Mengenal Kebahagiaan ala Imam al-Ghazali (1): Kebahagiaan Semu dan Hakiki

2 min read

Beberapa tahun lalu, saya sempat menulis bahwa bahagia paling sederhana yang bisa kita rasakan adalah bisa makan ketika lapar, bisa minum ketika haus, dan bisa istirahat saat lelah. Ketiga keadaan ini saya pegang erat-erat dan jadikan acuan. Terlebih ketika ada orang-orang yang seringkali menyuruh saya untuk bahagia.

“Kamu yang bahagia, dong! Mesti kelihatan banyak beban gitu.” Kata seorang teman. Batin saya merasa, saya biasa saja, kok dia sampai bilang saya tidak bahagia. Memang ukuran bahagia itu seperti apa? Pertanyaan itulah yang akhirnya melahirkan kesimpulan saya di paragraf pertama. Simpel, bisa dilakukan, dan menyenangkan, begitulah pendapat saya tentang statemen tersebut.

Sayangnya opini saya ini tersedak oleh salah satu pengajian rekomendasi salah seorang teman, yakni ngaji bandongan kitab Kimiya’ al-Sa‘adah yang KH. Mustofa Bisri alias Gus Mus sampaikan lewat kanal YouTube GusMus Channel. Kitab ini sendiri merupakan karya Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafi‘i yang berisi tentang resep kebahagiaan.

Saat tengah menikmati pengajian beliau di pertemuan yang ketiga, saya merasa dihantam oleh salah satu dawuh beliau, “Ning ndunyo iku umpomo ono sing ngomong bahagia iku bahagia semu” (di dunia itu jikalau ada yang bilang bahagia, itu bahagia semu).

Deg! Saya bingung apa maksud di balik pernyataan beliau barusan. Lantas Gus Mus kemudian meneruskan, “Jajal, lek kowe ditakoki bahagia, iku opo, jal? mangan enak? opo? ngombe enak? nduwe bojo? opo jajal? Koyok mangan, terus bar mangan terus lapo? paling-paling ngantuk ae, kewareken. ono bahagia kok sak klametan. Koyok nduwe bojo? iso rabi, seneng-seneng, terus baru iku lapo?”

(Coba, jika kamu diberi pertanyaan tentang bahagia itu apa? makan enak? apa? minum enak? punya pasangan [menikah]? apa coba? misal makan, setelah makan terus ngapain? paling-paling ngantuk karena kekenyangan. Masa bahagia hanya sebatas itu. Seperti punya pasangan? terus nikah, bersenang-senang, setelahnya ngapain?)

Baca Juga  Proses Penciptaan Alam dari Kacamata Filsuf Al-Farabi

Saya kemudian merasa, bahwa apa yang telah saya jadikan keyakinan selama ini hanyalah kebahagiaan semu belaka. Saya kira, standar kebahagiaan paling sederhana bisa dilihat dari statemen yang telah disebutkan di paragraf pertama. Terlebih kemudian dapat diaktualisasikan dalam bentuk syukur kepada Tuhan akan nikmat yang telah Dia berikan.

Namun setelah melanjutkan perdengaran saya terhadap pengajian Gus Mus ini, saya kembali berpikir, sekian lama makan dan minum enak selama hidup, kesenangan itu memang hanya dapat dirasakan sekejap rasa. Dan bukankah memang seperti itu (pikir saya)? karena yang kita lakukan adalah memenuhi kepuasan ego, yang kemudian menumbuhkan keinginan-keinginan baru lainnya.

Ternyata ada kebahagiaan yang lebih dalam dari ini, yang disebutkan dalam kitab Kimiya al-Sa‘adah, yakni kebahagiaan rohani. Kebahagiaan rohani jauh memiliki jangka panjang, menuntun kita pada hakikat kebahagiaan, yakni alam akhirat.

Untuk mencapai hakikat kebahagiaan ini, kita perlu mengenal Tuhan, dan untuk mengenal Tuhan, pertama-tama yang perlu kita lakukan adalah, mengenal diri sendiri. Seperti halnya ungkapan masyhur di kalangan masyarakat bahwa من عرف نفسه عرف ربه, barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.

Hal paling dasar untuk mengenal diri sendiri adalah mengetahui sistem-sistem yang berperan dalam diri secara utuh. Ini tidak berbicara tentang fisik atau materi organ tubuh seperti halnya pelajaran ilmu pengetahuan alam, tetapi lebih kepada pengendalian diri yang berkaitan dengan panca indera, akal, serta sifat-sifat manusia sebagai pasukan kalbu.

Kalbu yang dimaksud di sini bukanlah jantung ataupun limpa dalam tubuh. Lebih dari itu, kalbu adalah jiwa rohani yang tidak bisa tampak dengan lahiriyah, tapi bisa kita rasakan bersama.

Pada bagian pancaindera, kita bisa merasakan dengan nyata apa-apa yang terlihat secara lahiriah. Dari sanalah kemudian tubuh akan mengirim informasi ke dalam otak. Sehingga kemudian guna akal untuk menyimpan informasi untuk kemudian dikendalikan oleh kalbu. Kalbulah yang nantinya menetapkan kebijakan dan memantau bagaimana kerja sifat-sifat manusia.

Baca Juga  Mencegah Maraknya Judi Online dengan Nilai-Nilai Aswaja

Sifat-sifat manusia yang dimaksud adalah adalah akhlak hewan, yakni syahwat (keinginan) baik untuk makan, minum, tidur, atau lainnya; akhlak binatang buas, yakni berupa rasa marah, hasrat memukul, membunuh, memusuhi, dan menerkam; akhlak setan, yaitu berupa sikap tipu daya; dan sifat malaikat yang berupa kasih sayang, ilmu, dan kebaikan.

Setiap orang yang memiliki kecondongan pada sifat malaikat, maka tumbuhlah benih-benih kebahagiaan dalam dirinya, sedangkan mereka yang condong pada sifat setan, maka tumbuhlah benih-benih kesengsaraan dalam dirinya.

Lantas apa guna sifat binatang dan binatang buas dalam diri manusia? Pada tulisan selanjutnya saya akan mencoba menjabarkan bagaimana sifat hewan dan hewan buas berperan penting dalam kesempurnaan kebahagiaan manusia. [AR]