Sejak pertengahan abad 19 M, Raja-raja Bolaang Mongondow beragama Islam. Sebagai sebuah kerajaan besar dan eksis di semenanjung utara Sulawesi, jauh sebelumnya wilayah ini sebenarnya sudah menjadi target penyebaran Islam oleh jaringan ulama dari Gorontalo, bahkan diketahui kalau Kesultanan Ternate juga pernah mengupayakan Islamisasi di daerah ini pada kurun 16-17 M.
Namun upaya Islamisasi di Bolaang Mongondow belum bisa berjalan masif, sebab kuatnya pengaruh Kristen Katolik dan paham agama tradisional di wilayah ini. Barulah pada abad 19 M, penyebaran Islam mulai memperlihatkan titik terangnya. Salah satu faktor yang membuat Islam semakin berkembang adalah ke-Islaman dari raja dan keluarganya.
Setelah Raja Jakobus Manuel Manoppo (1833-1858) memeluk Islam pada pertengahan abad 19 M, sekitar 1848. Sejak itu, Islam menjadi agama raja-raja selanjutnya. Dan Islamisasi di daerah ini juga semakin masif.
Hal ini sejalan dengan penjelasan Paul van Lunteren dalam: Beeldvormingen over Moslims bij de Zendelingen van het Nederlands Zendingsgenootschap in Bolaang Mongondow (Noord-Celebes), 1905-1950, bahwa saat raja dan keluarganya memeluk Islam, maka pengaruh Islam pun semakin menguat, dan pengambilan kepercayaan masyarakat untuk masuk Islam menjadi lebih mudah.
Di masa Raja Datu Cornelis Manoppo (Raja D. C. Manoppo) yang secara resmi dilantik pada 1905 (namun sudah mulai memimpin sejak 1901) hingga 1927, terdapat regulasi baru dalam penataan lipu’ (desa).
Dalam buku Dinamika Islamisasi di Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, Abad ke-17-20, disusun Hamri Manoppo, dkk., dijelaskan bahwa hingga memasuki abad 20 M tata lipung, yang kemudian diganti namanya menjadi lipu’ (desa), belum teratur. Ketika Raja D. C. Manoppo menjabat, maka dirinya mengeluarkan regulasi berupa penataan lipu’ (desa).
Posisi Masjid dalam Tata Desa di Bolaang Mongondow
Dalam hal ini, Islam yang telah menjadi agama raja serta keluarganya, dan juga sudah merupakan agama mayoritas masyarakat, ikut mendapat sentuhan dalam penataan desa. Di mana, salah satu poin dalam tata desa oleh Raja D. C. Manoppo adalah: tiap-tiap lipu’ (desa) diwajibkan membangun lapangan olahraga, masigi (masjid), dan bobakidan (balai desa), serta pembangunannya dilakukan dengan tidak berjauhan satu sama lain.
Waktu itu, Islam sudah menjadi agama mayoritas di Bolaang Mongondow, sehingga setiap desa diwajibkan membangun masjid. Pembangunannya pun tidak boleh berjauhan dengan lapangan dan balai desa, sehingga masjid tidak jauh dari tempat keramaian.
Lapangan olahraga tidak hanya sekadar tempat berolahraga, namun juga layaknya alun-alun yang menjadi tempat nongkrongnya masyarakat. Dan balai desa merupakan tempat diadakannya pertemuan atau pelaksanaan dari berbagai kegiatan desa. Jadi secara tidak langsung ketika masjid diatur harus berdekatan dengan lapangan dan balai desa, itu menggambarkan kalau keseharian masyarakat muslim Bolaang Mongondow tidak lepas dari masjid, sehingga pembangunannya harus berdekatan dengan pusat-pusat keramaian.
Itulah alasan kebanyakan masjid di desa-desa di Bolaang Mongondow Raya pasti berdekatan dengan lapangan olahraga dan balai desa.
Regulasi Raja D. C. Manoppo ini agaknya mirip dengan taktik dakwah para wali di Jawa, yang membangun masjid di dekat alun-alun agar tidak jauh dari keramaian. Sehingga ketika waktu salat tiba, masyarakat bisa segera melaksanakan salat.
Dalam tulisannya Paul van Lunteren, dijelaskan bahwa pada tahun 1907, Raja D. C. Manoppo melakukan perjalanan ke Jawa. Bisa jadi kalau dari perjalanan itu beliau mendapat inspirasi dalam hal tata lipu’ (desa) di mana masjid berdekatan dengan alun-alun.
Dugaan ini juga semakin diperkuat dengan penjelasan dalam tulisannya A. C. Lopez: Conversion and Colonialism: Islam and Christianity in North Sulawesi, c. 1700-1900, yang menyatakan kalau sekembalinya Raja D. C. Manoppo dari Jawa: he also urged his subordinates to facilitate the building of more Islamic prayer houses (dia juga memerintahkan para bawahannya untuk memfasilitasi pembangunan rumah-rumah ibadah agama Islam lebih banyak).
Gaya Masjid di Bolaang Mongondow
Sebelumnya, sejak 1867 pembangunan-pembangunan masjid sudah dilakukan, namun baru di wilayah sekitar Bolaang dan Kotobangon (dalam tulisannya A. C. Lopez di dalam tanda kurung dia menyebut juga Kotabunan, Bolaang Mongondow Timur). Kotobangon dan sekitarnya, serta Bolaang, termasuk yang awal-awal menerima Islam. Di mana, Bolaang dan sekitarnya (daerah pesisir utara) banyak mendapat pengaruh Islam pasca Raja Jakobus Manuel Manoppo menjadi muslim. Kotobangon serta Motoboi Kecil dan Molinow (daerah pedalaman) merupakan wilayah garapan dari jaringan ulama Gorontalo yang dipimpin Imam Tueko.
Pembangunan masjid semakin banyak dilakukan di berbagai penjuru Bolaang Mongondow sejak masa Raja D. C. Manoppo. Saya belum tahu pasti bagaimana tepatnya gaya masjid-masjid di Bolaang Mongondow pada masa awal-awal Islam di daerah ini. Namun, saati ini bentuk masjid di Bolaang Mongondow sangat beragam. Dari yang menggunakan atap kubah, limas segi empat bersusun–khas masjid Jawa, dan ada juga yang memadukan keduanya–atapnya berbentuk limas segi empat dan di ujungnya dipasangkan kubah.
Kalau mengacu dari beberapa arsip sejarah berupa foto masjid di Bolaang Mongondow yang saya dapati, masjid-masjid tua di daerah ini berbentuk bujur sangkar, dan menggunakan atap limas segi empat bertumpang dua. Misalnya, gambar yang menunjukkan masjid di Desa Bongkudai, Kab. Bolaang Mongondow Timur, sekitar 1922, memperlihatkan masjid dengan arsitektur bentuk persegi dan atap limas segi empat bertumpang dua.
Demikian juga foto masjid di Kopandakan, Kota Kotamobagu, sekitar tahun 1935, terlihat berbentuk bujur sangkar, serta beratap limas bertumpang dua. Dan hingga saat ini bentuk Masjid al-Huda Desa Kopandakan I, yang diketahui sebagai masjid tertua di Kota Kotamobagu, masih mempertahankan arsitektur awalnya.
Arsitektur masjid yang demikian tergolong masjid kuno Nusantara khususnya Jawa. Sebagaimana yang dijelaskan Novita Siswayanti dalam artikelnya Akulturasi Budaya pada Arsitektur Masjid Sunan Giri, bahwa, “Masjid-masjid kuno di Indonesia khususnya Jawa menunjukkan keistimewaan dalam denah yang menunjukkan bujur sangkar dengan pondasi yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang dua, tiga, atau lebih….”
Selanjutnya: Perkembangan Masjid dan Penyebaran … (2)