Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).

Anti-Islam dan Pembakaran Alquran di Swedia dan Norwegia

3 min read

Beberapa negara Skandinavia di Eropa, terutama Swedia dan Norwegia, sedang menghadapi protes dan tindak kekerasan dari barisan kelompok warganya sang pembenci Islam. Pada Jumat, 29 Agustus 2020, para pelaku protes yang membenci Islam telah melancarkan tindak kekerasan di jalan kota Malmo, kota terbesar ketiga di Swedia, dan akhirnya bentrok dengan pihak kepolisian akibat tindakan pendukung gerakan sayap kanan tersebut merobek Alquran, dan juga seorang politisi anti-Islam yang merupakan pemimpin partai Sayap Kanan Denmark, Rasmus Paludan, dilarang masuk ke kota itu.

Setelah itu, insiden serupa terjadi di Oslo, ibukota Norwegia, pada Sabtu, 30 Agutus 2020. Pawai pelaku protes (demonstran) yang anti-umat Islam telah dikoordinir oleh sebuah grup, yang bernama “Stop Islamisation of Norway” (SIAN), yang bertujuan menghentikan laju Islamisasi di Norwegia.

Pada kasus yang terakhir, kelompok Muslim juga berkumpul sebagai aksi penyeimbang, menabuh genderang sembari melantunkan alunan “no racists in our street” (kurang lebih: tidak boleh ada pelaku rasis di jalan kota kita). Pawai sontak berubah liar dan rusuh setelah seorang anggota perempuan SIAN merobek-robek Alquran dengan jemawa.

Para penegak keamanan bertindak cepat mengamankan massa yang beringas dengan menggunakan gas air mata dan semprotan merica untuk melerai masa dua pihak yang berkonfrontasi. Polisi menangkap 29 pelaku untuk investigasi lebih jauh, pasca-insiden tersebut.

Kasus di atas menjadi entry point tulisan dengan tajuk di atas. Penulis berargumen bahwa Islam di negara Eropa, termasuk Skandinavia, masih dilihat sebagai ancaman peradaban Barat yang sekuler dan migran Muslim minoritas belum bisa berintegrasi dengan nilai dan budaya yang berlaku di negara-negara tersebut.

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Pertama, ia akan menjelaskan sejarah kehadiran dan kondisi Muslim terkini di negara Skandinavia secara umum. Kedua, ia mengulik tantang mengapa anti-Islam menguat di negara Skandinavia. Ketiga, ia menjelaskan dampak Islamophobia di Barat di dunia Muslim dan tawaran membangun tatanan dunia yang manusiawi.

Baca Juga  Covid-19 dan Wujud Empati Kepada Kelompok Work Outside Home

Secara historis, relasi antara Islam dan Eropa, termasuk negara Skandinavia, adalah sudah setua dengan dua peradaban tersebut. Namun, menurut Bassam Tibi (2018) kembalinya Islam ke Eropa kontemporer pada pungkasan abad ke-20 dalam bentuk migrasi global adalah sebuah fenomena yang baru dari sebuah bentuk perjumpaan yang berbeda di masa lampau.

Di masa lampau, Eropa pernah berutang peradaban Islam yang maju, dan juga persentuhan dengan dominasi kekhalifahan Turki Utsmani. Namun, saat ini cukup berbeda, Islam cenderung terbelakang dan Barat mengalami kemajuan peradaban.

Di antara banyak hal, terdapat sebuah perubahan demografik yang luar biasa di Eropa hari ini dalam kompisisi populasi, dengan mana ada sebuah segmen pertubuhan Islam yang membuat para Islamis menetapkan agenda mereka untuk proyek Islamisasi Eropa. Karenanya, dalam hal ini para Islamis tidak sesuai dengan integrasi Muslim migran yang radikal di Eropa.

Menurut Tibi lebih jauh, pertumbuhan angka diaspora Islam di Barat, khususnya di wilayah Eropa, adalah sebuah fenomena yang tidak saja berkorelasi dengan sebuah perubahan komposisi populasi Eropa, tetapi juga menantang dan mengancam identitas Eropa yang dikenal sebagai peradaban sekuler.

Para imigran Muslim membawa serta agama mereka ke Eropa yang sekuler, dalam bahasa sosiolog Max Weber, mengalami proses “pudarnya pesona dunia” (disenchantment of the world).

Dalam hal ini, Eropa tidak saja sebagai sebuah ‘medan pertempuran’ untuk Islamisme, ia juga sebagai ‘medan perang’ bagi kembalinya agama dalam sebuah konflik yang terbit dari klaim baru mengenai politik agama di ruang publik. Inilah yang membangkitkan sekelompok warga di Eropa yang memandang Islam sebagai ancaman terhadap peradaban Barat.

Akar kebangkitan Islamophobia di Eropa bukanlah sesuatu yang muncul dalam ruang vacuum sejarah. Kebencian terhadap Islam di bumi Eropa ditegakkan di atas taktik ‘melupakan’: sebuah penghapusan jejak sejarah (Edward E. Curtis IV). Penghapusan jejak sejarah ini terlihat pada ideologi Anders Breivik-teroris Norwegia, yang membuh 77 jiwa pada tahun 2011 dan Brent Tarrant, pelaku pembunuhan 50 Muslim di Christchurch, Selandia Baru.

Baca Juga  Benarkah Agama Mandul Hadapi Virus Korona?

Penghapusan sejarah yang berdasar pada asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang asing bagi Barat. Akibatnya, terjadi pelupaan yang mengarah pada kegilaan yang sama menginspirasi Don Quixote untuk bertarung dengan kincir angin yang diimajinasikan sebagai raksasa di era Spanyol katolik paska-Reconquista, di mana semua orang mengangkat tangan seraya bersumpah bahwa pengaruh budaya Yahudi dan Muslim telah dimusnahkan.

Dewasa ini Islam hadir kembali di Eropa melalui diasporanya di Eropa, di mana tidak saja mereka yang datang ke Eropa untuk mencari ekonomi yang lebih baik (Grillo), tetapi juga mereka sebagiannya adalah para Islamis yang teraniaya di negaranya yang mencari suaka dan mendapatkannya.

Para Islamis ini telah dan sedang mempolitisasi Islam ke dalam sebuah ideologi dalam mimpi mereka tentang Islamisasi global. Bagi Tibi, inilah sebuah mimpi putus asa kaum Islamis untuk kembali kepada sejarah; sebuah titik kembali kepada dominasi dan kejayaan masa lalu Islam.

Dalam hal ini, Francis Fukuyama, yang secara lugas menjelaskan kebangkitan Islamisme di Eropa, menyatakan bahwa tantangan jangka panjang yang paling serius yang dihadapi oleh demokrasi liberal hari ini adalah kekhawatiran akan integrasi minoritas imigran khususnya dari negara-negara Muslim sebagai warga demokrasi yang pluralistik.

Dampak kasus kebencian terhadap Islam di Skandinavia membuat situasi, sebagaimana yang disebut Tibi, konflik peradaban yang diliputi kompetisi antara Eropanisasi Islam (Europeanizing Islam) dan Islamisasi Eropa (the Islamization of Europe), yang pada level normative dipandu oleh sebuah keinginan untuk menjembatani pencegahan konflik peradaban dalam satu pendekatan yang disebut dialog resolusi konflik atau juga dialog antar agama.

Di Turki, Indonesia dan sejumlah negara lain telah mengutuk kasus yang terjadi di Swedia dan Norwegia. Memang, kita tidak bisa menutup mata akan adanya warga Eropa yang mengidap Islamophobia, namun pada saat yang sama kita tidak menutup mata akan adanya barisan Islamis yang memperjuangkan Islamisasi di Eropa.

Baca Juga  Mendedah Problem Plagiarisme Dalam Dunia Pendidikan

Pungkasannya, insiden di Swedia dan Norwegia tidaklah mencerminkan seluruh warga Eropa menganut ketakutan akan Islam (Islamofobia) yang akan merubah peradaban Barat yang sekuler dengan peradaban Islam, yang bertujuan sebagai kebangkitan dominasi Islam global sebagai mimpi utopis para Islamis radikal.

Sebagian besar warga Eropa, termasuk di Austria pusat KAICIID, sebuah organisasi yang mempromosikan dialog internasional untuk perdamaian, tegak untuk mewujudkan sebuah dunia yang lebih manusiawi, yang menjadi rumah bagi lintas-perdaban yang berbeda-beda.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip Tibi (2018), yang menulis bahwa ‘Muslim dan Eropa mungkin tidak berbagi gen yang sama, namun dari rekaman sejarah mereka membagi bahasa humanisme yang universal’ sehinga yang terjadi bukan Eropanisasi Islam atau Islamisasi Eropa, tetapi sebuah a European Islam (Euro-Islam) sebagai bagian dan berkat dari humanisme lintas-peradaban. [MZ]

Ridwan Al-Makassary Pegiat Perdamaian Indonesia, yang pernah mengikuti “Study of the United States Institute on Pluralism and Public Presence” di University of California Santa Barbara (UCSB) USA dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI).