa ketenangan bukan datang dari banyaknya harta atau pencapaian, tapi dari hati yang bisa menerima.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 juga dijelaskan, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Ayat itu tentu dapat menjadi pegangan bagi setiap muslim saat berada di titik terendah dengan selalu meyakini bahwa Tuhan tidak akan pernah memberi ujian di luar batas kemampuan hambaNya.
Di sisi lain, dari situ kita juga dapat belajar bahwa ikhlas itu bukan berarti berhenti berharap, tapi tahu kapan harus melepaskan. Tidak jarang sebagian orang terlalu ‘ngotot’ untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu yang sebenarnya bukan jatahnya. Karena, pada dasarnya, melepaskan dengan ikhlas justru bentuk cinta yang paling besar: cinta pada diri sendiri, dan pada takdir Tuhan.
Dalam kehidupan sosial, orang yang penuh dengan keikhlasan juga akan menjadi lebih tenang dan jarang dihinggapi oleh sifat iri dengki terhadap sesama. Sebagaimana saya melihatnya pada seorang teman saya teman yang selalu kelihatan bahagia, meski hidupnya engga mudah.
Setelah saya telisik lebih mendalam, ternyata rahasia dibalik ketenangan dan kebahagiaan teman saya ini salah satunya adalah tidak membandingkan dirinya dengan orang lain.
Dari situ saya dapat memahami bahwajika kita ingin mendapat ketenangan dalam hidup, maka yang perlu kita lakukan adalah menerima; menerima bahwa apa yang sudah terjadi itu memang bagian dari perjalanan hidup yang harus dilalui.
Dari semua hal yang saya alami, saya belajar kalau ikhlas itu kunci buat tetap kuat dan tenang. Hidup pasti ada naik turunnya, dan engga semua bisa kita kendalikan. Tapi selama kita bisa nerima dengan hati yang lapang dan tetap berusaha, semuanya akan terasa lebih ringan. Kadang yang kita butuhkan bukan jawaban kenapa ini terjadi, tapi keyakinan bahwa semua ini pasti ada alasannya. Jadi buat saya, ikhlas itu bukan berarti menyerah, tapi cara terbaik buat tetap berjalan meski jalannya berat.
Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syekh Wasil Kediri