Tidak Semua Konflik di Sekolah Adalah Tindak Perundungan

2 min read

Nu.or.id

Sejak tahun lalu berkecimpung di lingkungan sekolah, saya seringkali melihat seorang anak yang raut mukanya begitu muram karena mendapatkan perkataan yang barangkali telah membuatnya tidak nyaman dari kawan-kawannya. Sebut saja si anak ini adalah Adi.

Setelah beberapa hari saya amati, saya mendengar perkataan yang diucapkan oleh kawan-kawannya tersebut tidaklah seburuk itu. Mereka tidak menyebut Adi dengan sebutan hewan, atau istilah tidak pantas lainnya. Melainkan suit-suitan untuk menggoda si anak tersebut.

Ketika saya bertanya pada kawannya mengapa Adi selalu diganggu setiap hari, mereka hanya menjawab, “Hanya bercanda!” Hal ini membuat saya semakin penasaran. Apakah cara bercanda yang mereka berikan memang selucu itu, atau malah separah itu. Oleh karenanya membuat Adi seringkali menangis dan mengamuk di depan umum.

Namun ada satu hal yang kemudian saya amati. Semakin Adi mengamuk, semakin teman-temannya takkan mau berhenti untuk mengganggunya. Bahkan rasa-rasanya, mereka makin senang untuk menggodanya, walau Adi harus mengamuk bahkan mengancam-ngancam untuk mengajak bertengkar.

Hal yang demikian, tidak hanya Adi rasakan. Namun juga beberapa murid di kelas lain. Hingga tahun silih berganti, dan murid baru telah memasuki dunia sekolah menengah sejak beberapa minggu lalu. Ternyata orang semacam Adi sudah terlihat batang hidungnya.

Apakah Ini Perilaku Perundungan?

Saya selalu mencoba menerka. Apakah yang murid-murid lakukan kepada Adi dan beberapa lainnya adalah termasuk perilaku perundungan?

Salah seorang guru Bahasa Indonesia, pada suatu waktu mengatakan kepada saya. Orang sekarang seringkali menormalisasikan kata “perundungan” dalam segala keadaan. Sedikit-sedikit disebut sebagai perilaku “perundungan”, seakan kelihatannya segala konflik dalam pertemanan adalah sesuatu yang rumit dan parah.

Saya pun menyadari, bahkan sempat bingung sendiri. Karena saking luasnya pengertian dari perundungan itu. Secara umum, barangkali kita bisa memaknai perundungan dalam dua aspek besar, yakni verbal dan non verbal. Perundungan dalam bentuk non verbal, alias perbuatan, bisa begitu jelas kita lihat sebagai nama lain dari tindak kekerasan.

Baca Juga  Kebaikan Bukan Komoditas yang Diperjualbelikan

Kekerasan ini bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Kekerasan langsung bisa berupa perbuatan menendang, menjegal, mendorong, mencubit, memukul, atau hal-hal lain yang menyakitkan dan bisa meninggalkan bekas. Untuk kekerasan tidak langsung sendiri bisa melalui media sosial. Dengan komentar pedas yang menyakitkan, konten-konten merendahkan, atau perlakuan lain yang bisa menurunkan harga diri seseorang.

Lantas ini semua jelas buruknya. Kita bisa benar-benar menyebutnya buruk karena sifatnya merendahkan seseorang. Tapi ketika bentuk perundungan itu sendiri berupa verbal, sifatnya sangat umum karena jangkauannya begitu luas, dan begitu personal karena tiap orang punya penangkapan yang berbeda-beda.

Kepersonalan sebuah bentuk perundungan verbal ini selaras dengan pernyataan Wahjuni Sri Redjeki, Ketua Komisi Nasional Pendidikan Kota Mojokerto yang Rabu lalu telah mengisi penyuluhan anti bullying di sebuah sekolah menengah pertama. Ia mengatakan bahwa, “Perundungan atau tidak tergantung lawan bicara. Karena tiap orang punya kondisi mental yang berbeda-beda.”

Dalam hal ini, terlihat bahwa bentuk perundungan verbal begitu general dan ambigu. Andaikan seorang anak sedang digoda kawannya, dengan sorakan-sorakan teman sekelas. Lantas ia merasa biasa saja, menanggapinya dengan suka ria. Tentu anak tersebut takkan menyebut ini sebagai perundungan. Namun jika yang mendapatkan sorakan adalah orang-orang yang sensitif, mudah tersinggung, dan hatinya begitu mudah rapuh saat disentuh, pasti akan menyebutkan sebaliknya.

Agar Tidak Mudah Menjadi Korban

Pada salah satu forum diskusi tentang kependidikan, ada seorang peserta menyatakan pendapatnya tentang kondisi generasi alfa saat ini. “Saya ingin memberi catatan, agar juga membahas capacity building. Bahwa tersinggung, tersakiti, adalah pilihan dari kita.  Tidak hanya memberikan materi bullying, tapi kalau bisa juga membahas tentang penguatan mental. Dengan ini, tingkat ketersinggungan dan merasa ketertindasan rendah.”

Baca Juga  Alquran untuk Kelompok Disabilitas Rungu Wicara

Apa yang ia sebutkan, rasa-rasanya menjadi sebuah poin yang seringkali tidak kita bahas tiap mendiskusikan masalah perundungan. Bahwa kita, dalam kehidupan ini, punya batasan. Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain bersikap, berbicara, dan melakukan sesuatu. Lantas kita punya hati, pikiran, dan tubuh yang bisa kita kendalikan dengan baik. Kita bisa mengatur diri untuk tumbuh lebih kuat. Agar tidak mudah rapuh menerima perkataan buruk dan bisa melawan atau menjauhi orang-orang yang mudah melakukan kekerasan.

Capacity building inilah yang kiranya sangat diperlukan untuk mengentaskan mudahnya penyebutan kata “perundungan” di tiap sisi ruang kelas di sekolah. Apalagi sekarang kita berhadapan dengan generasi alfa yang sangat peka dengan perubahan, teknologi, kesehatan mental, juga kemudahan akses pencarian segala bentuk pengetahuan dimanapun dan kapanpun.

Kita perlu membatasi perundungan ini dengan memperkuat capacity building. Meneguhkan tembok pertahanan yang bisa kita gapai, yakni diri sendiri. Bagaimana pikiran kita menerima, bagaimana ketersinggungan bisa kita atur, dan perasaan sakit hati bisa kita lepaskan sebagai pembelajaran untuk semakin kuat kedepannya. Sehingga kedepannya, tiap konflik yang terjadi pada kelompok pertemanan di sekolah tidak semudah itu lagi disebut sebagai “perundungan”. Karena mau tidak mau, semakin kata “perundungan” disebut dengan mudah sama saja kita menanamkan pada alam bawah sadar bahwa tiap masalah sosial yang terjadi adalah bentuk perundungan yang nyata.