Rizky Nur Lilis Rochmatin Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Melihat Ujaran Kebencian Ceramah Habib Bahar Bin Smith dari Teori Neopragmatisme

4 min read

Habib Bahar bin Smith merupakan pendiri sekaligus pemimpin majelis Rasulullah yang berkantor pusat di Pondok Aren, Tanggerang Selatan. Beliau juga mendirikan Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin di Kemang, Bogor.

Bersama para jemaahnya di majelis pembela Rasulullah, Habib Bahar tercatat pernah memobilisasi jemaahnya untuk merazia tempat hiburan malam saat bulan Ramadan 2018 dan kasus yang saat ini sedang menjadi perhatian publik adalah cuplikan ceramahnya yang kontroversial dan menuai respons negatif dan berbagai kritik.

Ia dianggap menghina Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dengan menyebut kata ‘banci’. Cuplikan video ceramahnya tersebut telah dilaporkan kepada pihak kepolisian oleh relawan Jokowi, yakni Jokowi Mania dengan tuduhan ujaran kebencian dalam ceramahnya yang menuding Jokowi dengan kata-kata yang tidak pantas.

Sedangkan Cyber Indonesia melaporkan Habib Bahar dengan tuduhan diskriminasi ras dan etnis dengan menggunakan sebutan kata ‘pribumi dan cina’. Reuni akbar 212, Habib Bahar diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato dan memberi penjelasan kenapa ia sampai mengeluarkan kata-kata tersebut.

Video ceramah tersebut telah tersebar luas dan dapat ditonton melalui Youtube, meski ceramah tersebut telah dilakukan kurang lebih dua tahun lalu tapi video tersebut telah terlanjur dikonsumsi oleh khalayak umum serta menciptakan berbagai spekulasi. Bertepatan dengan tersebarnya video tersebut, Indonesia tengah menuju tahun politik, yaitu pemilihan calon presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota parlemen.

Ceramah keagamaan yang viral tersebut dilakukan oleh Habib Bahar, dalam cermahnya Habib Bahar menyatakan sejumlah kata-kata kontroversial, seperti menyebut “Jokowi kayaknya banci”, “Pengkhianat bangsa, pengkhianat negara, pengkhianat rakyat, kamu, Jokowi”.

Atas pernyataan tersebut, Habib Bahar dilaporkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini yaitu Bareskrim Polri oleh Sekjen Jokowi Mania (Joman), yakni La Kamarudin pada tanggal 28 November 2018, dianggap melakukan orasi yang mengandung ujaran kebencian.

Kamarudin dalam laporannya menyatakan bahwa Habib Bahar melakukan kejahatan tentang diskriminasi ras dan etnis, dan ujaran kebencian dengan pasal UU Nomor 1 Tahun 1946 KUHP No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang ITE, dan pasal 207 KUHP, pasal 16, pasal 4 huruf b angka 1, dan pasal 45 ayat (2), pasal 28 ayat (2). Kemudian setelah Jokowi Mania (Joman) melaporkan video tersebut, tak lama aksi yang sama dilakukan pula oleh Cyber Indonesia yang juga melaporkan Habib Bahar ke polisi karena dianggap mengeluarkan pernyataan yang mengandung unsur ujaran kebencian.

Baca Juga  Makna Sebuah Kompetisi

Ceramah Habib Bahar yang menuai polemik itu berkaitan dengan aksi 4 November 2016 atau disebut dengan aksi 411 yang berada di depan Istana Negara, Jakarta. Aksi tersebut menuntun pengusutan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur non-aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Aksi 411 waktu itu berakhir ricuh, polisi terpaksa menembakkan gas air mata untuk membubarkan pendemo yang berbuat anarkis. Habib Bahar menilai Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia tidak merespons keresahan umat saat itu.

Berikut ini pernyataan ceramah Habib Bahar bin Smith:

Pertama, narasi “pengkhianat bangsa, pengkhianat negara, pengkhianat rakyat kamu Jokowi”.

Kebenaran menurut bahasaSecara bahasa yang telah diungkapkan bahwa terbentuknya kata-kata tersebut karena “pengkhianat” maka telah terjadinya suatu pengingkaran janji.
IroniIroninya bahwa terdapat banyak aspek yang bisa menimbulkan kejadian lebih mengecewakan yang dapat dikatakan sebagai pengkhianat negara.
SolidaritasUngkapan tersebut tidak menimbulkan solidaritas, karena kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya tidak disandarkan oleh realitas melainkan hasil produksi murni bahasa dari pemikirannya.

Kedua, narasi “Kamu kalau ketemu Jokowi, kalau ketemu Jokowi, kamu buka celananya itu, jangan-jangan haid Jokowi itu, kayaknya banci tuh”.

Kebenaran menurut bahasaSecara bahasa yang telah diungkapkan bahwa terbentuknya kata-kata tersebut karena adanya kekecewaan yang disebabkan tidak ditemuinya para pendemo oleh Presiden RI dalam aksi 411 pada tahun 2016.
IroniIroninya, bahwa seorang pemimpin negara tidak memiliki keberanian untuk menemui rakyatnya atau pendemo tersebut.
SolidaritasAda sikap penolakan dari pendemo terhadap penguasa atau pemimpin negara yang tidak tegas.

Ketiga, narasi “Yang makmur bukan rakyat, yang sejahtera bukan rakyat, yang makmur Cina, yang makmur perusahaan-perusahaan asing, yang makmur orang-orang kafir, yang makmur perusahaan-perusahaan Barat. Kita pribumi Indonesia, menjadi budak di negeri kita sendiri, menjadi budak di negeri kita… kelaparan…”

Baca Juga  Tips Puasa Sehat saat Pandemi
Kebenaran menurut bahasaKemakmuran terjadi tapi tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia melainkan perusahaan asing.
IroniIroninya, terdapat banyak pengusaha Indonesia yang sukses tetapi belum terekspos.
SolidaritasMengajak untuk mengawasi kinerja pemerintahan dalam hal ini pemerintahan Jokowi terhadap perusahaan asing yang diprioritaskan.

Menurut Rorty suatu kebenaran dalam komunikasi bahasa bisa terjadi karena adanya suatu kesepakatan bersama. Kata-kata yang diucapkan menandakan bahwa pengetahuan tersebut bersifat subjektif yang terbentuk dari pengalaman pribadi sehingga melahirkan sebuah bahasa untuk menjelaskan pengalaman tersebut. Ini disebut dengan kosakata akhir (final vocabulary).

Munculah manusia ironi yang memiliki kesadaran bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam bahasa tergantung dari pengalaman atau budaya yang mempengaruhi bentuk bahasa. Jika seseorang dikatakan manusia ironi, terjadilah kesadaraan yang dapat menjelaskan segala sesuatu yang dilihat dari segi nilainya melalui penjelasan ulang menggunakan bahasa yang tidak menimbulkan spekulasi publik.

Adanya ironi menimbulkan sebuah solidaritas yaitu hubungan kebersamaan antar-manusia yang digunakan sebagai jalan keluar atas kesadaran dari kemungkinan produksi bahasa yang didasari buah pemikirannya yang tidak digeneralisasi oleh realitas.

Saya berpendapat bahwa Rorty menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi yang menjadi satu kesatuan dengan kebiasaan yang dilakukan manusia untuk memecahkan persoalan yang terjadi.

Kegunaan tersebut bukan bersumber dari kebenaran objektif, tapi kebenaran yang berdasarkan subjektif dari setiap manusia, dalam hal ini kita secara tidak langsung harus menyadari bahwa dalam bertutur atau berkomunikasi ada berbagai pihak yang mendengar atau menanggapi apa yang kita bicarakan.

Ini sebagai contoh bahwa setiap individu memiliki persepsinya masing-masing. Mereka melihat dan menilai dari cara kita berkomunikasi, bertingkah laku atau kegiatan lainnya yang bersifat empiris. Apa yang kita anggap benar bisa jadi menurut orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji.

Baca Juga  Sikap Ta’awun antara Altruisme dan People Pleaser

Saya menyimpulkan ceramah yang dilakukan Habib Bahar bin Smith tersebut disajikan kepada para jemaahnya yang mayoritas dari kalangan menengah ke bawah. Jadi bahasa atau komunikasi yang digunakan Habib Bahar bin Smith tegas dan lugas karena masyarakat menengah ke bawah cenderung tidak suka bertele-tele.

Tetapi hal ini akan menimbulkan masalah karena ceramah yang berupa video di youtube tersebut didengarkan oleh banyak kalangan yang salah satunya yaitu kalangan akademisi yang sejatinya dalam menyampaikan suatu informasi harus mengutamakan kesopanan dalam bertutur. Sehingga permasalahan ini pun dibawa ke ranah hukum untuk ditindak lanjuti sesuai dengan undang-undang yang berlaku karena Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum.

Ujaran kebencian dalam ceramah Habib Bahar bin Smith di media sosial youtube bersifat agitasi politik. Youtube dimanfaatkan sebagai wadah untuk menyebarkan wacana-wacana kebencian. Wacana yang disajikan berupa audio visual malah semakin menarik perhatian netizen.

Berbagai macam video yang dianggap sebagai wacana kebencian itu datang silih berganti karena terus diproduksi dan direproduksi dengan cara disebarkan kemudian dikomentari dengan penuh kebencian pula.

Agar argumentasinya kuat, banyak netizen maupun masyarakat umum melakukan teknik agitasi dan propaganda dengan cara membuat berita yang menautkan kedalam situs-situs tertentu yang berindikasi memuat berita hoaks.

Secara kebenaran bahasa, ujaran kebencian tersebut bersifat menghasut atau mengajak untuk tidak mempercayai janji-janji dari Presiden terpilih. Namun secara ironi, apa yang diungkapkan dalam ujaran kebencian tersebut tidak semuanya benar, meskipun ada upaya dibalik ceramah Habib Bahar bin Smith untuk menggalang solidaritas berupa mengawasi atau mengkritik janji-janji politik Presiden. [MZ]

Rizky Nur Lilis Rochmatin Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya